Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajukan permohonan kepada Kementerian Perhubungan untuk menyetop sementara operasional KRL Commuter Line yang menyambung rute Jabodetabek selama pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Terkait usulan itu, Pengamat Kebijakan Publik, Yayat Supriatna menilai rencana itu rentan menimbulkan masalah baru. Sebab, KRL menjadi salah satu transportasi publik favorit pekerja.
Baca Juga
"Jadi usulan hentikan operasional KRL itu harus by data jadi tidak hanya buat dilema para pekerja yang masih wajib bekerja di tengah status pemberlakuan PSBB," ujar Pengamat Kebijakan Publik, Yayat Supriatna saat dihubungi merdeka.com, Jumat (17/4).
Advertisement
Menurutnya, layanan KRL adalah moda transportasi utama bagi para pekerja yang mayoritas digunakan oleh pekerja dari luar Jakarta.
"Saya bisa sebutkan 80% pengguna KRL itu pekerja, sisanya anak sekolah dan orang berpergian. Dan hampir mayoritas setiap hari, 1,2 juta pekerja gunakan KRL dari pinggir Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi termasuk Tanggerang," paparnya.
Saat ini dengan kebijakan PSBB maka jumlah para pekerja sudah berkurang drastis. Namun Ia menyakini ada berbagai pekerja kantoran dan harian yang masih tetap bekerja karena tidak punya pilihan lain. Kantor mereka tidak memberikan cuti karena keberlangsungan perusahaan ada pada keberadaan karyawan tersebut.
Oleh sebab itu, Yayat menyarankan kepada pemerintah melakukan pendataan mobilitas para penumpang KRL terkait keberangkatan tujuan para penumpang.
Nantinya data tersebut, lanjut Yayat, digunakan sebagai pengecekan terhadap kantor-kantor yang masih beroperasi di luar dari delapan bidang indsutri yang diperbolehkan salama penerapan aturan PSBB.
"Data tujuan penumpang misal banyak penumpang yang turun di Manggarai, Cikini, Sudirman itu bisa cek apakah masih ada yang buka perusahaannya. Karena penumpukan penumpang itu terjadi saat jam kantor, bisa disimpulkan masih banyak kantor yang buka di luar industri formal sesuai aturan PSBB," jelas Yayat.
Menurutnya, penumpukan penumpang terjadi karena masih banyaknya kantor yang buka dan mewajibkan karyawanya ke kantor. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah daerah membangun komunikasi kepada perusahaan-perusahaan untuk mencari jalan tengah bagi para pekerja.
"Di saat kita harus menjaga jarak, physical distancing tapi kondisi di kereta itu tidak mungkin dilakukan, telalu padat. Terlebih di jam berangkat maupun pulang kantor. Mau dihentikan KRL, mereka masih diwajibkan bekerja," katanya.
Setop KRL Bukan Solusi
Menurut dia, KRL bukan objek kesalahan terjadinya penumpukan penumpang di stasiun yang ada. Dia pun menantang Anies untuk menyegel kantor-kantor yang masih berani buka saat PSBB.
"Mau tidak Anies menanggung complain tenan-tenan? Mau tidak menanggung kompensasi kerugian yang diterima pekerja? Itu juga mengancam perut mereka, ancam nyawa mereka juga, Semua risiko harus dihitung, tidak asal menghentikan," ujar Yayat.
Yayat mengingatkan Anies Baswedan, prinsip PSBB adalah pembatasan bukan pelarangan termasuk operasional KRL. Menurutnya, Pemda seharusnya membuat skema pembatasan pergerakan pekerja berupa jumlah hari kerja dan jam masuk kerja.
Cara itu bisa menjadi solusi menanggulangi masalah penumpukan penumpang saat masuk dan pulang kerja.
"Masalahnya ada penumpukan, jadi perlu pengaturan di dalam KRL nya saja. Pengawasan di dalam gerbong diperketat dan Pemprov DKI perlu menyiasati jam masuk kerja, bukan menghentikan KRL-nya, ujarnya.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tenaga Medis Ikut Khawatir
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengingatkan, jangan sampai rencana itu membuat semakin susah mobilitas para tenaga medis. Sebab, banyak tenaga medis yang menggunakan KRL untuk pulang dan menuju tempat kerja.
"Sebelum ada usulan penutupan KRL, kemarin petugas kesehatan ada yang mengeluhkan antrean panjang di stasium buat mereka telat. Padahal mereka harus gantikan temannya yang shift malam, harusnya jam 7 selesai, jadi jam 9," ungkap Ketua Umum PPNI, Harif Fadhilah saat dihubungi merdeka.com, Jumat (17/4).
Harif menjelaskan, sampai saat ini masih banyak para tenaga medis yang menggunakan moda transpotasi umum, salah satunya layanan KRL.
"Kalau semisal ingin ada penutupan perjalanan KRL harus ada alternatif lain yang seharusnya memudahkan mobilitas bagi tenaga medis," ujarnya.
"Seperti ada tenaga medis kita yang sebelum ada keputusan boleh berboncengan asal satu tujuan itu. Cukup banyak petugas medis yang disetop saat boncengan, apalagi tidak semua tenaga medis punya kendaraan mobil," tambah Harif.
Lebih jauh, Harif mengingatkan, kembali kepada para kepala daerah yang mengusulkan untuk berhentikan sementara perjalanan KRL. Seharusnya lebih dulu menyiapkan dan sosialisasi moda transportasi bagi para tenaga medis.
Enggak apa disetop, tapi harus dijelaskan dulu semisal ada fasilitas layanan transportasi khusus bagi tenaga medis," pintanya.
Advertisement