Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir meminta pemerintah mengkaji lima hal sebelum memberlakukan kebijakan new normal (normal baru).
Lima hal tersebut adalah, dasar kebijakan new normal, maksud dan tujuan new normal, konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik, jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan new normal, dan persiapan-persiapan yang saksama agar masyarakat tidak menjadi korban penularan wabah Covid-19.
"Perlu ada penjelasan tentang kebijakan new normal. Jangan sampai masyarakat membuat penafsiran masing-masing," ujar Haedar dikutip dari Antara, Kamis (28/5/2020).
Advertisement
Kesimpangsiuran mengenai penafsiran new normal ini dipandang menjadi sumber ketegangan aparat dengan rakyat. Bahkan, demi melaksanakan aturan, kadang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan.
Sementara, laporan BNPB menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 masih belum dapat diatasi. Tetapi Pemerintah justru mulai mewacanakan new normal.
"Apakah semuanya sudah dikaji secara valid dan saksama dari para ahli epidemiologi. Wajar jika kemudian tumbuh persepsi publik yang menilai kehidupan masyarakat dikalahkan untuk kepentingan ekonomi. Penyelamatan ekonomi memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keselamatan jiwa masyarakat ketika wabah belum dapat dipastikan penurunannya," ujar Haedar.
Berakhir Baik
Ia mengatakan dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimiliki, Pemerintah tentu memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka dengan demikian sepenuhnya Pemerintah bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari kebijakan new normal yang akan diterapkan di Indonesia.
"Semua pihak di negeri ini sama-sama berharap pandemi Covid-19 segera berakhir di Indonesia maupun di mancanegara. Namun semuanya perlu kesaksamaan agar tiga bulan yang telah kita usahakan selama ini berakhir baik. Semoga Allah melindungi bangsa Indonesia," kata Haedar Nashir.
Advertisement