Liputan6.com, Jakarta Wabah Virus Corona atau Covid-19 mengubah tatanan kehidupan berbagai lini. Sejak kemunculan virus ini akhir 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, wabah dengan cepat meluas ke berbagai negara dan menginfeksi jutaan orang tanpa melihat strata sosial. Indonesia adalah salah satu negara terdampak penyebarannya.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat penyebaran Covid ada di 34 provinsi. Jawa Barat adalah provinsi ketiga yang memiliki angka sebaran besar Covid-19 setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Data per Selasa 12 Mei 2020, tercatat jumlah pasien Covid-19 di Jawa Barat adalah 1,493 orang. Salah satu alasan mengapa Jabar berada di posisi ketiga sebaran Covid-19 adalah karena wilayahnya yang berdekatan dengan Jakarta sebagai episentrum wabah. Belum lagi kota-kota penyangga yang memiliki pintu masuk dan moda transportasi publik yang keluar-masuk ibu kota.
Advertisement
Lantas, bagaimana Gubernur Ridwan Kamil membuat strategi dalam membentengi sebaran Covid-19 di wilayahnya tersebut, berikut petikan wawancara Nadya Laras dari Liputan6.com dengan Ridwan Kamil (RK), Senin (11/05/2020) malam.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dengarkan Masukan Akar Rumput
Lip6: Kang Emil, dari muka-mukanya ini kayanya kelelahan?
RK: Hmm... Enggak bisa bohong, bangun pagi, baca WA (whatsapp) Corona, nonton TV Corona. Semua agenda rapat, semua Corona, Corona sudah menghabiskan energi, mudah-mudahan masih ada sisa.
Lip6: Flashback dulu, ketika awal pandemi Corona muncul di Wuhan, China, bagaimana Kang Emil melihat kasus tersebut?
RK: Kami ini sudah cemas-cemas dari akhir tahun, makin cemas pada awal tahun. Makanya kita itu sudah mendeklarasikan yang namanya Siaga Satu di bulan Januari. Saya bikin Siaga Satu itu maksudnya agar seluruh TNI-POLRI, rumah sakit, pemerintah provinsi bersiap-siap membuat hitungan walaupun virus belum datang. Itu respons pertama saya di-bully dan dianggap menyebarkan keresahan katanya.
Jadi, ada WA masuk dari menteri ini, menteri itu yang mengkritisi itu. Ya saya terima tapi batin saya mengatakan lebih baik kita over protective daripada under protective. Dan betul saja, setelah Januari kami mendeklarasikan Siaga Satu menyiapkan rumah sakit itu Maret breaking news dari Pak Jokowi kan. Dan dari situ kami juga sudah siap dengan tes sendiri karena waktu itu pemerintah pusat policy-nya kan mengetes maunya di Jakarta.
Saya pake logika sederhana aja gitu kan, negara kepulauan kalau ada kasus di Papua masa terbang dulu sampelnya terus ke Jakarta kemudian pasti lama. Makanya Jawa Barat juga provinsi pertama yang tes duluan dibanding yang lain, termasuk DKI. Kami beli PCR (Polymerase Chain Reaction) ke Korea Selatan, saya telepon Dubesnya dan lain sebagainya. Sehingga yang lain ngantri ke Pusat, Jawa Barat tes sendiri.
Nah, hasil tes sendiri itu menemukan Pak Bima Arya positif, Wakil Wali Kota Bandung positif, Bupati Karawang positif. Inilah kami maksud kami menerapkan proaktif leadership. Pokoknya enggak mau nunggu lah, urusan nyawa mah gak bisa nunggu kira-kira begitu.
Kedua, kami ingin ilmiah. Jadi setiap keputusan bukan pake feeling, bukan katanya-katanya tapi ilmiah. Nah, hasil datanya ilmiah ternyata di Jawa Barat mayoritas ada di Bodebek dan Bandung Raya. Karena itulah Bodebek dan Bandung Raya didahulukan PSBB-nya. Dulu mau lockdown, semi-lockdown kita berdebat istilah tapi poinnya sama.
Ketiga, kami juga yang duluan transparan membuka data kita bikin apps Pikobar, sehingga datanya bisa dibuka. Dulu ramai-ramai ribut orang ingin daftar rapid test dengan apps itu diselesaikan dengan mudah saja satu pintu.
Lip6: Mengenai tes PCR, Jabar sudah mulai melakukan tes PCR secara masif (15 ribu), wilayah mana saja yang menjadi prioritas?
RK: Kami mencoba ilmiah, jadi semua jawaban saya berdasarkan data. Kita itu dalam pengetesan pakai model Korea Selatan, apa itu Korea Selatan? Korea Selatan itu penduduknya sama kaya Jawa Barat 50 juta. Mereka mengetesnya itu 0,6 persen dari jumlah penduduk alias 300 ribu. Nah Jawa Barat sekarang baru 150 ribu kurang setengahnya lagi untuk melakukan teori seperti di Korea Selatan di mana dengan 300 ribu tes kita bisa memetakan lokal infeksi.
Makanya ini golden momentum, pada saat mudik dilarang pada saat Ramadhan datang di mana orang ibadah lebih banyak, imunitas naik, di mana ada PSBB, di mana kita mengetes pasif harusnya Jawa Barat bisa mengendalikan sehingga tinggal lokal infeksi aja yang kita akan blokade.
Tapi kalau mudik dibuka, pesawat datang dari luar negeri wah nanti bocor lagi, masuk gelombang ke dua, itu yang kami khawatirkan. Maka arahan-arahan dari Kementerian Perhubungan harus saya sikapi dulu kalau ternyata aman terkendali it's oke, tapi kalau tidak kita akan bikin aturan sendiri yang lebih ketat.
Lip6: Bagaimana Anda kemudian menyikapi keputusan Pemerintah Pusat yang akan kembali menjalankan atau membuka keran transportasi umum?
RK: Ya saya cenderung risau kira-kira begitu, di satu sisi kami mencoba taat terhadap peraturan pemerintah di sisi lain risau, kenapa? Karena potensi dibukanya keran lalu-lintas ini akan mengalirkan orang-orang yang OTG (orang tanpa gejala). Terlihat sehat, ikut protokol kesehatan, dia di kereta/busnya jaga jarak kemudian dicek suhunya juga normal padahal di dalam tubuhnya bawa virus.
Itu yang paling mengkhawatirkan dan teori itu kita tes di KRL. Di KRL sudah jaga jarak duduknya semeter, dua meter. Kita tes 300 orang ketemu tiga di Bogor, kita tes 300 orang ketemu tiga di Bekasi. Berarti kan satu persen kan. Jadi, dengan banyaknya lalu lintas wara-wairi ini yang repot adalah kami di wilayah karena harus ngetesin orang-orang yang datang lah bayangkan ya. Mobilnya tetap, orangnya mengalir kami harus ngetes karena enggak ada bukti lagi kecuali dengan tes dan karena tes terbatas saya tentu bikin repot.
Oleh karena itu saya betul-betul akan sampling kalau saya temukan ada pemudik, tanda kutip, bukan pemudik orang yang menggunakan keleluasan transportasi ternyata positif maka kita akan tegas menutup lalu lintas.
Lip6: Artinya sudah ada diskusi atau dialog dengan pemerintah pusat dalam menyikapi hal ini?
RK: Sudah, tadi kan saya juga vicon dengan menteri perekonomian, dengan menteri perhubungan saya sampaikan yang sama bahwa kebijakan pusat juga harus mendengar masukan dari akar rumput dari bawah. Karena saya, Pak Ganjar, para gubernur lain kan yang menjaga gawang bawah kira-kira begitu. Kebijakan di atas tapi kalau di bawah enggak sinkron kan harus saling review lah kira-kira begitu.
Tapi saya tidak mau mempertentangkan itu, karena pemerintah provinsi adalah perwakilan dari pemerintah pusat di daerah. Apapun keputusan pemerintah pusat tugas kami secara undang-undang adalah mengamankan. Tapi kami punya kewajiban kalau kebijakan itu mungkin kurang pas kami memberi masukan untuk revisi.
Advertisement
Kelonggaran PSBB Harus Terukur
Contoh hari ini yang disepakati ada wacana relaksasi PSBB. Pertanyaanya kayak obat, seberapa besar dosis ekonomi yang dibolehkan. Nanti kegedean virusnya datang lagi, terlalu sedikit orang kelaparan jadi ini adalah hal yang tidak mudah di hari ini bagi para pemimpin berapa persen melonggarkan itu harus betul-betul terukur.
Maka nanti setelah PSBB saya akan kasih raport ke kelurahan-kelurahan, kecamatan, raportnya dibagi lima nilai. Ada level satu, dua, tiga, empat lima. Kalau level lima itu kalau tidak terkendali, kalau level empat itu kita hari ini itu PSBB. Kalau level tiga itu orang normal pakai jaga jarak tapi ada kegiatan yang dibatasi dan dilarang, misalkan rumah ibadah dan sebagainya.
Kemudian kalau level dua dia normal semua sekolah lagi, ke mall lagi, jalan-jalan lagi tapi pakai masker dan jaga jarak. Nah kalau level satu itu betul-betul kembali sebelum ada Covid tapi itu enggak mungkin sebelum vaksin ketemu.
Nah jadi seluruh Jawa Barat hari ini raportnya di level empat statusnya setelah PSBB nanti ada yang tetap di level empat lanjutkan PSBB, ada yang turun menjadi level tiga boleh melakukan kegiatan tapi ada sebagian yang dibatasi atau langsung level dua hidup normal lagi tapi dengan cara baru.
Lip6: Tapi apa mungkin kang ketika saat ini seluruh daerah berada di level empat kemudian PSBB dilonggarkan akhirnya malah kondisinya lebih baik apakah itu terjadi. Apa ukuran plus-minusnya pelonggaran PSBB di Jabar?
RK: Begini, mengapa kita mengetatkan daerah yang enggak ada virusnya dan mengapa kita melonggarkan daerah yang ternyata virusnya banyak itu kan pertanyaan ilmiah. Evaluasi PSBB itu akan memberikan jawaban. Di mana yang virusnya masih ramai, di mana yang udah enggak ada. Kalau masih ramai ya lanjutkan PSBB, kalau yang tidak ada ngapain di ketatkan karena orang kehilangan pekerjaan enggak bisa berjualan.
Ibaratnya lagi ujian, semua orang ikut ujian. Nanti hasil ujiannya ketemu raportnya anda raport hitam, level lima raport merah, level empat anda raportnya kuning, level tiga anda raport biru, level dua anda raportnya atau ada juara dunia level satu atau hijau.
Lip6: Berarti hasilnya akan didapatkan minggu depan, evaluasi ini akan dikerjakan oleh siapa? apakah dengan pemerintah pusat ataukah lembaga-lembaga riset terkait di Jabar?
RK: Jawa Barat mah segala ada, UI kan di Depok Jawa Barat, Universitas Padjajaran juga di Jabar, ITB, Unpad, IPB, UI itu yang bantu-bantu kami di Jawa Barat. Jadi saya seorang gubernur gak akan ngambil keputusan tanpa data, karena saya punya prinsip dalam kepemimpinan, good data, good decision, bad data bad decision.
Kapan Warga Jabar Hidup Normal Lagi?
Lip6: Menurut Anda, kapan masa puncak Corona di Jawa Barat dan kapan warga Jabar bisa hidup normal dalam tanda kutip lagi?
RK: Kalau menurut kajian, kalau kita pakai PSBB provinsi puncaknya itu minggu depan. Tapi kayak kita ke dokter, anda divonis kanker meninggal bulan depan kan enggak langsung percaya, saya tanya second opinion kira-kira begitu lah ke dokter ini, dokter ini jawabannya.
Saya juga sama saya tanya ternyata berbeda. Ada yang mengatakan minggu depan, pertengahan Mei, ada yang mengatakan awal Juni, sementara saya ambil yang paling pesimis yaitu tren turunnya di akhir Juni. Jadi normalitasnya kemungkinan sementara saya mencoba optimis dengan data yang ada itu sekitar bulan Juli.
Itulah kenapa anggaran Jawa Barat untuk Bansos kita aturnya hanya sampai bulan Juli. Setelah Juli kalau Allah mengabulkan ikhtiar kita, kita bisa normal lagi. Kalau belum mari kita sama-sama pikirkan bagaimana survive di bulan-bulan berikutnya.
Lip6: PSBB Jabodetabek (Bodebek) Rabu, 13 Mei akan berakhir, apakah akan diperpanjang atau tidak?
RK: Jadi, mewakili kawan-kawan PSBB-nya Bodebek itu harus satu frekuensi dengan Jakarta. Ini si virus ini kan enggak punya KTP, maka kita memperlakukan penanganannya itu per kluster. Jakarta itu kan Kluster-nya Jabodetabek, Jakarta kena, Bogor kena, Tangerang kena, Depok kena, Bekasi kena jadi kalau Jakartanya ke kiri ini rombongan Bodebek semua harus ke kiri, Jakartanya dua minggu Bodebek juga harus dua minggu.
Jadi poinnya adalah dari 27 kota/kabupaten di Jawa Barat saya bikin pengecualian kalau yang lain miring ke kanan, khusus Bodebek harus miring ke Jakarta karena virusnya beredar di lintas batas itu. Jadi jawabnya akan diperpanjang iya dan kemungkinan berakhirnya di sama kan dengan kebijakan Jakarta, itu perintah saya kepada wali kota/bupati.
Jangan sampai blunder Jakarta belum kita sudah terus virusnya wara-wiri oleh OTG kan lewat KRL, lewat perbatasaan, nanti ramai lagi, susah lagi, repot lagi.
Advertisement
Sengkarut Data
Lip6: Soal Bansos, bagaimana Pemprov melihat kondisi tumpang tindih data yang katanya terjadi dalam pembagian Bansos di Jawa Barat?
RK: Saya ini orang yang mencoba kerjanya cepat. Agak kesal kalau lambat ya. Masalahnya di data ini begini, sebelum Covid rakyat Jawa Barat yang disubsidi itu hanya 25 persen, setelah Covid diperkirakan hanya 40 persen. Kenyataannyaa 65 persen. Sebelum Covid hanya sembilan juta orang yang disubsidi dari 50 juta, ternyata sekarang yang daftar 38 juta. Jadi bayangkan 2/3 rakyat Jawa Barat sedang mencari subsidi.
Data itu ada 25 persen kan, ada data 25 sampai 65 persen ini yang bermasalah karena tidak semua mengisinya juga dengan tertib. Jadi bukan selalu salah pemerintah pusat atau apa, ini ada 1,7 jutauh juta data keliru diisi oleh entah lurah kah apa kepala desa, ada nama enggak pakai alamat, ada nama alamat enggak pakai nomor KTP, ada nomor KTP nomornya setengah kira-kira begitu ya. Itu masalah pertama, sehingga perbaikan data itu bolak-balik sampai kemarin ada ditemukan ada desa dia ngirim data melebihi jumlah penduduknya, kalau kita setujui itu merugikan negara dan lain sebagainya.
Nah, kalau saya nunggu sampai data ini beres mungkin Coronanya udah keburu pergi, maka Jawa Barat kemarin memutuskan mengirim duluan di data yang sudah clear, yaitu di tanggal 15 April. Terjadilah dinamika, ada kepala desa yang protes apa karena belum paham bahwa Jawa Barat itu hanya satu pintu, karena bantuan pemerintah itu ada delapan pintu jadi kami ini dikritik karena kerja kecepatan sebenarnya. Mendahului bantuan pemerintah pusat yang sampai hari ini belum sepenuhnya datang, ditambah pemerintah pusat memberi bantuan tidak satu pintu mba.
Harusnya kan saya udah mengusulkan dari satu gugus tugas aja, ini enggak, Kementerian Sosial ngirim sendiri, caranya sendiri, jadwal sendiri, Kementerian Desa jadwal sendiri, ngirim sendiri, Kementerian Tenaga Kerja ngirim bantuan sendiri cara sendiri, Pak Wisnutama juga sama ngirim bantuan ke geng pariwisata timing sendiri, cara sendiri.
Lip6: Koordinasinya tampak kacau seperti itu apa penyebabnya?
RK: Saya engak bilang itu kacau, tapi membuat persepsi di masyarakat jadi bingung. Kenapa yang kiri duluan, kenapa saya enggak dapat dari Pak Gubernur padahal dia jatahnya dari Menteri Desa kira-kira begitu, dia enggak hapal jadwal dia minggu depan, jadwal dari provinsi duluan.
Di rapat Kabinet, saya sebagai gubernur sudah menyampaikan kepada Pak Jokowi, Pak jangan sampai ini urusan duit, urusan sembako ribut tolong pintu yang kebanyakan itu disatupintukan, tapi tidak terjadi.
Lip6: Apa jawaban Presiden?
RK: Jawabnya dari Pak Presiden mendelegasikan ke Menko PMK itu untuk merespons ini, Menko PMK bikin rapat dengan para gubernur, di situlah yang, tanda kutip, berselisih paham sedikit dengan Pak Anies yang ramai di media. Saya saksinya ya dan akhir dari rapatnya tidak ada kesimpulan jadi satu pintu itu yang saya sesali.
Saya cerita apa adanya saja, kadang-kadang kita pengen cepat, kita ingin apa karena keputusannya enggak ada di tangan saya sehingga tidak seperti yang saya harapkan padahal kalau bisa harusnya bisa lebih cepat.
Contoh lain, kami mau verifikasi apakah datanya benar ada enggak yang dari bawah. Kami mau ngecek ke Kementerian Dalam Negeri ke Disdukcapil, kita mau ngecek lima juta KK, apa yang terjadi? kita hanya diizinkan verifikasi 1.000 data per hari, coba bayangin. Saya mau ngecek lima juta data, diizinkannya cuman 1.000 data per hari gimana beresnya datanya?
Sementara yang di bawah kan enggak mau tahu, Pak Gubernur PHP, Pak Gubernur menjanjikan padahal di balik itu keruwetan ini dari bawah ada, dari atas ada. Tapi minimal bagian saya, saya sudah selesaikan dengan baik.
Lip6: Terakhir, pesan kepada warga Jabar dalam menghadapi massa pandemi sekarang ini?
RK: Covid ini penyakit kerumunan ada kerumunan ada Covid, tidak ada kerumunan tidak ada Covid. Kita punya tiga benteng, benteng pertama pencegahan, mudah-mudahan semuanya taat pada ulamanya sebagai umat, mudah-mudahan semuanya taat pada pemimpinnya sebagai warga karena benteng pencegahan ini mudah tapi juga susah kalau kita tidak taat. Kedua, kita juga gunakan benteng kedua kalau benteng pertama jebol, namanya benteng pelacakan.
Kita yang paling masif 150 ribu lebih sudah kita tes. Ketiga adalah benteng perawatan, jangan sampai kaya di Ekuador benteng pertama dan kedua jebol langsung ke benteng ketiga mayat bergelimpangan dan sebagainya, Naudzubillah jangan sampai terjadi.
Terakhir dari saya, saya mendeklarasikan Covid ini seperti perang, kalau perang semua harus ikutan membela negara. Yang di depan adalah dokter, tenaga kesehatan, TNI-Polri, yang punya harta bela negara lah dengan hartanya, sumbang APD, sumbang sembako bagi yang susah.
Anda yang punya ilmu dan teknologi bela negara lah dengan ilmunya. Kalau anda punya tenaga bela negara lah menjadi relawan, kalau anda sisanya anda bela negara lah dengan disiplin jauhi kerumunan karena musuh kita ada di kerumunan. Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan untuk anda, tapi tanyakanlah apa yang anda bisa berikan untuk negara. Saya kira itu sedikit renungan dari saya.