Liputan6.com, Jakarta - Ancaman alih fungsi lahan pertanian semakin nyata di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, luas baku sawah berkurang cukup signifikan.
Menurut data Kementerian ATR/BPN, lahan pertanian menyusut 287 ribu hektar dalam rentang waktu 2013-2019. Data lain menyebutkan, 110 ribu hektar lahan pertanian berganti peruntukan tiap tahunnya (HKTI, 2019).
Baca Juga
Ahli pertanian dari Universitas Udayana, I Made Supartha Utama menyebut, alih fungsi lahan pada dasarnya justru menjadi ajang pemiskinan masyarakat. Sebab, kebijakan tersebut mendorong petani kehilangan pekerjaannya dan bergaya hidup konsumtif.
Advertisement
"Perubahan sosial mempengaruhi luas lahan pertanian yang semakin sempit. Lahan pertanian banyak berubah peruntukan menjadi non-pertanian. Cuma masalahnya, meski punya uang, petani tidak punya skill lain," kata Supartha dalam keterangan tertulis, Selasa (9/6/2020).
"Nah, sekarang lahan pertaniannya tidak ada. Dia punya uang, tapi tidak punya skill selain bertani, akhirnya terjadilah dengan gaya hidup tinggi dengan pola hidup konsumtif. Nah, ini kan sebenarnya suatu pemiskinan sebenarnya," sambungnya.
Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah dinilai perlu memberikan sejumlah insentif guna mencegah petani melepaskan lahannya. Karena pada dasarnya, keputusan menjual lahan pertanian itu terletak pada mereka.
"Lahan pertanian yang berkelanjutan itu harusnya dijaga oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan diberikan insentif, misalnya kemudahan pajaknya, subsidi pestisida, atau dukungan teknologi, sehingga produktivitasnya akan meningkat dan efisien, serta memberikan pendapatan yang baik bagi para petani " kata Supartha.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Implementasi UU Belum Maksimal
Supartha menilai, instrumen hukum untuk mencegah alih fungsi lahan sejatinya sudah cukup memadai. Hanya saja implementasinya di lapangan masih belum maksimal.
Pemerintah perlu konsisten agar kebijakan untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan ini bisa optimal.
"Menurut saya, UU No 4/2009 sudah cukup bagus. Cuma sekarang bagaimana implementasinya. Bagaimana undang-undang itu diterjemahkan menjadi Pergub atau Perda," terangnya.
"Dan Undang-Undang itu harus dilaksanakan secara konsisten, dan perlu perencanaan yang baik untuk menentukan mana yang akan dijadikan kawasan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ke depan," pungkas Supartha.
Advertisement