Liputan6.com, Jakarta Isu krisis pangan dunia membuat pemerintah memberikan perhatian khusus untuk meminimalisir dampak tersebut. Perlu diketahui, akibat pandemi saat ini Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengingatkan ancaman akan adanya krisis pangan global.
Anggota Dewan Sumber Daya Air, Kuswanto mengatakan bahwa saat ini di Indonesia ancaman krisis pangan belum benar-benar terjadi. Karena ketersedian pangan relatif cukup dan harga tetap stabil.
Baca Juga
Namun, bukan menjadikan Indonesia harus berdiam diri untuk menghadapi hal itu. Saat ini, ada beberapa skema yang telah dijalankan untuk menghadapi krisis pangan yang diprediksi terjadi.
Advertisement
“Pemerintah sudah cukup banyak melakukan upaya untuk mencegah atau mengatasi ancaman krisis pangan akibat pendemi Covid-19, namun terlihat ada kerancuan atau sengaja maupun tidak, kurang memusatkan perhatian pada penyebab pokok dari ancaman krisis pangan. Padahal, faktor utama ancaman krisis pangan saat ini adalah menurunnya daya beli petani sehingga petani melemah kemampuan produksi usaha taninya,” imbuh Kuswanto.
Mengenai produktivitas yang masih rendah, lanjut Kuswanto kurangnya ketersediaan air atau lahan pangan memang perlu terus ditingatkan, tetapi tanpa pemulihan daya beli petani, semuanya itu akan sia-sia karena tak bisa dimanfaatkan oleh petani yang kehilangan kemampuan berproduksi.
“Pemerintah memiliki program foodestate di bekas lahan gambut di Kalimantan Tengah yang merupakan program strategis untuk menjawab problem pangan jangka panjang, bukan lahir semata karena ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19,” imbuh Kuswanto.
Menurut Kuswanto jika ancaman itu benar terjadi, bakal ada daerah yang terdampak potensi lebih tinggi yaitu untuk daerah dengan stok dibawah normal alias kekurangan pasokan seperti Bangka Belitung, Maluku Utara, Papua Barat dan Kepulauan Riau.
“Pada minggu April 2020, Badan Ketahanan Pangan Kementan melaporkan kondisi stok pangan yang minus di daerah tersebut dan berimbas pada harga beras yang lebih tinggi dibanding di daerah sentra produksi,” tutur Kuswanto.
Kuswanto memprediksi jika krisis pangan itu terjadi di Indonesia akan berakhir setelah pandemi berakhir juga. Namun jika faktor lain, seperti kemarau yang diprediksi lebih panjang dan lebih kering di beberapa daerah tertentu, krisis akan tetap menjadi ancaman sehingga perlu melakukan upaya-upaya ekstra lain seperti percepatan musim tanam, pembuatan embung dan bendungan untuk meningkatan ketersediaan air, perbaikan jaringgan irigasi dan sebagainya.
Kondisi petani saat krisis pangan
Krisis pangan juga bakal berdampak kepada para petani. Apalagi akibat penerapan PSBB yang sudah menjangkau hampir semua daerah di Indonesia, petani ikut terimbas secara ekonomi sehingga pendapatan dan daya belinya menurun.
“Data terakhir NTP bulan Juni 2020 yang baru saja dirilis BPS, masih dibawah 100 meskipun ada sedikit kenaikan, yaitu menjadi 99,6 atau naik 0,13 dari Mei 2020. Pelonggaran PSBB yang mulai banyak berlaku pada awal Juni tampaknya sudah bisa mengurangi tekanan ekonomi. Namun harus diingatkan pandemi Covid 19 sebenarnya belum berakhir dan bahkan belum diketahui puncaknya sampai kapan,” imbuh Kuswanto.
Untuk menaggulanginya, lanjut Kuswanto pemerintah telah melancarkan program jaringan pengaman sosial dengan dana ratusan trilyun termasuk untuk pemulihan ekonomi, namun program tersebut berlaku secara umum untuk kelompok-kelompok sasaran yang terdampak.
“Para petani termasuk dalam kelompok sasaran karena sebagian besar memenuhi kriteria seperti tegolong warga miskin. Namun petani sebagai pelaku produksi pangan bukan kelompok sasaran yang secara khusus ditetapkan dalam program jaringan pengaman sosial,” tutur Kuswanto.
(*)