Liputan6.com, Jakarta Pandemi yang melanda dunia saat ini berdampak ke semua sektor. Mulai dari ekonomi Tetapi juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global. Hal itu dipertegas oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengaku telah memperingatkan masalah tersebut.
Menanggapi hal itu, anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA), Kuswanto mengutarakan bahwa untuk di Indonesia ancaman krisis pangan belum terjadi, malah saat ini ketersedian pangan relatif cukup dan masyaraktat tetap memperoleh pangan dengan harga yang wajar.
Baca Juga
“Belum terjadi lonjakan harga pangan yang tajam sebagai salah satu indikasi terjadinya krisis pangan, justru yang muncul adalah turunnya harga beberapa komoditas sayuran seperti cabai merah, cabai hijau, terong, sawi, timun tomat dan buah-buahan di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta,” ujar Kuswanto saat dihubungi oleh Liputan6.com lewat pesan singkat, Kamis, (2/7/2020).
Advertisement
Lebih lanjut Kuswanto mengatakan krisis pangan dalam arti kelangkaan pangan yang diprediksi bukan karena kekurangan produksi atau ketiadaan stok pangan yang memadai. Hal itu dikarenakan adanya gangguan atau disrupsi-disrupsi yang terjadi pada rantai distribusi dan pemasaran pangan sehingga stok menumpuk di tangan petani.
“Tapi kejadian seperti itu tak banyak ditemukan, kecuali beberapa kasus seperti di Jawa Tengah, Yogya dan Jawa Timur. Turunnya pasokan pangan ke wilayah perkotaan memang nyata terjadi meskipun logistik pangan dikecualikan dalam PSBB, seperti yang terjadi di Ibukota yang kabarnya turun sampai 20%. Namun dampaknya terhadap kenaikan harga pangan tak signifikan,” tutur Kuswanto.
Jika memang terjadi krisis pangan di Indonesia, lanjut Kuswanto karena tekanan ekonomi yang menimpa petani saat ini membuat mereka tidak cukup punya kemampuan untuk berinvestasi kembali menanam tanaman pangan pada musim berikutnya. Nantinya, produksi akan merosot meskipun input untuk produksi seperti air, pupuk tersedia melimpah karena petani tak mampu menyediakan biaya produksi.
“Kondisi akan semakin buruk jika kecenderungan penurunan produksi padi sejak tahun lalu terus berlanjut akibat faktor di luar pandemi seperti musim kemarau yang lebih kering dan berkepanjangan,” imbuh Kuswanto.
Maka dari itu, Kuswanto melanjutkan pentingnya peran pemerintah untuk memberi bantuan, bukan hanya mengupayakan kelancaran jalur distribusi dan pemasaran tetapi juga menyertakan petani dalam program jaringan pengaman sosial dan pemberian insentif agar daya belinya tak semakin merosot dan petani tetap bergairah menanam tanaman pangan.
Tantangan
Dengan adanya faktor penyebab dari krisis pangan tantangan paling berat adalah memulihkan daya beli petani agar mampu membiayai produksi usaha taninya. Krisis pangan yang diprediksi sebagai ancaman ini kan lahir dari situasi pandemi Covid-19, sehingga ketika situasi menjadi normal, kemampuan produksi petani juga akan pulih seperti sediakala dan produksi pangan akan berlanjut kembali seperti semula.
“Namun situasi pandemi dengan penerapan PSBB telah membuat daya beli petani merosot, kemampuan produksinya menurun sehingga perlu dibantu oleh pemerintah untuk memulihkan,” imbuh Kuswanto.
Mengenai hal itu, Kuswanto juga menjelaskan bahwa penurunan daya beli petani terlihat antara lain dari Nilai Tukar Petani (NTP) pada Mei 2020 yang dilaporkan oleh BPS lebih rendah dari April 2020, yaitu 99,47 turun 0,85% dari 100,32.
“Beratnya tantangan ini mengingatbelum jelasnya kapan pandemi Covid 19 akan berakhir sehingga tekanan ekonomi akan tetap berlangsung meskpun sudah mulai dilakukan pelonggaran-pelonggaran atas PSBB,” ujar Kuswanto.
(*)