Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan status baru dalam menangani pandemi virus Corona atau Covid-19, yakni kedaruratan kesehatan masyarakat. Status itu ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020.
Jokowi juga menegaskan telah menyiapkan skenario darurat sipil. Namun, darurat sipil baru akan diberlakukan apabila keadaan tidak normal.
Lantas, apa perbedaan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Darurat Sipil?
Advertisement
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 1 ayat (2).
Dalam UU itu dijelaskan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa, yaitu dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam Pasal 4, disebutkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Bentuk perlindungan dilakukan melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Jokowi dalam hal ini tidak memilih opsi lockdown atau karantina wilayah. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memutuskan menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menekan angka penyebaran virus Corona.
"Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat," bunyi Pasal Bab IV Pasal 10 dalam UU ini.
Sebelum menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintah pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kekarantinaan kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional. Di samping itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Darurat Sipil
Adapun darurat sipil tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959. Dalam Pasal 1 dikatakan bahwa darurat sipil atau keadaan darurat militer diumumkan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang apabila:
1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga;
3. Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Penguasaan tertinggi dalam keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) aturan tersebut.
Sementara itu, untuk di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh kepala daerah serendah-rendahnya dari daerah tingkat II selaku penguasa darurat sipil daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Hak-hak penguasa darurat sipil dijelaskan dalam Pasal 14-19 Perppu ini. Hak mereka antara lain, dapat meminta pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya menggeledah tempat dengan menunjukkan surat perintah.
Penguasa darurat sipil juga dapat menyita semua barang yang akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi pemakaian barang itu. Kemudian, mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dilakukan di telepon serta membatasi komunikasi.
Dalam pasal 18, penguasa darurat sipil berhak atas izin untuk kegiatan rapat dan pertemuan umum serta arak-arakan. Mereka juga memiliki hak membatasi atau melarang pemakaian gedung, tempat kediaman atau lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu. Pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara agama dan adat.
"Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah," bunyi Pasal 19.
Advertisement