Sukses

Bisa Dihindari, Virus Corona Covid-19 Bukan Vonis Mati

Publik geger setelah Presiden Jokowi resmi mengumumkan kasus positif virus corona baru di Indonesia. Data membuktikan, Covid-19 tak semematikan yang disangka.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia ternyata tak kebal terhadap virus corona baru atau Covid-19. Pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi secara langsung mengumumkan bahwa ada dua WNI yang positif terinfeksi. Publik sontak geger. Pasar dan swalayan diserbu pembeli yang panik, oknum pedagang nakal pun mencoba ambil untung dengan cara menimbun masker hingga hand sanitizer.

Covid-19 memang menakutkan, tapi itu lebih karena ketidaktahuan kita. Sifatnya hingga kini memang masih misterius. Virus corona bisa menular antar-manusia, lewat percikan atau droplet yang menyembur dari batuk atau bersin dari orang yang terinfeksi, bahkan sebelum gejala muncul (asymptomatic).

Itu mengapa, Covid-19 menyebar dengan cepat, hingga ke lima benua. Para ilmuwan yang ada di Benua Antarktika nan dingin dan terpencil juga merasa perlu bersiap siaga. 

Hingga Senin 9 Maret 2020 pukul 19.00 WIB, tercatat ada 111.321 kasus positif Covid-19 di seluruh dunia, 19 di antaranya ada di Indonesia. China Daratan, Korea Selatan, Italia, Iran, dan Prancis menempati urutan lima terbanyak dalam hal jumlah kasus. 

Jumlah kematian tercatat sebanyak 3.892 jiwa. Namun, jangan dilupakan bahwa mereka yang pulih jauh lebih banyak yakni 62.373 orang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, tingkat kematian akibat Covid-19 saat ini adalah 3,4 persen, lebih rendah dari SARS (9,63 persen) dan MERS (34,45 persen).

Jadi jangan panik. Covid-19 terbukti bukan vonis mati. Terbuka peluang bagi kita untuk menghindarinya. 

Ahli mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra memaparkan, Covid-19 sebenarnya juga tak lebih mematikan dibanding virus lainnya yang sejenis.

"Kalau kita bandingkan ya, coronavirus ini memang sama juga seperti HIV dan Ebola, sama-sama ssRNA (single-stranded RNA) virus. Tapi kalau kita bandingkan keganasannya, jelas lebih ganas Ebola dan HIV/AIDS," ungkap Sugiyono kepada Liputan6.com di Kantor LIPI, Cibinong, Rabu (4/3/2020).

"Untuk fatality rate-nya (tingkat kematian), untuk kasus Ebola 90 persen. Jadi cukup tinggi. Bisa dibayangkan kalau misalnya ada 100 orang penderita, 90 orangnya akan meninggal," sambung dia.

Sugiyono menegaskan, pasien yang meninggal karena Covid-19 pun umumnya mereka yang berusia lanjut, serta memiliki riwayat penyakit lain. Yakni seperti jantung, asma, diabetes, dan lainnya.

Selain itu, tak benar bila dikatakan Indonesia tak bisa mendeteksi virus ini. Peneliti Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum menyebutkan, harga alat untuk mendeteksi Covid-19 terbilang tidak mahal untuk bidang medis dan penelitian.

"Sebetulnya alat yang dipakai untuk mendeteksi virus corona itu bukan alat baru, itu adalah alat yang biasa dipergunakan dalam riset-riset biologi molekuler, jadi sebetulnya banyak sekali fasilitas yang sudah memiliki alatnya," tutur Ratih.

"Mungkin yang belum terlalu banyak itu adalah laboratorium yang spesifik bisa menangani sampel yang positif," dia melanjutkan.

 

Saksikan video menakar keganasan Virus Corona Covid-19:

2 dari 4 halaman

Hati-Hati Pakai Masker

Bahkan sebelum kasus positif Covid-19 diumumkan, masker jadi barang langka di pasaran. Stok di apotek dan toko-toko kosong. Penjual yang masih punya persediaan tak jarang menawarkannya dengan harga tinggi, bahkan sampai level 'keterlaluan'. 

Badan kesehatan dunia dalam situsnya, mengingatkan bahwa masker tak perlu dipakai oleh orang yang sehat. Penutup hidung dan mulut itu krusial dikenakan paramedis dan mereka yang melakukan kontak dekat dengan pasien. Justru mereka yang sakit, termasuk batuk atau pilek, yang wajib mengenakannya. Masker juga harus dipakai dengan cara yang benar, bukan sembarangan. 

Di tengah kelangkaan, muncul ide-ide kreatif. Viral video-video yang menunjukkan cara membuat masker sendiri. 

Ahli Mikrobiologi LIPI, Sugiyono Saputra menegaskan, alternatif masker itu sama sekali tak dianjurkan. Menurutnya, masker buatan sendiri hanya bermanfaat sebagai pelindung dari angin saja. Fungsinya tidak sama dengan masker terstandar.

"Masker itu punya 3 lapisa, lapisan paling luar itu yang kedap air yang memang menahan droplet dari luar, kemudian lapisan di tengahnya itu filternya yang sebagai barrier menahan partikel kuman-kuman yang akan masuk," jelas dia.

"Kemudian lapisan yang dalam itu yang absorbent yang memang menyerap droplet dari kita dari si pemakainya itu. Jadi kalau misalkan ada yang mau buat itu, tapi tidak memenuhi standar itu, artinya tidak dikatakan itu sebagai masker yang baik dan benar," lanjutnya.

Senada dengan Sugiyono, Chairman Junior Doctors Network of Indonesia (JDNI) Andi Khomeini Takdir Haruni juga tak menganjurkan membuat masker sendiri. Apalagi dengan menggunakan tisu basah beralkohol.

"Karena kalau itu digunakan sebagai masker, maka otomatis alkohol itu kan akan terhirup masuk ke saluran napas, masuk ke paru-paru, padahal bukan di situ tempatnya. Jadi itu malah membahayakan," ucap Khomeini yang juga akrab disapa Dokter Koko kepada Liputan6.com di RSUD Sawah Besar, Jakarta, Kamis (5/3/2020).

"Tapi pertama kita harus apresiasi ya, bahwa kreativitas warga +62 ini tinggi ya, bahkan mungkin resistensi kita secara kolektif terhadap stres itu cukup tinggi. Coba bayangkan, dari yang tidak terpikir oleh beberapa warga di negara lain, itu bisa terpikir oleh orang kita," sambungnya bergurau.

3 dari 4 halaman

Panik dan Stres Menurunkan Imunitas

Dokter Koko menegaskan, masyarakat Indonesia tak perlu panik akan adanya virus ini di Tanah Air. Menurutnya, sikap panik ini juga dapat menimbulkan stres, yang pada akhirnya menurunkan daya tahan tubuh.

"Yang paling penting dilakukan sekarang adalah pencegahan, dan bagaimana caranya supaya pola hidup sehat itu diaplikasikan. Dengah upaya-upaya ini, daya tubuh masyarakat itu otomatis meningkat," ungkapnya.

Menurutnya, gaya hidup sehat ini dapat menghindarkan masyarakat dari berbagai macam penyakit. Sebab, tak hanya Covid-19 yang menghantui Indonesia. Masih ada banyak penyakit lain akibat virus maupun bakteri yang jauh lebih berbahaya daripada virus corona baru.

Misalnya saja, hepatitis dan tuberculosis (TBC). Pasalnya, angka kematian akibat dua penyakit itu per-harinya jauh lebih tinggi daripada Covid-19. Namun, hal ini bukan berarti masyarakat juga jadi berlebihan mengonsumsi bahan makanan yang dikatakan memiliki khasiat melawan penyakit, layaknya jamu ataupun sayuran.

Sebab, belakangan banyak muncul di media sosial yang mempromosikan agar masyarakat lebih sering mengonsumsi sejumlah rempah-rempah, seperti temulawak.

"Dalam jumlah yang wajar. Kita tidak perlu mengkonsumsi itu berlebihan, tidak juga kita perlu mengkonsumsi misal brokoli sekilo setiap hari. Tidak juga kita konsumsi 500 gram bawang tiap hari, karena semua yang berlebihan itu tidak bagus," tutur dia.

"Apapun yang berlebihan, biasanya nanti akan ada terjadi efek samping juga, kita juga belum tahu. Jadi tolong kita kombinasikan saja upaya pencegahan dilakukan, upaya promotif dilakukan makan-makanan sehat, istirahat, tidak merokok, tidak begadang, kalau sakit istirahat di rumah ya," sambung Dokter Koko.

Tidak lupa, dia juga mengingatkan agar warga memperhatikan sirkulasi udara di kediaman masing-masing. Begitu pula dengan rajin mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir.

 

4 dari 4 halaman

Wabah Pasti Berlalu

Seiring dengan berjalannya waktu, gejala yang ditimbulkan Covid-19 juga akan menjadi semakin ringan. Dokter Koko mengatakan, pada akhirnya manusia juga akan membentuk kekebalan tubuh sendiri untuk melawan virus ini.

"Para pakar memperkirakan, memprediksi, bahwa setelah episode outbreak wabah ini biasanya ada penurunan. Jadi kita secara global sudah mulai membentuk kekebalan," kata dia.

Sejalan dengan itu, Ahli Mikrobiologi LIPI Sugiyono Saputra mengatakan, arah mutasi virus ini juga semakin melambat. Pada akhirnya, virus Covid-19 ini akan menjadi seperti flu biasa.

"Jadi memang beberapa pakar memprediksi bahwa virus ini nantinya akan pandemik dan kemungkinan memang cenderung memiliki gejala yang lebih mild (ringan) dibandingkan dengan coronavirus yang lain. Jadi kemungkinannya dia akan menjadi seperti penyakit flu biasa yang memang umum dijumpai di berbagai negara," tutur dia.

Sementara itu, para peneliti di seluruh belahan dunia juga tengah berlomba mengembangkan vaksin dan antivirus untuk Covid-19. Peneliti Bioteknologi Ratih Asmana Ningrum menyebutkan, saat ini sudah ada antivirus yang dinyatakan efektif memperlambat perkembangan Covid-19.

Antivirus yang dikembangkan oleh China ini juga akan segera didaftarkan patennya atas terapi kombinasi yang dilakukan terhadap dua jenis antivirus yang digabung guna melawan Covid-19.

"Beberapa publikasi sudah menyatakan bahwa antivirus remdesivir ini yang akan diklaim yang dikombinasikan dengan chloroquine, itu adalah obat untuk anti malaria. Sangat efektif untuk menekan pertumbuhan virus corona dan itu merupakan berita yang sangat melegakan ya," tutur Ratih.

Sedangkan untuk vaksin, memang masih butuh waktu yang cukup lama untuk bisa dibuat. Meski begitu, Ratih yakin bahwa hal itu nantinya juga akan segera ditemukan.

"Dengan adanya perkembangan sekarang dan dengan kenyataan bahwa vaksin tersebut harus segera ada, sudah banyak pihak yang mengembangkan. Mudah-mudahan sih dalam satu atau dua tahun ke depan itu sudah tersedia ya secara komersial," dia mengakhiri.