Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin diganjar hukuman mati karena melakukan pembunuhan berencana terhadap suami, Edi Candra Purnama serta anak tirinya Muhammad Adi Pradana (24).
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mati keduanya pada Senin, 15 Juni 2020 lalu.
"Menyatakan terdakwa satu Aulia Kesuma dan terdakwa dua Geovanni Kelvin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana. Menghukum terdakwa dengan pidana hukuman mati," kata hakim ketua Suharno saat membacakan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 15 Juni 2020 lalu.
Advertisement
Vonis majelis hakim sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mendakwa kedua terdakwa dengan dakwaan subsideritas (berlapis) primair melanggar Pasal 340 juchto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP, subsider Pasal 338 juchto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Â
Aulia Kesuma pun melakukan sejumlah upaya untuk lolos dari jerat hukum tersebut.
Berikut 2 hal yang dilakukan Aulia Kesuma terdakwa istri bunuh suami dan anak tiri dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ajukan Banding
Pengacara Firman Candra selaku kuasa hukum Aulia Kesuma menyatakan banding atas vonis mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kliennya.
"Sebagai kuasa hukum, kami mengapresiasi apapun yang diputuskan oleh majelis hakim, namun kami melihat putusan ini terlalu sadis," kata Firman usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, seperti dilansir Antara.
Firman berpendapat, putusan mati di sejumlah negara telah dihapuskan untuk kasus apapun baik kasus pembunuhan ataupun narkoba.
Selain hal tersebut, Firman juga mempertanyakan tidak ada hal meringankan dari terdakwa yang disampaikan oleh majelis hakim. Padahal, ada hal-hal yang dapat meringankan terdakwa.
Hal yang meringankan pertama menurut Firman, yakni salah satu pelaku perencana pembunuhan dengan nama terdakwa Aki hingga kini belum bisa dihadirkan di persidangan karena masih dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Selain itu, ada beberapa BAP yang tidak sesuai dan dibantah oleh saksi. Terdakwa meminta untuk dihadirkan penyidik namun ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)," ucap dia.
Yang terpenting dari pembelaan terhadap terdakwa adalah terdakwa memiliki anak berusia empat tahun hasil pernikahannya dengan korban almarhum Edi Candra Purnama.
"Kini anak tersebut tidak ada yang mengasuh, karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya dihukum mati," jelas Firman.
Advertisement
Kirim Surat untuk Jokowi
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Aulia Kesuma melalui kuasa hukumnya Firman Candra dan Ryan Sazilly melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi berisi permohonan keadilan atas vonis mati yang dijatuhkan terhadap dirinya.
Pengacara Firman Candra mengatakan, surat permohonan tersebut adalah upaya hukum yang ditempuh demi mendapatkan keadilan untuk Aulia Kesuma.
"Hari Jumat, 19 Juni kemarin kita kirim permohonan keadilan ke delapan lembaga negara, di antaranya ada Presiden, Wapres, ada Komisi 3 (DPR), Menkumham, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua MA, Komnas HAM dan lain-lain," kata Candra, Selasa 23 Juni 2020.
Berikut 8 poin isi surat Aulia Kesuma untuk Presiden Jokowi:
1. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 Direktorat Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu hak untuk hidup dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Terdakwa AULIA KESUMA memiliki putri yang masih balita dari perkawinannya dengan almarhum EDI CANDRA PURNAMA.
3. Beberapa Yurisprudensi kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, sudah divonis majelis hakim dan inkracht tidak ada vonis pidana mati seperti: Afriani Susanti dengan korban 9 orang meninggal dengan vonis 15 tahun; Magriet Christina Megawa dengan satu korban meninggal dengan vonis seumur hidup; dan Jessica Kumala Wongso dengan satu korban meninggal dengan Vonis 20 tahun.
4. Selama hukuman mati masih menjadi sanksi dalam hukum pidana, maka Indonesia disebut masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam pancasila. Hukuman mati yang diturunkan penjajah juga dianggap tidak mengambarkan kemajuan secara nasional atau internasional.
5 . Berdasarkan Ditjen Permasyarakatan 2019 dan database ICJR mengenai hukuman mati di Indonesia (2020) menunjukan ada sekitar 274 terpidana mati dalam lapas. Sementara itu 60 orang yang sudah duduk menunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun, tanpa kejelasan hidup, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab.
6 . Hukuman mati di berbagai belahan dunia memang masih menuai pro dan kontra. Albert Camos dalam esai panjang Reflection on the Guillotine menentang hukuman mati. Menurut dia, hukuman ini tak memberikan keadilan juga tidak tak memberikan dampak apapun kterhadap kejahatan. Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi dan dalam argumenya itu, Camuo menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain.
7 . Pada 2015 beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka. Madagaskar telah menghapus hukuman mati pada tahu 2015, disusul kemudian Fiji pada bulan februari, Suriname pada bulan Maret dan pada November 2015, Congo memutuskan untuk menghapus sama sekali hukuman mati.
8. Berdasarkan alasan- alasan tersebut, kuasa hukuk menyatakan dua terdakwa yakni Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Pertama Pasal 340 Jo. 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dan harus segera dibebaskan dari vonis Pidana Mati tersebut.