Sukses

Polisi Akan Periksa ABK WNI Korban Dugaan Perbudakan di Kapal China secara Online

Sebelumnya, para ABK WNI yang diduga korban pelanggaran HAM kapal China, berhasil menceritakan peristiwa yang dialami ke awak media Korsel saat berlabuh di Busan.

Liputan6.com, Jakarta Kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ke sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) di kapal China yang sempat viral di Korea Selatan (Korsel), turut mendapat perhatian Polri.

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo menyampaikan, penyidik telah mengagendakan pemeriksaan kepada seluruh ABK WNI tersebut.

"Sore ini kan baru akan sampai di Indonesia," tutur Sambo saat dikonfirmasi, Jumat (8/5/2020).

Menurut Sambo, pemeriksaan akan dilakukan secara online. Mengingat para ABK harus melakukan karantina diri sesuai protokol kesehatan virus Corona atau Covid-19 di Indonesia.

"Mereka akan melakukan karantina dulu 14 hari untuk SOP Covid. Kemudian baru akan direncanakan pemeriksaan secara virtual," jelas Sambo.

Sebelumnya, para ABK WNI yang diduga korban pelanggaran HAM kapal China, berhasil menceritakan peristiwa yang dialami ke awak media Korea Selatan (Korsel) saat berlabuh di Busan.

Kasus tersebut langsung direspon oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Seoul, Korsel.

"Sebagaimana diberitakan stasiun TV MBC Selasa (5 April 2020) malam, saat ini terdapat 14 ABK WNI yang sedang menjalani karantina di kota Busan sejak diturunkan dari kapal pada tanggal 24 April yang lalu," tutur Dubes RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu 6 April 2020 malam.

Umar menegaskan, KBRI Seoul memberi perhatian serius terhadap kasus yang menimpa ABK WNI di atas kapal penangkap ikan berbendera China tersebut.

"Para ABK WNI tersebut telah meminta bantuan pengacara pro bono setempat untuk menyelesaikan permasalahan mereka," jelas dia.

Menurut Umar, para ABK itu kini dalam kondisi baik dan sehat. Mereka akan segera dipulangkan ke Tanah Air usai masa karantina di Korea Selatan selesai.

"Otoritas penegak hukum Korsel sedang melakukan pemeriksaan atas permasalahan tersebut, termasuk laporan pelarungan jenazah rekan-rekan mereka di laut lepas," Umar menandaskan.

Penelusuran Liputan6.com, para ABK itu berada di kapal Long Sing 629 milik China. Mereka memberikan informasi tentang keadaan mereka ke media Korsel saat sedang berlabuh di Busan.

Media MBC melaporkan bahwa ketika penyelidikan hendak dilakukan, kapal tersebut sudah kembali melanjutkan perjalanan. Dalam video yang ditunjukkan MBC, terlihat ada seorang ABK yang meninggal di kapal tersebut yang kemudian jasadnya dibuang ke laut.

Media tersebut juga turut mengungkapkan bahwa sebelum jasad yang ada di video tersebut dibuang, ada pula beberapa jasad lainnya yang telah dibuang terlebih dahulu, tepat setelah mereka meninggal dunia.

Menurut informasi dari salah seorang saksi, ada empat ABK yang telah meninggal dunia selama perjalanan kapal tersebut.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Kesaksian

Selanjutnya, media MBC juga menampilkan adanya surat pernyataan dari para ABK yang menyatakan kesediaan mereka untuk dikremasi bila timbul suatu musibah hingga meninggal di tempat kapal itu bersandar.

Sebuah kesaksian yang juga ditampilkan MBC menyatakan, sistem kerja di kapal milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tersebut memiliki kondisi yang tidak layak, termasuk mengeksploitasi tenaga kerja yang ada.

Bahkan menurutnya, ABK yang meninggal tersebut sebelumnya sudah sakit selama satu bulan.

"Awalnya keram, terus tahu-tahu kakinya bengkak. Dari kaki terus nyerang ke badan, terus sesak dia," ujar seorang saksi yang ditampilkan MBC.

Keadaan digambarkan lebih parah lagi, ketika ada laporan bahwa air mineral yang dibawa untuk perbekalan di kapal tersebut hanya diminum oleh awak China. Sedangkan awak Indonesia hanya diizinkan meminum air laut yang difiltrasi.

"Pusing terus enggak bisa minum air itu sama sekali. Pernah juga sampai kaya ada dahak-dahak di sini," ujar saksi tersebut.

Seorang saksi yang lain mengatakan bahwa para ABK memiliki jam kerja hingga 18 jam dengan waktu istirahat hanya 6 jam setelahnya.

Tak sampai disitu, upah yang didapat mereka selama bekerja hingga 13 bulan hanya sekitar US$ 120 atau Rp 1,7 juta. Atau dengan kata lain, gaji bulanannya hanya sekitar Rp 100.000.

Kapal tersebut semestinya bertujuan menangkap ikan tuna, namun, terkadang juga menangkap ikan hiu. Aktivitas ilegal itulah yang membuat mereka tidak bisa berhenti di daratan mana pun.