Sukses

Ironi Perundungan di Sekolah, Siapa yang Salah?

Sekolah harusnya menjadi tempat belajar anak agar memiliki perilaku beradab. Ironisnya, perundungan masih sering terjadi di banyak sekolah di Indonesia dengan pelaku yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, siapa yang harus disalahkan?

Liputan6.com, Jakarta - Bagai ilalang yang tak kunjung hilang, kasus demi kasus perundungan atau bullying di sekolah terus bermunculan setiap tahunnya. Masalah ini bagai sudah mendarah daging di Tanah Air. 

Ironisnya, meski dikenal sebagai negara yang masyarakatnya ramah, Indonesia justru menempati posisi kelima dari 78 negara yang muridnya paling banyak mengalami perundungan. Data dari Penilaian Siswa Internasional atau OECD Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan, sebanyak 41 persen siswa Indonesia pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

Salah satu kasus perundungan yang sempat viral menimpa seorang siswa kelas 7 dari SMP Negeri 16 Malang, Jawa Timur. MS (13) mengalami luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Bahkan, dua ruas jari tengah tangan kanannya sampai harus diamputasi.

Namun, berhubung para pelaku masih di bawah umur, lantas siapa yang harus disalahkan? Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menjelaskan, perundungan di lingkungan sekolah umumnya terjadi karena adanya pembiaran.

"Di awal-awal perundungan itu lebih banyak terkesan untuk bercanda, atau anak yang usil isengin anak yang lain. Tapi karena ini sering dianggap hal yang biasa, maka perundungan itu naik dinamikanya menjadi kekerasan," ungkap Putu kepada Liputan6.com di kantor KPAI, Jakarta, Senin (24/2/2020).

Menurut dia, pelaku yang masih di bawah umur tentu tak luput dari hukuman. Dalam konteks perlindungan anak, aturan tetap harus dipatuhi, tetapi mereka juga harus mendapat rehabilitasi.

"Jangan sampai kemudian pelaku ini melakukan yang kesekian kalinya di tempat lain dengan orang yang lain," tuturnya.

Putu mengingatkan, pelaku di bawah umur juga memiliki kapasitas mental yang masih dalam masa tumbuh kembang. Meski sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, seringkali pelaku tak mampu mempertimbangkan konsekuensi hukum atas perbuatannya.

"Karena beberapa anak bahkan enggak mengerti hukum. Makanya, kemudian budaya hukum kita masih sangat rendah, masih sering kita kemudian melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sangat sederhana," ungkapnya.

"Dorongan untuk melakukan kekerasan dengan cara mem-bully itu kadang-kadang lebih besar daripada kemampuan akal sehat mereka untuk memfilter benar atau salah tadi," kata dia.

 

Saksikan video berikut ini: 

2 dari 4 halaman

Ketidaksiapan Mental Orang Tua

Perbuatan pelaku memang terlihat keji, tapi seringkali mereka juga merupakan korban dari lingkungan yang negatif. Psikolog Forensik Klinis Adityana Kasandra Putranto mengatakan, perilaku bullying pada anak di bawah umur umumnya terjadi karena ketidaksiapan mental dari orang tua mereka.

"Bagaimana pun anak-anak ini kalau dari psikologi kita mengenal ada prinsip dari John Locke, setiap anak terlahir bagaikan sebuah kertas putih. Bersih," ujar Kasandra kepada Liputan6.com di kantornya, Kramat Pela, Jakarta, Rabu (26/2/2020).

"Nah, lalu bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang dan menyerap nilai-nilai yang negatif, yang mengandung kekerasan, lalu kemudian akhirnya menjadi bagian dari perilakunya," sambungnya.

Dia menuturkan, ketika kekerasan terjadi di dalam pengalaman manusia, hal itu akan tinggal sebagai sebuah memori yang kemudian memengaruhi proses berpikirnya. Apalagi, dalam hal pengendalian emosi. Kapasitas pengendalian emosi ini tak bisa berkembang dengan baik bersama dengan kecerdesan emosi dan sosialnya.

Akibatnya, anak jadi cenderung bergerak untuk terbiasa melampiaskan emosinya. Sayangnya, Indonesia masih sering mengesampingkan kematangan mental dalam urusan menikah.

"Mengendalikan proses tumbuh kembang anak dalam keluarga itu tentu saja memberikan suatu kepastian bahwa menikah itu harus siap, bahwa membina keluarga itu harus juga punya kesiapan mental yang khusus," ucap Kasandra.

"Ketika anak ini menyimpan rekaman-rekaman ketidakmatangan mental emosional dari ayah-ibunya, lalu kemudian akhirnya berkombinasi dengan hal yang diperoleh dari lingkungan sekolah, masyarakat, bahkan dari media, akhirnya malah membentuk karakter anak menjadi orang yang berpotensi menjadi pem-bully," kata dia.

 

3 dari 4 halaman

Nilai Kasih Sayang dan Kesetaraan

Kasandra mengingatkan, masalah perundungan adalah tanggung jawab bersama dari pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat. Nilai kasih sayang dan empati harus sudah ditanamkan kepada anak sejak usia dini.

Selain itu, agar anak juga tak menjadi korban perundungan, keluarga sendiri harus bisa membentuk karakter anak yang berani bersuara.

“Yang paling penting tentu orang tua harus bisa introspeksi, melihat, kenapa anaknya seperti ini,” kata dia.

“Ketika anak sudah dibiasakan untuk nurut, manut, tidak punya suara, tidak bisa melawan, kita hanya akan membangun bangsa Indonesia yang berpotensi menjadi korban. Korban bagi dirinya sendiri, teman-temannya, lingkungannya, bahkan korban dari negara lain. Itu yang harus kita perhatikan, jangan membangun karakter yang lemah,” tegas Kasandra.

Menurutnya, nilai kesetaraan ini juga akan membuat anak berani untuk mengatakan tidak pada perilaku perundungan. Bila melihat ada kawannya yang dirundung, anak tak hanya akan diam saja dan berani untuk melawan atau melapor.


“Kita mulai dari dalam keluarga, bahwa ayah, ibu, dan anak itu punya hubungan yang setara. Kalau ayah salah, ibu salah, tentu harus minta maaf. Tanya anaknya maunya apa,” jelasnya.

“Kalau anaknya salah atau mungkin tidak sesuai dengan orang tuanya, tentu harus ada musyawarah, harus ada pembahasan dan pertimbangan bagaimana caranya supaya bisa mencapai suatu kesepakatan,” pungkas Kasandra.

 

4 dari 4 halaman

Sistem Anti-Bullying

Menghentikan perundungan tak bisa hanya sekedar sosialisasi. Kasandra menjabarkan, minimal ada lima aspek yang harus diperhatikan untuk mengatasi masalah perundungan atau membentuk sistem anti-bullying.

“Yang pertama adalah promosi, dan prevensi atau pencegahan, deteksi, kemudian intervensi, dan evaluasi terhadap keseluruhan,” paparnya.

“Saya berharap semua orang tua Indonesia dan juga guru bisa atau memiliki sistem anti-bullying yang tadi supaya bisa mendeteksi yang mana sih kira-kira tandanya. Ya hanya kalau sosialisasi saja, kurang,” lanjut Kasandra.

Dia menjelaskan, dirinya sendiri tak setuju bila anak dihukum. Menurutnya, yang harusnya dilakukan adalah intervensi agar anak betul-betul jera dan tak lagi melakukan perbuatan buruknya.

Sebab, menghukum anak malah akan menimbulkan rasa dendam yang berkepanjangan. Hal ini bisa memicu tindak kekerasan lagi di kemudian hari.

“Ketika ada hukuman ini, yang satu kan adanya malah jadi dendam, bukan mengajarkan kesetaraan. Karena ketika mengajarkan hukuman ini, itu justru malah memberikan kekuasaan yang lebih besar lagi. Bukan tidak mungkin yang mengalami hukuman ini malah jadi dendam lagi,” Kasandra menuturkan.

Di sisi lain, Komisioner KPAI Putu Elvina menambahkan, sekolah harus bisa mengawasi perilaku murid di lingkungannya. Terutama, guru wajib menegaskan kepada siswa bahwa perundungan adalah hal yang sangat dilarang.

“Guru harus memastikan bahwa di sekolah mereka, di kelas mereka itu zero tolerance terhadap perundungan. Anak-anak dihimbau kalau ada temannya yang suka mengganggu, membully, itu bisa dilaporkan sehingga pencegahan awal bisa dilakukan,” ujar Putu.

“Jadi nanti akan ada anak-anak yang rajin lapor. Guru harus proaktif untuk menyikapi ini, jangan sampai kemudian pembiaran ini dijadikan pintu masuk untuk bully yang lebih serius,” dia mengakhiri.