Sukses

Menristek: Ventilator Buatan Dalam Negeri Belum Dikomersilkan

Menristek juga mengaku kagum dengan capaian para peneliti dan inventor yang dalam waktu singkat mampu menghasilkan ventilator yang sangat diperlukan saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Riset dan Teknologi dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro menjelaskan lima ventilator sudah masuk tahap produksi massal dan sudah didistribusikan ke rumah sakit yang memerlukannya namun lima ventilator tersebut belum dikomersialkan.

"Kelima ventilator tersebut sudah masuk tahap produksi dan sudah mendapat izin edar, kecuali dari LIPI yang masih dalam tahap uji coba produksi. Dari produksi yang sudah dilakukan memang kebanyakan masih difokuskan untuk mengisi kekosongan yang ada di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan, dengan kata lain belum menuju komersial, dan lebih fokus bagaimana mengisi kebutuhan seperti yang disampaikan oleh gugus tugas," jelas Bambang dalam keterangannya, Senin (6/7/2020).

Menristek juga mengaku kagum dengan capaian para peneliti dan inventor yang dalam waktu singkat mampu menghasilkan ventilator yang sangat diperlukan saat ini.

"Bisa dibayangkan dalam waktu hanya dua sampai tiga bulan, mereka bisa membuat sesuatu sesuai target untuk didonasikan karena dua dari lima yang tadi disebutkan yaitu dari ITB dan UI sudah mendapatkan dukungan dari crowd funding dari berbagai lapisan masyarakat yang bisa membiayai tidak hanya pembuatan prototype-prototype sampai kepada uji tapi juga sampai produksi dan kemudian langsung didonasikan," paparnya.

Lebih lanjut Bambang mengatakan bahwa sedang dijajaki kerja sama dengan Gugus Tugas Covid-19 atau Kemenkes untuk pengadaan alat kesehatan produksi dalam negeri secara terpusat agar produsen mendapatkan kepastian pembelian dan distribusi yang tepat sasaran.

"Yang sedang dijajaki dengan Gugus Tugas atau Kementerian Kesehatan adalah bagaimana agar Gugus Tugas dan Kemenkes melakukan pengadaan secara terpusat sehingga ketika mereka misalkan membeli ventilator dari hasil inovasi anak negeri ini maka kemudian distribusinya tepat sasaran kepada rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang memang membutuhkan ventilator. Kira-kira update-nya seperti itu," harap Menteri Bambang.

Dia juga mengatakan bahwa ventilator dikembangkan dari sumber yang sudah tersedia secara publik, artinya mereka tidak mengklaim dalam bentuk paten. Apalagi kita memang sepakat bahwa dalam kondisi pandemi paten dikesampingkan terlebih dahulu, kita fokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tentunya insentif yang diberikan adalah kepada kemitraan mereka dengan industri.

Pihaknya berharap setelah pandemi ini, industri alat kesehatan mulai berkembang pesat. Pemerintah siap membantu hilirisasi dan komersialisasi produk alat kesehatan yang merupakan hasil inovasi. Maka insentif utamanya yaitu kepemilikan hak patennya yang kemudian dibeli lisensinya oleh pihak industri atau swasta, dan itu merupakan insentif yang luar biasa sehingga para inovator makin semangat untuk mendesain alat-alat kesehatan yang semakin canggih lagi di kemudian hari.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pengembangan Vaksin

Mengenai pengembangan vaksin, Bambang menerangkan Keppres-nya akan segera keluar minggu depan atau dua minggu lagi dengan Menristek/Kepala BRIN sebagai Ketua Tim Pengembangan Vaksin bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara.

"Update yang bisa disampaikan adalah kita sedang berupaya mengembangkan vaksin dengan tiga prinsip yaitu cepat, efektif, dan mandiri. Kita mencari vaksin yang paling cepat yang bisa dikembangkan dan Bio Farma sebagai BUMN sudah bekerja sama misalnya dengan perusahaan pharmaceutical dari China yang tahapan vaksinnya sudah masuk uji klinis tahap dua dan tahap tiga. Kemudian kami di internal Lembaga Eijkman juga melakukan pengembangan vaksin dengan menggunakan metode namanya protein recombinant yang nantinya akan bekerja sama dengan Biofarma untuk tahapan pengujian klinisnya," jelas dia.

Bambang mengatakan bahwa kecepatan itu penting, jangan sampai Indonesia tertinggal dalam memproduksi vaksin sesuai dengan strain virus yang beredar di Indonesia. Karena itu ia menganggap pihaknya tetap perlu mengembangkan vaksin di dalam negeri.

"Karena vaksin yang dikembangkan Eijkman itu sudah langsung menggunakan isolat virus yang ada di Indonesia. Mandiri maksudnya baik dalam pengembangan bibit vaksinnya dan paling penting juga dalam produksinya," terangnya.

Dalam hal pendanaan, lanjut Bambang Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN menganggarkan anggaran yang khusus dialokasikan untuk konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19.

"Ketika mulai terjadi pandemi, kami merupakan salah satu dari kementerian yang kena potong anggaran. Karena itu kami mencari cara bagaimana kita bisa mendukung konsorsium. Pertama dengan menggunakan dana abadi penelitian yang didukung oleh LPDP. Kemudian realokasi anggaran terutama dari BPPT dan LIPI, ditambah realokasi penelitian di perguruan tinggi yang kami dedikasikan untuk penanganan Covid-19 dalam berbagai aspek dari screening, diagnosis, alat kesehatan, obat, terapi, sampai ke vaksin," tandasnya.

Â