Liputan6.com, Jakarta - Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Cucu Ahmad Kurnia memberikan penjelasan terkait belum dapat dibukanya tempat hiburan di masa PSBB transisi. Tidak klopnya antara hitung-hitungan bisnis dan keharusan menjalankan protokol adalah penyebabnya.
"Belum ada protokol yang bisa win-win solution, kita paksakan protokol, (pelaku usaha) tekor. Tidak diterapkan protokol, risiko (bagi pengunjung)," kata Cucu di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Baca Juga
Dia mencontohkan konser. Tentu di masa PSBB transisi, protokol kesehatan harus dijalankan. Pelaksanaan protokol kesehatan berdampak pada jumlah penonton yang boleh terlibat. Ujung-ujungnya berdampak pada harga tiket.
Advertisement
"Kayak konserlah. Yang berdiri mustahil, paksain duduk satu meter antarkursi. Pas dihitung 30 persen yang bisa ditampung dari kapasitas normal. Kalau dipaksain tiketnya jadi mahal dari normal tapi, tidak tutup modal," jelas Cucu.
Dia mengakui, perhitungan ekonomi menjadi alasan utama. Sebab tentu tidak ada untungnya juga jika tempat hiburan dibuka di masa PSBB transisi, tapi pelaku usaha malah merugi.
"Taruh nih kita paksakan social distancing ternyata kapasitas 30 persen akhirnya penyelenggaranya tekor. Ya ngapain bikin konser kapasitas 1.000 yang hadir cuma 300, nggak balik modal itu kan, ini ada faktor seperti itu. Nah, ini ada hitungan ekonomi yang ada kesepakatan," ujar Cucu.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Usah Dipaksakan
Sama halnya dengan bioskop. Tentu tidak sulit menerapkan jaga jarak di bioskop. Namun, pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan kursi yang hanya diisi 50 persen dari kapasitas normal pelaku bakal untung atau setidaknya balik modal.
"Misalnya bioskop, gampang saja kan kapasitas 50 persen tapi apa balik modal kalau buka 50 persen. Itu yang harus dicari jalan tengahnya. Untuk apa dipaksakan buka kalau masih tekor. Event diskotik itu sulit kalau sekarang referensi di dunia masih belum ada yang buka juga," tandas dia.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu/Merdeka.com
Advertisement