Liputan6.com, Jakarta Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masyarakat lokal, namun juga para pencari suaka atau pengungsi dari negara konflik seperti Afghanistan, Somalia, Palestina yang tinggal di negara transit seperti Indonesia.
Jumlah para pengungsi di Indonesia diketahui tidak sedikit, terlebih banyak dari mereka masih menunggu kepastian dari UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) untuk ditempatkan di negara tujuan, seperti Amerika, Kanada, atau Australia.
Di Jakarta sendiri, para pengungsi tinggal secara berkomunitas dan terpencar, seperti di kawasan Kalideres Jakarta atau Cisarua Bogor. Mereka tinggal serba terbatas, hanya bermodalkan bantuan dari organisasi non-pemerintah atau komunitas sosial.
Advertisement
Lalu bagaimana saat hidup serba terbatas tersebut, diterpa pandemi Covid-19?
Nimo, Manager Design and Evaluation dari Sisterhood, mengatakan kegiatan para pengungsi selama pademi di Indonesia diisi dengan beragam kelas daring.
"Ada lima kelas kami buka untuk mengisi kegiatan mereka khususnya wanita agar tetap di rumah saja, seperti kelas bahasa inggris, kelas menjahit, klub buku akhir pekan, kelas daring aerobic, dan kelas membuat manik-manik," tutur Nimo dalam diskusi via video conference oleh LBH Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Nimo melanjutkan, motivasinya dari giat komunitas Sisterhood ini selain untuk menjaga mereka betah di rumah, juga untuk memberi dukungan kepada para kelompok wanita pengungsi dari beban hidup mereka yang berat.
"Kami sadar selama lockdown ini berdampak pada mereka, mulai dari keungangan juga mental yang depresi, dan lingkungan sekitar," jelas Nimo.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Donasi dari Pengungsi ke Pengungsi
Terdampak secara finansial membuat Nimo membuat gerakan donasi dari pengungsi ke pengungsi.
Menurut dia, hal tersebut cukup berat namun antar pengungsi dengan latar negara berbeda saling membantu.
"Selama pandemi ini distribusi sangat sulit, menantang karena makanan dan peralatan yang hygine selalu tidak mencukupi memenuhi kebutuhan harian, tapi dengan hubungan yang baik kita bisa lalui bersama," tutur Nimo.
Nimo berpesan, menjadi pengungsi bukanlah keinginan mereka. Kendati keadaan di negara mereka yang memaksakan hal tersebut.
"Kita butuh cinta dan kepedulian untuk menyembuhkan trauma mereka, kita dukung mereka untuk terus tetap hidup tanpa diskriminasi," Nimo menandasi.
Â
Advertisement