Liputan6.com, Jakarta - Langkah kepolisian memburu para penimbun dan produsen masker ilegal membuahkan hasil. Jutaan lembar masker, baik yang asli maupun ilegal disita polisi dari berbagai lokasi di Tanah Air. Lantas, mau diapakan masker hasil sitaan tersebut?
Polda Metro Jaya memastikan bakal memusnahkan masker ilegal yang disita dalam operasi penggerebekan di sejumlah lokasi penimbunan. Meski demikian, proses pemusnahan masker yang kini menjadi barang bukti tersebut masih harus menunggu hasil putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan.
Polda Metro Jaya juga tengah menjajaki kemungkinan menjual masker yang legal dan sesuai standar yang turut disita dari sejumlah kasus yang diungkap oleh penyidik kepolisian.
Advertisement
Namun, Polres Metro Jakarta Utara telah mengambil langkah maju dan berencana menjual sebanyak 72 ribu lembar masker hasil sitaan dengan harga murah kepada masyarakat. Polri pun menanggapi positif rencana itu.
"Mekanismenya dikembalikan kepada pasar untuk normalisasi. Polres Jakut melakukan bersama-sama pemilik untuk memberikan kenyamanan bahwa harga seharusnya begini," jelas Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Brigjen Daniel Tahi Monang Silitonga di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (6/3/2020) malam.
Dia menampik kalau yang dilakukan Polres Jakarta Utara itu menabrak peraturan yang ada terkait barang bukti. Alasannya, langkah kepolisian itu semata-mata untuk memperlihatkan kehadiran polisi ketika dibutuhkan masyarakat.
"Kan (menjual) bersama-sama yang punya. Nabrak yang mana? Untuk memberikan contoh kepada masyarakat bahwa polisi ikut di dalamnya sebagai negara hadir untuk memberikan kenyamanan," tegas Daniel yang juga Kasatgas Pangan Polri itu.
Dia juga membantah bahwa posisi Polres Jakarta Utara adalah sebagai penjual dari masker hasil sitaan tersebut. Dia kembali menegaskan bahwa kepolisian hanya mendampingi dan mengawasi pemilik selaku penjual masker.
"Yang jual yang punya, polisinya ada di situ. Polisi cuma mengawasi, polisi bukan pedagang. Polisi hanya mendampingi pemilikya, 'kamu jual deh kita awasi di sini dengan harga yang wajar'. Bukan polisi pedagangnya," papar Daniel.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan bahwa rencana menjual masker hasil sitaan tersebut masih dibicarakan.
"Kita sedang koordinasi dengan CJS, Crime Justice System, dalam hal ini apakah memungkinkan kita gunakan diskresi kepolisian yang ada, karena salah satu apa yang kita lakukan adalah asas kemanfaatan bagi masyarakat," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Kamis (5/3/2020).
Menurut dia, pihak pemilik masker akan diminta untuk menjual masker tersebut dengan harga normal dan dalam pengawasan kepolisian.
Sedangkan Polres Metro Jakarta Utara memastikan, langkah mereka menjual kembali masker sitaan itu dengan menggunakan harga normal di pasaran.
"Kami dalam hal ini terhadap masker yang kami sita, yang kami jadikan barang bukti ini akan kami jual kembali kepada masyarakat dengan harga sebelum kenaikan masker ini," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto di Mapolres Metro Jakarta Utara, Kamis kemarin.
Penjualan masker sitaan tersebut menurut dia juga atas persetujuan dari dua tersangka pemilik barang tersebut.
Menurut Budhi, harga asli masker tersebut adalah Rp 22.000 per kotak, namun oleh dua tersangka penimbun dijual dengan harga Rp 200 ribu per kotak.
Oleh pihak kepolisian akan dikemas ulang dalam pak kecil yang masing-masing berisi 10 lembar masker. Warga hanya boleh membeli dua pak masker.
"Kami jual per 10 lembar nanti kami hargai Rp 4.000 dan warga bisa membeli maksimal dua pak agar bisa meluas dan merata hasilnya," kata Budhi.
Dia menyadari bahwa diskresi oleh Polres Metro Jakarta Utara adalah hal yang tidak biasa, namun diskresi memiliki landasan hukum yang diatur dalam undang-undang.
"Kami melakukan diskresi Kepolisian karena tindakan yang kami lakukan juga diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, di mana tindakan kami lakukan agak sedikit melanggar aturan tapi tindakan tersebut untuk kepentingan umum masyarakat yang lebih luas," ujar Budhi.
Adapun uang hasil penjualan masker sitaan tersebut akan dijadikan pengganti barang bukti dalam kasus penimbunan masker tersebut.
Lantas, bagaimana pengamat melihat langkah kepolisian ini?
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menjual Masker Bukan Tugas Polisi
Langkah Polres Jakarta Utara yang akan menjual sebanyak 72 ribu lembar masker hasil sitaan dengan harga murah kepada masyarakat mendapat sorotan. Kendati masker itu dijual dengan harga normal di pasaran, tetap saja kebijakan tersebut mengundang tanya terkait dengan boleh tidaknya polisi menjual barang sitaan atau barang bukti.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, polisi tak dibenarkan menjual barang sitaan, termasuk masker. Langkah itu hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat.
"Enggak boleh (dijual). Barang-barang sitaan itu harus tetap menjadi barang bukti yang harus dibawa ke pengadilan. Kalau ada dalih menjual karena kedaruratan, apa saat ini benar-benar darurat? Mengacu pada Undang-Undang Darurat, saat ini kan belum darurat. Darurat itu yang menyatakan Presiden," papar Bambang saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (6/3/2020).
Dia mengatakan, tugas utama atau tupoksi dari kepolisian itu adalah penegakan hukum yang sesuai dengan prosedur. Sementara, proses penegakan hukum yang benar itu adalah menghadirkan barang-barang yang disita menjadi barang bukti di pengadilan.
"Bahwa kalau diputuskan barang itu harus dibagikan, dijual, atau dilelang, itu nanti di pengadilan. Jadi tidak bisa Kepolisian menyita dan langsung menjual dengan alasan darurat," tegas Bambang.
Karena itu, dia menyayangkan kalau pihak kepolisian ternyata dalam kasus penyitaan masker ada yang langsung menjualnya kepada masyarakat dengan alasan kondisi yang darurat.
"Bila itu dilakukan, tetap dijual, maka prosedurnya blunder bagi kepolisian. Ukuran darurat itu kan bukan kepolisian yang menentukan," jelas Bambang.
Kalaupun polisi tetap ingin menjualnya secara langsung, lanjut dia, haruslah menunggu Presiden menyatakan keadaan sedang darurat, sehingga ada legitimasi bagi langkah tersebut.
"Undang-Undang Darurat seperti itu. Polisi atau polres tidak bisa menyatakan itu. Harus ada keputusan politik, keputusan politik bahwa ini darurat," ujar Bambang.
Dia pun berharap polisi untuk tidak menjual masker hasil sitaan langsung ke masyarakat. Hal itu dinilai penting agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari dan tak merugikan institusi kepolisian.
"Bukan polisi yang harusnya melakukan (menjual masker), tupoksi kepolisian menegakkan hukum, cukup di penegakan hukum, jangan menjual barang seperti itu. Nanti akan menjadi rancu dan berkembang kemana-mana," tegas Bambang.
Sementara, terkait dengan alasan diskresi yang disebutkan kepolisian, juga dinilai tidak tepat. Menurut dia, diskresi bisa diambil bila dalam keadaan yang mendesak dan harus dilakukan karena tidak ada institusi lain yang terkait.
"Soal jualan produk kesehatan kan ada lembaga lain yang lebih tepat untuk mendistribusikannya, ada Kemenperindag dan lain-lain yang bisa melakukan operasi pasar," sebut Bambang.
"Justru tugas polisi itu melakukan pengawasan agar prosesnya berjalan normal, bukan dengan jualan sendiri," imbuh dia.
Yang dia khawatirkan, jika cara-cara tersebut tetap dilakukan kepolisian, pada akhirnya akan menggerus kepercayaan publik pada institusi Polri.
"Kalau alasan diskresi diambil tanpa melihat tupoksi institusi Polri sendiri maupun urgensinya, ke depan masyarakat tidak akan percaya pada penegakan hukum yang dilakukan Polri," Bambang memungkasi.
Advertisement
Tak Jera Hukuman Berlapis
Tak kurang dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi turut memperlihatkan kegeramannya atas ulah spekulan yang menimbun masker di tengah permintaan yang sangat tinggi saat ini. Jokowi pun memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menindak tegas pihak-pihak yang memanfaatkan momentum virus Corona untuk berbuat curang.
"Saya sudah memerintahkan Kapolri untuk menindak tegas pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan momentum seperti ini dengan menimbun masker, terutama ini masker dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Ini hati-hati perlu saya peringatkan," kata Jokowi di Istana, Jakarta, Selasa (3/3/2020).
Bahkan, jika tidak patuh, ancaman pidana berupa kurungan hingga denda miliaran rupiah sudah menanti. Adapun regulasi tersebut telah diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam pasal tersebut, pemerintah dapat mempidana penimbun barang saat terjadi kelangkaan dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp 50 miliar.
"Kita kenakan Undang-Undang Penimbun, UU Perdagangan apabila mereka menyalahgunakan situasi ini. Sanksinya ada penjara ada sanksi denda. Denda ada yang Rp 50 miliar," ujar Kasatgas Pangan Polri Brigjen Daniel Tahi Monang Silitonga.
Namun, perintah Presiden dan ancaman hukuman itu tak membuat para penimbun masker jera. Mereka juga punya alasan sendiri kenapa melakukan perbuatan tercela tersebut, meski ancaman hukuman ada di depan mata.
Lihat saja, hingga Jumat (6/3/2020) malam, polisi merilis telah mengungkap 12 kasus penimbunan masker dan cairan pembersih tangan (antiseptik) di seluruh Indonesia. Pengungkapan itu hanya dalam dua hari terakhir, Rabu dan Kamis kemarin.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Asep Adisaputra di Mabes Polri mengatakan, dari 12 kasus itu ada 25 orang yang menjadi tersangka.
"Untuk kasus penimbunan masker dan hand sanitizer kami ungkap 12 kasus tersebar di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Kepri, Sulsel, Kalbar dan Kaltim," tutur Asep.
Bisa dimaklumi kenapa para penimbun tetap nekat meski dikejar aparat penegak hukum. Alasan utama tentu saja keuntungan besar yang bisa diraih para spekulan ini. Hal itu bisa dilihat dari salah satu hasil penggerebekan di Jakarta.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto mengatakan, pabrik masker ilegal di Jalan Kalibaru, Senen, yang digerebek pada Kamis malam dapat meraup omzet hingga Rp 4,7 miliar jika masker-masker produksinya berhasil diperdagangkan.
"Dari barang bukti yang ada, ini bisa diproduksi menjadi 500.000 pcs masker, jika per 50 pcs dijual dengan harga Rp 500 ribu, setidaknya omzetnya kita hitung bisa mencapai Rp 4,7 miliar," kata Heru.
Dia mengatakan, pemilik pabrik masker ilegal itu mendistribusikan dagangannya melalui percakapan personal di media sosial sehingga tidak mudah terlacak.
"Dia jual dari orang ke orang, kalau kita lihat dari isi percakapan di HP-nya begitu," kata Heru.
Tak hanya keuntungan besar, penimbun kelas amatir pun juga menarik keuntungan lumayan dari kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap masker ini. Seperti yang dilakukan seorang mahasiswi berinisial THF (19) yang mengaku nekat berbuat curang karena untuk membantu biaya kuliah.
THF mengaku berjualan baju wanita dan produk kecantikan via online, sebelum menyadari banyaknya permintaan masker untuk mengantisipasi virus Corona.
"Tersangka ini memang sudah lama berdagang lewat online. Namun, baru-baru ini saja dia memutuskan berdagang masker," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus.
TFH ditangkap Unit III Reserse Kriminal Polsek Tanjung Duren, Jakarta Barat, saat tengah berada di dalam lift. TFH tertangkap basah tengah memindahkan tiga dus masker untuk ditimbun di unit apartemennya.
Setelahnya, polisi menggeledah 1 unit Apartemen Mediterania milik TFH. Di kamarnya, polisi menemukan ratusan dus masker lain yang ditimbun oleh TFH.
Sedikitnya, ada 120 kotak masker wajah merek Sensi, 152 kotak masker wajah merek MITRA, 71 kotak masker wajah merek PRASTI dan 15 kotak masker wajah merek Facemas.
Yusri mengatakan TFH berani menimbun masker dengan modal usahanya sendiri, di tengah kelangkaan masker akibat permintaan tinggi. Selain itu, teman-teman tersangka juga ikut membantu menjual masker miliknya.
Tak tanggung-tanggung, dia menimbun ratusan dus masker di kamar apartemennya. Satu dus masker dijual sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu per dus. Bayangkan keuntungan yang bisa diraihnya jika harga pasar masker itu hanya sekitar Rp 50 ribu per dus.
Ibarat hukum ekonomi, ketika permintaan akan suatu barang tinggi sementara persediaan terbatas, maka di situ fulus bicara. Jadilah masker yang harga pasarnya cuma seribuan perak itu kini tak ubahnya logam mulia yang dicari semua orang.