Sukses

Tak Ada Payung Hukum untuk Media Baru, KPI Anggap UU Penyiaran Saat Ini Tak Relevan

Andre menegaskan, KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti.

Liputan6.com, Jakarta Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menilai Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Menurut dia, aturan dalam Undang-Undang Penyiaran sekarang tidak dapat mengakses dan menindak tegas jika ada permasalahan di media baru yang banyak dipertanyakan publik dan dikeluhkan media penyiaran atau media mainstream.

"Rasanya tidak adil jika siaran media penyiaran diperlakukan ketat atau berbeda karena ada pengawasan dan naungan regulasi yang memayungi. Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan,” kata Andre dalam diskusi daring yang digelar Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Selasa (9/6/2020).

Andre menegaskan, KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti. Selain terlebih dahulu diberi penguatan pada kelembagaan KPI dan KPID secara sistematis, utuh, dan tegas.

KPI juga akan mengalami perubahan menjadi AI (artificial intelligence) ketika masuk dalam teknologi baru tersebut.

Menurut dia, pengawasan terhadap media baru sangatlah krusial, selain memberi perlakuan yang sama dengan media yang sudah ada, konten dalam media baru belum sepenuhnya aman, yang dikhawatirkan justru berdampak lebih buruk terhadap publik, khususnya anak dan remaja.

"Kita tahu ada layanan tontonan streaming yang menyediakan film-film berkualitas, tapi apa sudah sesuai dan pantas dengan budaya dan adat kita. Apa yang mereka sampaikan belum disaring sesuai dengan kultur bangsa kita. Kami apresiasi Komisi 1 DPR yang sudah menstimulasi perkembangan RUU Penyiaran,” kata dia.

Karenanya, lanjut Andre, jika KPI diberi kewenangan oleh UU baru, pihaknya bakal membuat batasan untuk konten asing terhadap konten lokal. “Batasan ini agar tidak terjadi dominasi siaran asing. Minimal 60 persen untuk ketersediaan konten lokal dalam siaran,” ujarnya.

Terkait produksi konten ini, Andre memandang penting keterlibatan pemerintah terhadap usaha-usaha pembuat konten lokal. Menurut dia, konten agregrator atau penyedia diberikan dukungan berupa subsidi berkesinambungan dari pemerintah.

"Kami sangat peduli dengan urusan konten. The King is Konten. Ini menjadi konklusi industri ke depan,” paparnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Iklim Kompetisi Ketat

Sementara itu, kalangan industri penyiaran saat ini sangat bergantung dengan akselerasi proses pembahasan kembali revisi Undang-Undang Penyiaran di DPR agar dapat bersaingan secara adil dengan media baru dan memberi perlindungan terhadap usaha mereka.

Harapan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution. ATVSI bahkan meminta pemerintah dalam menyusun RUU Penyiaran memasukkan aturan untuk menjamin keberlangsungan industri televisi yang sudah lama eksis.

"Dengan banyaknya televisi tentunya iklim kompetisi di televisi ini sangat ketat. Nah, kami berharap dengan UU yang baru nanti, televisi-televisi eksisting ini tidak menjadi seperti kata Pak Menteri menjadi sunset atau menjadi suatu bisnis yang mati karena begitu besarnya investasi ditanamkan di televisi ini," tutur Syafril dalam ruang diskusi yang sama.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johhny G Plate, mendukung upaya revisi dan pengesahan UU Penyiaran baru agar dipercepat. Dia mengatakan, RUU Penyiaran mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia.

"Digital itu harus karena untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya.

Anggota Komisi I DPR, Utut Adianto, mengatakan revisi UU Penyiaran memang diperlukan. Dia menggambarkan, substansi RUU ini akan sangat berkaitan dengan hal yang bermanfaat bagi berbagai pihak.

"Akan adanya perlindungan hukum bagi pelaku industri dan juga masyarakat. RUU ini harus membuat dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” katanya.