Liputan6.com, Jakarta - Kota Wuhan di China kembali dibuka setelah lockdown akibat virus Corona atau Covid-19. Warganya pun bersorak gembira.
Sorakan "Kota Wuhan saya sudah kembali" dan "Wuhan, mari beranjak" terdengar ketika jembatan dan jalan raya dibuka untuk pertama kalinya dalam 76 hari. Hal itu pun memungkinkan orang untuk meninggalkan pusat industri dan pusat epidemi virus Corona itu.
Seperti diketahui, Beijing menyegel Wuhan pada 23 Januari 2020 dan mengurung jutaan warga di rumah-rumah mereka.
Advertisement
Saat itu, banyak pihak memandang karantina ini adalah tindakan ekstrem. Namun ketika virus menyebar ke sejumlah negara, menginfeksi lebih dari 1,6 juta orang, serta menewaskan lebih dari 95 ribu orang, negara lain mengikuti tindakan itu dengan membatasi pergerakan dan kontak sosial.
Pembukaan kembali Wuhan saat ini menawarkan harapan bagi miliaran orang di dunia yang tengah menghadapi lockdown, bertanya-tanya kapan kehidupan kembali normal.
"China telah mengendalikan situasi. Tapi itu mungkin hanya untuk saat ini," ujar Yanzhong Huang, anggota senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri yang berbasis di AS, dilansir dari Aljazeera, Jumat, 10 April 2020.
"Ada risiko nyata munculnya kembali kasus. Karena dua alasan - prevalensi orang tanpa gejala yang mungkin menyebarkan penyakit tanpa mengetahui mereka sakit, dan ancaman dari kasus impor," lanjut dia.
Huang menyebut, para ilmuwan dan pemangku kebijakan China tidak mengetahui ukuran pembawa asimptomatik dan sejauh mana mereka membahayakan populasi di negara itu.
"Ancaman kasus impor juga menjadi perhatian mengingat sebagian besar orang di China belum terekspos untuk virus dan karena itu, belum membangun kekebalan terhadapnya," ucapnya.
Dengan perkiraan vaksin Corona Covid-19 bakal tersedia setahun lagi, menurut Huang, dunia menghadapi perjuangan berat.
Menurutnya, keberhasilan suatu negara atau wilayah dalam mengatasi penyakit ini goyah selama patogen terus membuat orang sakit di tempat lain.
Â
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pandemi Corona Belum Berakhir
Hanya dalam tiga bulan, virus Corona Covid-19 telah menjangkiti 184 negara dan teritori.
Meskipun virus ini muncul di daratan China, Beijing sekarang berada di peringkat kelima di antara negara-negara dengan kasus besar yang dikonfirmasi.
Beijing melaporkan lebih dari 82 ribu kasus, termasuk lebih dari 1.000 kasus tanpa gejala dan 3.000 kematian.
Italia memiliki jumlah kematian tertinggi di antara negara-negara yang terkena dampak dengan angka lebih dari 18 ribu kematian.
Sementara, Amerika Serikat memiliki jumlah infeksi terbanyak dengan lebih dari 460 ribu kasus dan 16 ribu kematian.
"Anda tidak dapat mengklaim pandemi telah berakhir sampai semua negara dapat mengatakan bahwa mereka bebas virus," kata Huang.
Dengan begitu, lanjutnya, hal tersebut menandakan butuh periode waktu yang lama pemberlakukan lockdown di dunia dengan pemerintahnya memperketat dan mengurangi kontrol seiring lonjakan dan turunnya infeksi, serta pembatasan perjalanan internasional yang berkelanjutan.
Setidaknya hal itu dilakukan sampai vaksin ditemukan atau cukup populasi dunia mengembangkan kekebalan melalui konsep kekebalan kawanan (herd immunity). Virus corona tetap stabil tanpa mutasi signifikan yang dapat membuatnya lebih ganas.
Â
Advertisement
Virus Corona Paling Serius
Menurut seorang sejarawan yang mempelajari pandemi 1918, John M Barry, para ilmuwan mengatakan, ancaman kesehatan masyarakat karena virus Corona adalah yang paling serius sejak pandemi influenza 1918, di mana sebanyak 100 juta orang meninggal di seluruh dunia.
Dia menyebut, penyakit yang dikenal dengan nama Flu Spanyol itu menyerang dalam tiga gelombang. Menurut John, patogen bermutasi dan menjadi lebih virulen pada gelombang kedua.
"Gelombang pertama ringan di musim semi, gelombang kedua yang sangat mematikan yang berlangsung kira-kira dari September hingga Desember, dan gelombang ketiga, mematikan tetapi tidak separah gelombang kedua," kata John.
"Untungnya tidak ada bukti, tidak ada petunjuk di mana pun, bahwa Covid-19 akan lebih berbahaya daripada sekarang," sambung dia.
Para ilmuwan di Imperial College di London, Inggris, mengemukakan keparahan gelombang kedua infeksi virus corona mungkin tergantung pada berapa banyak orang yang terinfeksi pada wabah gelombang pertama.
Temuan ini dibuktikan, setidaknya sebagian, oleh pengalaman sejumlah negara dan kota di Asia yang tampaknya memiliki epidemi terkendali sejak awal.
Â
Singapura Negara Pertama di Luar China
Sementara itu, menurut Dekan Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock Universitas Nasional Singapura, Teo Yik Ying, Singapura, salah satu negara pertama di luar China yang melaporkan kasus virus Corona, pada awalnya berhasil mengendalikan wabahnya tanpa melakukan tindakan lockdown.
"Negara ini bergantung pada pengawasan ketat dan karantina untuk mencegah infeksi. Tapi pekan lalu, Singapura menutup sekolah dan tempat kerja karena jumlah kasus melonjak di atas 1.000, yang umumnya pekerja migran," tutur Teo Yik Ying.
Di dekat Hong Kong, lanjut dia, pihak berwenang memperketat kontrol perbatasan dengan China daratan dan mengatakan kepada pegawai negeri sipil untuk bekerja dari rumah segera setelah mendeteksi kasus pertamanya pada akhir Januari.
"Pekerja kembali ke kantor mereka pada pekan pertama Maret ketika wabah mereda. Tetapi, beberapa pekan kemudian, mereka disuruh pulang ke rumah di tengah lonjakan infeksi yang terkait dengan pelancong ke luar negeri," paparnya.
"Saya memperkirakan akan ada gangguan signifikan untuk perjalanan internasional setidaknya untuk tiga bulan ke depan, dan kemungkinan bahkan lebih lama jika negara-negara tidak dapat cukup mematikan penularan di tengah masyarakat," sambung Teo Yik Ying.
Sementara, lanjut dia, ada tanda-tanda menggembirakan muncul dari beberapa negara yang paling terpukul di Eropa.
"Kenyataannya adalah ada negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara, Afrika, dan juga Amerika Latin yang mulai melihat penularan masyarakat. Ini berarti, setiap upaya untuk pelonggaran pembatasan perbatasan dapat menyebabkan impor yang berlanjut ke gelombang kedua penularan masyarakat. Dengan demikian, negara-negara secara alamiah akan berhati-hati sebelum mereka mengizinkan perjalanan trans-nasional," terang Teo Yik Ying.
Dr John Nicholls, profesor klinis patologi di Universitas Hong Kong pun sepakat dengan Teo Yik Ying.
Nicholls yang sedang mempelajari efek suhu pada virus Corona baru ini mengatakan, virus itu sensitif terhadap suhu, bertahan dan gampang menular dalam cuaca dingin.
Dan ini, kata dia, merupakan kabar baik bagi negara-negara di belahan bumi utara yang bisa terjeda dari serangan virus pada musim panas mendatang. Tetapi, lanjut Nicholls, hal buruk bagi negara di belahan bumi bagian selatan.
"Jadi jangan berharap perjalanan internasional untuk beberapa bulan ke depan, atau bahkan lebih lama," jelas Nicholls.
Â
Reporter : Hari Ariyanti
Sumber : Merdeka
Advertisement