Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merasa prihatin atas tragedi dugaan perbudakan modern yang dialami sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal penangkap ikan berbendera China. Selain itu, LPSK menyatakan siap melindungi sejumlah ABK tersebut.
Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan, pihaknya akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini. Selain itu LPSK siap bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian, untuk memberikan perlindungan kepada ABK WNI yang telah mengalami peristiwa nahas ini, mulai dari proses pemulangannya ke Tanah Air hingga pendampingan proses hukumnya.
“Sebagai langkah awal, LPSK akan turut serta menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia," kata Hasto dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020).
Advertisement
Menurut dia, pihaknya sudah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban TPPO yang peristiwanya mirip dengan kasus yang dialami 18 WNI ABK di kapal China. Salah satunya adalah kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada medio 2015 lalu yang juga ditangani LPSK. Kasus ini sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga ke luar negeri.
Tragedi yang dialami oleh 18 ABK di kapal China seperti yang banyak diberitakan media itu jelas menunjukkan adanya indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Berharap agar pihak kepolisian untuk menulusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal China tersebut, serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana," ungkap Hasto.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tempati Posisi Keempat
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi. Selain kasus di Benjina, LPSK pernah beberapa kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan apa yang terjadi dengan ABK di kapal Long Xing, di antaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan dan Belanda.
Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM berat.
“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019," tukasnya.
Advertisement