Sukses

Peta Ancaman ISIS di Masa Krisis

Sejak awal, tak sedikit kalangan yang memprediksi bahwa mewabahnya virus corona tak serta merta menghentikan laju terorisme, malahan, kelompok teroris diyakini akan mencari celah baru untuk dapat tetap melancarkan aksi-aksinya.

Liputan6.com, Jakarta Wabah corona yang melanda banyak wilayah di dunia ternyata tak menyurutkan aktivitas kelompok teroris, baik dalam level nasional, regional, maupun global. Beberapa laporan bahkan menyebut wabah corona tak juga membuat aktifitas kelompok teroris reda, justru sebaliknya; kelompok teroris semakin giat melakukan berbagai aksi anarkistis. Penangkapan terhadap tiga kelompok teroris yang terafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pada 23 April lalu adalah sedikit fakta bahwa korona tak membuat terorisme mereda.

Sejak awal, tak sedikit kalangan yang memprediksi bahwa mewabahnya virus corona tak serta merta menghentikan laju terorisme, malahan kelompok teroris diyakini akan mencari celah baru untuk dapat tetap melancarkan aksi-aksinya. Terlebih dengan kenyataan bahwa sekarang fokus utama pemerintah adalah menanggulangi penyebaran corona, di waktu bersamaan meninggalkan beberapa lubang menganga terhadap pengawasan terorisme.

Hal inilah yang dimanfaatkan kelompok teroris. Mereka tidak melakukan serangan teror –meski indikasi perencanaan untuk melakukannya terungkap pula— namun aktifitas kelompok teror tidak surut. Salah duanya adalah indoktrinasi dan rekrutmen, yang keduanya tampak dari pemeriksaan terhadap kelompok JAD. Ini berarti, kelompok teroris tetap menyebarkan doktrin-doktrin sesat sarat dengan muatan teror sambil sesekali melakukan rekrutmen anggota baru.

Respons Terhadap Corona

Kelompok teroris, apapun bentuk dan namanya, terhubung dalam networking kelompok teroris di tingkat global, sehingga aktifitas kelompok teroris di mana pun berada pasti sejalan dengan network yang mereka ikuti, termasuk kelompok teroris yang ada di Indonesia. Untuk itu kita perlu melihat bagaimana kelompok teroris global merespons situasi krisis akibat corona. Tentang ini, ada tiga kelompok teroris global yang telah menyatakan asumsi dan sikap mereka terkait corona.

Pertama, kelompok Al Qaeda. Melalui surat edaran berjudul “The Way Forward: A Word of Advice on the Coronavirus Pandemic”, Al Qaeda menganggap wabah corona sebagai hukuman Tuhan atau dosa-dosa yang dilakukan manusia. Meski begitu, dokumen setebal 6 halaman itu tidak berisi seruan untuk melakukan serangan teror, mereka hanya minta agar para tahanan dibebaskan.

Sementara untuk merespons virus, mereka justru menyarankan agar anggota mereka menjaga kebersihan supaya terhindar dari virus mematikan itu. Dokumen yang disebar secara daring di awal April itu lebih banyak berisi statemen anti-Amerika. Mereka meledek Amerika yang disebut rapuh dalam hal ekonomi. Ledekan ini dikeluarkan sebagai respons terhadap pidato Trump beberapa waktu sebelumnya yang menyebut ekonomi Amerika sangat kuat dan termasuk paling baik sedunia.

Kedua, kelompok ISIS. Berbeda dengan Al Qaeda, ISIS terpantau sangat aktif melakukan persiapan untuk serangan-serangan teror. Bagi mereka, virus corona adalah hukuman Allah atas perlakuan dunia Barat terhadap Islam. Bagi ISIS, saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan serangan, sebab masyarakat dunia, termasuk yang tinggal di wilayah-wilayah yang mereka anggap musuh, sedang berada dalam kondisi cemas dan takut. Itu sebabnya, ISIS mendesak anggotanya untuk sebisa mungkin memanfaatkan kelumpuhan dan ketakutan masyarakat di masa pandemi untuk menyebarkan teror.

Ketiga, kelompok Taliban. Meski hanya beroperasi di Afghanistan, kelompok Taliban memiliki respons yang ‘unik’ terkait wabah corona. Mereka setuju bahwa corona adalah hukuman Allah atas dosa-dosa manusia, namun mereka menjamin keselamatan petugas kesehatan agar tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Taliban juga diketahui membentuk komite tersendiri yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi seputar corona kepada anggotanya.

Kelompok ini memang tidak mengeluarkan seruan resmi untuk melakukan serangan, misalnya dengan memanfaatkan suasana pandemi, namun mereka tetap membuat sejumlah kerusuhan di Afghanistan.

Respons yang berbeda-beda dari kelompok teroris di atas membantu kita dalam memahami peta potensi serangan teror di tengah masa pandemi. Dari data di atas kita juga bisa melihat bahwa hanya kelompok ISIS saja yang bersikeras melakukan serangan teror, meski ini tak berarti potensi bahaya dari kelompok lain boleh diabaikan. Di ranah lokal, perubahan gerakan teror terjadi pada kelompok JAK dan JAS yang kini fokus mengisi masa karantina dengan melakukan indoktrinasi melalui kanal-kanal online.

 

 

2 dari 2 halaman

Segitiga Kriminal

Jika ditanya apakah pandemi ini berkorelasi pada tinggi rendahnya aktifitas kelompok teroris, jawabnya tentu bisa iya, bisa juga tidak.

Dalam studi kriminologi dikenal teori crime triangle yang dipopulerkan oleh Cohen dan Felson (1979). Menurut keduanya, tindakan kriminal sesungguhnya adalah bagian dari rutinitas masyarakat, bedanya, tindak kriminal hanya akan terjadi jika seseorang atau sekelompok orang berada pada tiga kondisi berikut (yang kemudian disebut segi tiga kriminal): orang yang termotivasi untuk melakukan kejahatan (motivated offender), target/sasaran yang sesuai (suitable targets) dan kurangnya pengawasan/perlindungan dari pihak berwajib (lack of guardians).

Dalam konteks terorisme di masa pandemi seperti sekarang, motivated offenders sudah ada, yakni dalam rupa kelompok teroris. Suitable targets juga sudah ada, yakni masyarakat luas yang sedang dirundung kecemasan lantaran corona yang masih menjadi ancaman. Sementara lack of guardians bisa dilihat dari besarnya fokus pemerintah untuk menyelesaikan soal corona. Perlu ditekankan, lack of guardians ini tak bermakna hilangnya perhatian pemerintah terhadap bahaya terorisme, tetapi hanya berkurang. Tak lagi seperti biasanya.

Tiga unsur inilah yang dieksplorasi betul oleh ISIS. Kelompok ini menggunakan isu Covid-19 untuk menyebarkan narasi bahwa Allah sedang menghukum ‘orang-orang tak beragama’ seperti warga China, Amerika, dll.

ISIS bahkan melabeli Covid-19 sebagai “prajurit Allah” yang akan membasmi musuh-musuh Islam. Itu sebabnya, mereka tak segan mendorong anggotanya untuk menggunakan kelumpuhan dan ketakutan masyarakat di tengah pandemi untuk melancarkan sejumlah serangan guna mengambil alih negara-negara di dunia.

Seruan itu disampaikan ISIS melalui majalah The Voice of Hind, media cetak yang diterbitkan dan disebarkan oleh simpatisan ISIS di India. Salah satu seruannya bahkan berbunyi, “Persiapkan dirimu dengan apapun yang kau punya, dan bangkitlah. Buat keadaan ini lebih buruk untuk kafir!”

Majalah itu juga berisi penjelasan bahwa Covid-19 memang sengaja diturunkan oleh Allah untuk menghancurkan orang-orang tak beriman. Di kondisi ini, aparat militer dan polisi juga telah ditempatkan di jalan-jalan dan tempat-tempat terbuka lainnya, membuat mereka target yang mudah untuk diserang.

ISIS tak main-main dengan seruan ini. Selama masa krisis akibat korona ini, ISIS diketahui telah melakukan serangkaian serangan teror di Afghanistan, Afrika Barat, Afrika Tengah, Sahel, Mesir, Filipina, Maladewa, Yaman dan Indonesia.

ISIS tampak memanfaatkan ketidakstabilan dari keadaan krisis Covid-19 ini sebagai penanda kebangkitan mereka di berbagai negara. Sejak Januari 2020, ISIS tercatat melakukan sedikitnya 241 serangan di level global, dengan 157 serangannya dilakukan di Irak dan Suriah. Serangan terbanyak terjadi pada April, yakni 52 serangan yang menargetkan milisi Iran, militer pemerintah Suriah, pos-pos pengawasan, serta warga sipil.

Fakta ini seharusnya menyadarkan kita bahwa dengan atau tanpa adanya corona, ancaman terorisme tetap berbahaya. Kelompok-kelompok teroris di Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS tentu mengikuti instruksi pusat untuk mempersiapkan diri melakukan serangan, terutama karena fokus kita lebih banyak bergeser ke penyelesaian wabah corona.

Di Indonesia, dua kelompok yang diketahui tetap beraktivitas adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD), seperti yang tampak dari jaringan Zulfiqar Rahman yang ditangkap beberapa waktu lalu. Mereka tetap menjalankan operasi untuk mempersiapkan serangan teror di tengah wabah koronavirus.

Kelompok lainnya adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok ini abai terhadap wabah korona dan aktif menargetkan aparat kepolisian dan orang-orang yang tinggal di lereng gunung. Selama April ini saja, MIT diketahui telah melakukan serangan sebanyak tiga kali, masing-masing pada 7 April (penculikan dan pembunuhan terhadap warga sipil), 15 April (Penyerangan terhadap anggota polisi) dan 19 April (penculikan dan pembunuhan terhadap warga sipil).

Kita bersyukur karena serangan kelompok ini tidak meluas dan memakan lebih banyak korban. Strategi pre-emptif strike yang dilakukan Densus 88 AT Polri terbukti efektif dalam meredam potensi bahaya terorisme. Selama Januari hingga Mei 2020, Densus 88 AT Polri telah menangkap total 58 tersangka yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.  

 

*** AKBP Dr. Didik Novi Rahmanto, Anggota Satuan Tugas Antiteror Polri