Sukses

Sidang Uji Formil UU KPK di MK, Apa Bedanya dengan Uji Materi?

Istilah uji formil sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam persidangan di MK.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengajukan permohonan uji formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Koalisi ini terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat serta tiga mantan pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang yang turut menjadi pemohon.

Kasus ini menjadi menarik karena dalam persidangan pada Rabu 19 Februari lalu, perwakilan pemohon dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta MK menghadirkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke persidangan.

Dia beralasan, terdapat banyak persoalan terkait proses pembahasan revisi UU KPK yang hanya bisa dijawab langsung oleh Presiden. MK sendiri tak langsung menjawab dan akan memutuskan apakah akan mengundang Jokowi atau tidak dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH).

Yang lebih menarik lagi tentu saja istilah uji formil yang masih terasa asing. Selama ini, publik tentu lebih familiar dengan istilah uji materi setiap kali menyangkut persidangan di MK. Bahkan, bisa jadi masih banyak di antara kita yang tak paham dengan kedua istilah itu, meski kerap membaca atau mendengarnya.

Istilah uji formil sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam persidangan di MK. Banyak sudah permohonan uji formil yang disidangkan di lembaga ini, meski jumlahnya kalah banyak dengan permohonan uji materi.

Hak uji formil sendiri berarti wewenang untuk menilai, apakah pembentukan sebuah undang-undang telah melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.

Artinya, pengujian secara formil sebuah undang-undang akan meneliti dan menilai bagaimana undang-undang itu dibuat, sejak tahap pembahasan, pengesahan, pengundangan dalam lembaran negara dan pemberlakuan. Sehingga, yang dipermasalahkan di sini adalah proses pembuatan undang-undang dan bukan isinya.

Karena itu, sesuai dengan Pasal 51 ayat (3) a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, setiap pemohon uji formil "wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Hak Uji Materi

Hal ini berbeda dengan hak uji materi, yaitu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan peraturan tersebut.

Bukan berarti sebuah undang-undang secara utuh dianggap bertentangan dengan aturan lain yang lebih tinggi. Karena, yang dimohonkan untuk diuji bisa saja hanya ayat, pasal tertentu atau bagian kecil dari undang-undang saja lantaran hanya bagian itu yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Bahkan, dalam putusan MK ada yang menyatakan hanya satu pasal yang bertentangan dengan UUD, tetapi dengan membuang kata yang merupakan bagian kalimat dalam pasal tersebut makna pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dinilai tidak lagi bertentangan dengan UUD.

Karena itu, sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, setiap pemohon uji materi "wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".