Sukses

Benarkah Suhu Panas Bisa Tekan Penyebaran Corona? Ini Kata Ahli

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia bisa saja diuntungkan dalam menghadapi pandemi Corona Covid-19 karena adanya suhu panas pada April 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa Indonesia bisa saja diuntungkan dalam menghadapi pandemi Corona Covid-19 karena adanya masim panas pada April 2020.

Menurut dia, dari beberapa hasil penelitian temperatur dan kelembaban tinggi membuat virus lemah.

Menanggapi hal itu epidemiolog penyakit menular Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Padjajaran (Unpad), Panji Fortuna Hadisoemarto menyebut sudah ada penelitian mengenai hubungan temperatur dan kelembaban dengan penurunan jumlah penularan Covid-19 atau Corona.

"Memang ada paper yang baru keluar yang menyimpulkan kalau temperatur dan kelembaban di negara-negara seperti Indonesia berkorelasi dengan penurunan penularan Covid-19. Tapi paper ini tidak menjelaskan mekanisme bagaimana, dan paper ini tidak mengatakan kalau faktor temperatur dan kelembaban saja cukup untuk menghentikan penularan Covid-19," jelas Panji saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (3/4/2020).

Paper dimaksud bertajuk "High Temperature and High Humidity Reduce the Transmission of COVID-19" karya Jingyuan Wan dari School of Computer Science and Engineering di Beihang University, China bersama peneliti lainnya. Panji menyebut, paper itu menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara ketiga variabel tersebut.

Kendati begitu, dia mengatakan masih perlu data yang mumpuni sebelum menyimpulkan ke arah sana. "Mungkin cukup signifikan. Tapi kita perlu data yang lebih baik buat membuktikan kalau kesimpulan dari paper tersebut memang berlaku untuk Indonesia. Jangan serta merta dianggap betul lah, begitu," katanya.

Meskipun begitu, menurut Panji perlu dipahami bahwa virus Corona sangat menular terutama lewat inhalasi droplet. Di luar kedua faktor tersebut, kontak erat antar mereka yang positif Covid-19 dengan yang sehat begitu berpengaruh besar terhadap penyebaran virus ini.

"Dasar ilmiahnya mungkin ada, tapi masih perlu dibuktikan dengan data lokal, dan yang jelas bukan menjadi alasan untuk tidak menganggap Covid-19 sebagai ancaman yang perlu ditangani dengan serius," tegasnya.

Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Siwi Wijayanti menyebut belum ada penelitian valid yang sudah benar-benar membuktikan pernyataan Luhut. Menurut dia perlu kajian lebih lanjut untuk sampai pada simpulan seperti itu.

"Saya pikir terlalu gegabah untuk mengatakan hal demikian, sementara kasus Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat. (Hal itu) membuktikan Covid-19 mampu hidup dan berkembang biak di cuaca Indonesia," paparnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif, ia membantah pernyataan Menko Kemaritiman itu. Pasalnya virus hidup di tubuh manusia bukan di udara luar.

"Kan sudah terbukti wabah menyebar ke seluruh benua tanpa melihat iklim di wilayahnya. Negara Timur Tengah yang suhunya bisa mencapai 40 derajat (celsius) saja kasusnya bisa banyak misalnya Saudi, Irak, Iran," papar Syahrizal.

Guru Besar Mikrobiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Widya Asmara menjelaskan bahwa memang suhu tertentu membuat virus mudah mati. Namun jika di Indonesia yang suhunya berkisar antara 30 hingga 35 derajat celsius, kata Widya virus masih mampu bertahan hidup.

"Jadi dalam droplet kan bisa mencemari mungkin peralatan, pegangan pintu, pegangan tangga dan segala macam. Dan itu yang menjadi faktor penularan, dan di situ masih bisa bertahan beberapa waktu gitu," jelas Widya.

"Jadi bukan dengan udara kita (udara tropis) virus langsung mati, bukan. Udara kita kan cuman 30 sampai 33 drajat celsius," imbuhnya.

Menanggapi pernyataan Luhut, Widya melihat kemungkinan Menko Kemaritiman itu membandingkan jumlah kasus di negara subtropis seperti China, Eropa dan Amerika dengan negara di ekuator layaknya Indonesia. Di negara Subtropis, kata Widya jumlah kasus yang terinfeksi virus Corona jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.

"Jadi mungkin maksudnya itu kalau di negara tropis bertahannya lebih pendek dibandingkan negara dingin, mungkin begitu," tukas Widya.

Namun begitu, Widya menyebut belum ada penelitian yang mengarah ke arah sana. Hal itu hanya dilihat dari fakta sebaran kasus Corona di seluruh dunia yang masih didominasi oleh negara-negara beriklim empat musim.

"Kalau bapak lihat di petanya WHO kasusnya itu kan yang paling merah (banyak) di daerah China bagian utara, Eropa, Amerika Utara itu yang paling merah. Kemudian di bagian selatan kan ya ada tapi tidak semerah bagian itu. 'Mungkin' salah satu faktornya di negara tropis virus tidak bisa bertahan lama, ya masih bertahan tapi tidak lama," jelasnya.

Doktoral imunologi Kanazawa University, Jepang sekaligus pengajaran di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Heny Ekowati menyebut, virus hanya mampu bertahan satu sampai tiga menitan di udara terbuka yang beriklim tropis seperti Indonesia.

"Kalau di daerah seperti Jepang, Italia yang suhunya di bawah 20 (drajat celsius) nah di sana suhunya dingin ya. Itu bisa bertahan sekitar tiga jam," ungkap Heny kepada Liputan6.com, Jumat (3/4/2020).

"Tapi jangan salah dia (virus) bisa ada di droplet nah itu bisa lama tuh," tambahnya.

Kendati temperatur udara mendukung pelambatan laju penyebaranaan, namun kata Heny interaksi masyarakat Indonesia yang masih tinggi justru berpengaruh signifikan penyebaran virus tersebut.

Henny menjelaskan bahwa partikel droplet yang kecil bisa melayang-layang di udara hingga berjam-jam. Jika interaksi antara manusia tinggi maka partikel droplet yang melayang-layang tersebut bisa saja masuk ke saluran pernapasan manusia.

"Cuman memang ketika dia (droplet) itu agak besar maka partikelnya sampai di tanah lebih cepat. Cuman untuk yang kecil misalnya orang bersin, orang bicara itu dia bisa sampai lebih dari 20 menit. Ada di sekitar orang itu, kecuali di aliri udara segar gitu," jelasnya.

Heny tidak menampik pernyataan Luhut yang menyebut Indonesia diuntungkan dengan memiliki udara dan kelembaban yang membuat virus tak bertahan lama. Namun dengan penanagan virus dari pemerintah yang menurut dia "ugal-ugalan", maka hal itu tak banyak menolong.

"Soalnya penanganannya terlambat terus. Misalnya yang terakhir kan mudik boleh, padahal kan seharusnya kalau teorinya itu perlu dilakukan karantina wilayah lokal," ujar Heny.

Karantina wilayah diperlukan supaya penyebaran virus Corona bisa dikendalikan dan tak menyebar ke mana-mana. Di samping itu, lanjut dia fasilitas kesehatan Indonesia yang kurang memadai seandainya terjadi gelombang tsunami pasien Covid-19 ke rumah sakit.

"Sehingga rumah sakit kualahan dan akan banyak korban. Karena mereka akan ditolak-tolak sehingga pasien yang ditolak ini akan kembali ke rumahnya padahal ia sudah positif, dia bergaul lagi sama keluarganya, repot," jelas dia.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Alibi Pemerintah

Ia justru melihat pernyataan Luhut tak lebih dari alibi pemerintah untuk menenangkan masyarakat akan kecarut-marutan manajamen krisis pihkanya.

"Masalah iklim cuma faktor kecil yang menurut saya ya tidak terlalu signifikan," ungkapnya.

Berkaca di negara dengan iklim yang sama, seperti Filipina, Thailand dan Vietnam, menurut Heny mereka juga melakukan karantina wilayah. Hanya Indonesia yang tidak melakukan karantina wilayah dengan berbagai dalih.

Hal semisal juga dikatakan Panji, menurut dia respons Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dalam menangani wabah ini masih lemah dan tak terarah dengan jelas. Pasalnya di kalangan komunitas ilmiah sudah ada rumusan baku untuk menghadapi wabah ini, yakni tes, trace, treat, dan isolasi.

"Kapasitas tes sekarang sudah mulai ditingkatkan, tapi jelas terlambat. Contact tracing agak sulit dikomentari karena tidak banyak informasi yang dikeluarkan. Penanganan kasus terlihat kurang baik kalau dinilai dari tingginya angka kematian, termasuk angka kematian di antara tenaga kesehatan. Isolasi masih sebatas anjuran, penegakkannya tidak ada," tegasnya.

Ia bahkan melihat ketidaksinkronan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Termasuk pula perbedaan di kalangan pemerintah pusat itu sendiri.

"Terlihat sekali sewaktu 'perwakilan' pemerintah pusat menyampaikan hal berbeda tentang mudik," jelasnya.

Jika situasi semacam ini dibiarkan, maka Panji melihat kedepannya penyebaran virus Corona begitu masif. "Saya pikir kita akan melihat peningkatan dan penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia. Sampai separah apa, estimasinya bermacam-macam. Saya cenderung setuju dengan skenario-skenario yang pesimistis daripada yang optimistis," ungkapnya.