Sukses

Belum Disahkan, Ini Deretan Penolakan untuk RUU Ketahanan Keluarga

RUU Ketahanan Keluarga ditolak berbagai pihak. Termasuk oleh Komnas HAM yang menilai ada pasal yang berpotensi melanggar HAM.

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang merupakan usulan dari lima anggota fraksi DPR ditolak dari berbagai pihak.

Dasar dari penolakan lantaran pasal-pasal tersebut menuai kontroversi. Karena dipandang terlalu mencampuri ruang privasi kehidupan rumah tangga.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Dia menilai RUU Ketahanan Keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi.

"Saya enggak tahu sih, tapi katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar. Terlalu menyentuh ranah pribadi," ujar Dini di Kantor Sekretariat Kabinet Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Salah satu pasal yang menuai polemik adalah Pasal 85 yang mengatur soal aktivitas seksual. Dalam pasal itu, ada pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).

Karena kontroversinya ini, berbagai pihak pun merespons RUU Ketahanan Keluarga. Salah satunya datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut pasal mengenai LGBT dan kehidupan rumah tangga berpotensi melanggar HAM.

Berikut ini lima pihak yang menolak RUU Ketahanan Keluarga, yang dihimpun Liputan6.com.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 7 halaman

Komnas HAM

Menanggapi polemik RUU Ketahanan Keluarga, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan, bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan begitu, seluruh produk Undang-Undang maupun kebijakan harus berdasarkan pada prinsip dan standar HAM.

"Itu juga berlaku pada RUU Ketahanan Keluarga. Jadi seharusnya RUU Ketahanan Keluarga juga harus berdasarkan prinsip dan standar Hak Asasi Manusia," kata Beka kepada Liputan6.com, Kamis, 20 Februari 2020.

Dalam teori HAM, kata Beka, setiap warga negara memiliki hak atas integritas personal. Artinya berdaulat atas dirinya sendiri, bebas berpikir, bertindak, maupun bersosialisasi. Sehingga negara tidak bisa serta merta masuk ruang-ruang privat warganya.

"Undang-Undang itu mengatur moral publik, bukan mengatur moral privat begitu. Dan ini saya kira yang alpa dari RUU Ketahanan Keluarga itu. Karena kemudian sampai kepada ruang-ruang privat warga negara," tuturnya.

Beka juga menyoroti potensi terjadinya pelanggaran HAM pada penerapan RUU tersebut. Misalnya, soal kewajiban lapor bagi keluarga atau individu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Dia menjelaskan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1982 telah mengeluarkan LGBT dari daftar penyakit kejiwaan. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan putusan serupa pada 1993. Karenanya, LGBT bukanlah suatu penyakit.

"Kedua, LGBT itu orientasi seksual bukan perilaku seksual. Sehingga tidak boleh ada pembatasan atau diskriminasi berdasarkan orientasi seksual mereka," katanya.

Selain soal LGBT, aturan mendetail mengenai kehidupan suami-istri juga dinilai melanggar HAM. Sebab, hal itu sudah masuk ke ranah privat.

"Ada pasal yang menyebutkan bahwa suami istri dalam rumah tangga harus saling cinta. Itu adalah norma umum. Bahwa semua rumah tangga ya dibangun atas dasar cinta. Tidak ada kemudian standar cinta itu seperti apa yang dilakukan oleh negara. Itu adalah ruang-ruang privat di mana kemudian interaksi antara suami dan istri," tutur Beka.

 

3 dari 7 halaman

Formappi

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, tidak ada yang spesial dalam RUU Ketahanan Keluarga. Sebab, menurut dia hal-hal yang ada di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga telah diatur di UU lain.

"Melihat kekhususan RUU ini atau fokus RUU ini mengatur apa, itu tidak jelas. Yang terlintas itu seperti imbauan, dorongan atau semangat kepada keluarga. Padahal kan undang-undang itu punya konsekuensi pidana atau sanksi," kata Lucius kepada Liputan6.com, Kamis, 20 Februari 2020.

Memang ada beberapa pasal yang mengatur tentang sanksi pidana terkait donor sperma dan ovum serta menyewakan rahim. Namun, menurut Lucius, sanksi pidana itu telah diatur di KUHP.

"Dari sisi perencanaannya, saya kira para pengusulnya hanya bermodalkan niat saja tanpa ada studi serius seperti sosiologis, antropologis, maupun yuridis. Mestinya harus ada semacam analisis soal UU apa saja yang sudah ada terkait dengan bidang itu. Sehingga memperjelas dari awal itu apa yang belum diatur di sana yang kemudian akan diatur dalam UU ini," katanya.

Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga dinilai justru bertentangan dengan semangat pemerintah membuat omnibus law. Sebab, RUU tersebut berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain yang sudah ada. "Solusinya ya harus dihapus dari program legislasi," ucap Lucius.

4 dari 7 halaman

Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, pembentukan RUU ini telah mengabaikan prinsip dapat dilaksanakan dalam pembentukan UU. Contohnya soal relasi suami-istri.

"Bagaimana mungkin negara ikut campur hubungan suami istri terlalu jauh, bahkan menentukan harmonisasi keluarga atau tidak. Padahal dalam ilmu perundang-undangan, tidak boleh nilai-nilai etika yang sudah diyakini masyarakat sebagi hukum diatur lebih jauh dalam UU," kata Feri kepada Liputan6.com, Kamis, 21 Februari 2020.

Dia mencontohkan, suami dan istri ketika bertikai tentu memiliki mekanisme kekeluargaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan masalahnya.

"Jadi UU ini aneh dan unik," katanya.

Feri curiga, RUU Ketahanan Keluarga sengaja dibentuk untuk menjaga polarisasi di masyarakat dan demi kepentingan politik.

"Sekaligus alat agar topik utama kritik masyarakat tidak dibahas, misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.

5 dari 7 halaman

Partai Nasdem

Penolakan juga datang dari Wakil Ketua MPR Fraksi Nasdem, Lestari Mordijat. Menurutnya, RUU tersebut tidak perlu karena terlalu mengintervensi entitas keluarga.

"RUU Ketahanan Keluarga mestinya tidak tendensius. RUU ini mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking," ujar Lestari di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Lestari mengatakan tidak seharusnya perempuan menjadi objek yang diatur dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Seperti dalam salah satu pasal RUU Ketahanan Keluarga mengenai kewajiban istri.

"Di hadapan hukum semua setara, tak peduli laki-laki atau perempuan," ucapnya.

Menurutnya, negara tidak perlu mengintervensi entitas keluarga. Lestari mengatakan bukan kewenangan pemerintah mengatur urusan keluarga, pola asuh anak dan peran keluarga.

Dia menilai, hubungan keluarga sarat kearifan masing-masing yang tidak dapat digeneralisasi sehingga tak tepat jika diatur undang-undang.

Dalam RUU itu pemerintah campur tangan dalam urusan internal keluarga. Pasal 77 (1) berisi: pemerintah pusat dan pemerintah daerah memfasilitasi keluarga yang mengalami krisis keluarga karena tuntutan pekerjaan.

"Banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih mendesak untuk diatur. Persoalan privat dalam pandangan saya tidak perlu diatur oleh negara," kata Lestari.

6 dari 7 halaman

PPP

Sementara, Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan, fraksinya menolak RUU Ketahanan Keluarga. Salah satu yang ditolak adalah soal pembatasan kewajiban istri.

"Kami dari F-PPP menolak, apakah menolak keseluruhannya, belum tentu. Kami akan mengkaji secara mendalam di tingkat panja, silahkan fraksi-fraksi bersikap, menyampaikan pandangan-pandangannya secara resmi," ujar Baidowi.

Wakil Ketua Badan Legislasi itu mengatakan, saat ini RUU Ketahanan Keluarga masih harmonisasi oleh panja di baleg. Dia tidak yakin akan diteruskan karena banyak penolakan.

"Tetapi kalau diteruskan semuanya, sepertinya tidak akan terjadi. Karena sudah menimbulkan penolakan-penolakan," ucapnya.

7 dari 7 halaman

Partai Gerindra

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sebagian besar anggota fraksinya di DPR tidak mendukung RUU Ketahanan Keluarga. Namun, Gerindra tidak bisa mencabut dukungan karena sejak awal yang mengusulkan hanya anggota individu, Sodik Mujahid.

"Justru sebagian besar sudah menyatakan tidak mendukung," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Dasco mengakui, RUU Ketahanan Keluarga tersebut menjadi kontroversi di masyarakat. Sehingga Gerindra memutuskan untuk menginventarisir masalah dan juga akan meminta klarifikasi kepada Sodik.

"Ada rencana dari fraksi meminta klarifikasi dari salah satu anggota Gerindra yang menjadi pengusul RUU tersebut," ujarnya.

Setelah ada penjelasan Sodik kepada fraksi mengenai usulan RUU Ketahanan Keluarga, Gerindra akan memberikan keputusan.

"Secara fraksi nanti akan diputuskan dan itu juga bukan karena usulan inisiatif DPR dan fraksi, sehingga pada saat ini kita tidak bisa menyatakan mencabut dukungan apa pun karena kita tidak pernah menjadi pengusul secara fraksi," ucap Dasco.

 

 (Okti Nur Alifia)