Liputan6.com, Jakarta - Sejarawan yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam melihat isu PKI kembali dimainkan, diduga adanya kepentingan politik menuju Pemilu 2024.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertema “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” yang dipandu Bonnie Triyana, di Jakarta, Selasa (7/7/2020).
“Fenomena belakangan ini saya kira berkaitan dengan menghadapi tahun 2024, ketika akan ada pilpres. Ada pihak-pihak berkepentingan dihidupkan isu komunisme ini,” kata Asvi.
Advertisement
Dia menuturkan, misi ini tentu ingin membawa citra PDIP yang sudah dua kali menang Pemilu jatuh. Salah satunya dengan aksi pembakaran bendera.
“Mereka ingin memperlihatkan eksistensi sebenarnya, namun juga ingin menghancurkan PDIP, " tutur Asvi.
Dia mengingatkan, faktanya komunisme sudah punah dengan TAP MPRS yang isinya membubarkan PKI dan melarang ajaran komunisme. Dirinya pun mengaitkan dengan cara-cara orde baru. "Maka di Orba, setiap jelang 30 September, pasti ada temuan bendera dan kaos PKI. Itu zaman Orba. Sekarang, makin rutin karena ada kelompok kepentingan yang mau angkat isu komunisme itu," ungkapnya.
Karena itu, dia berharap masyarakat tak mudah termakan isu ini.
"Mudah-mudahan rakyat lebih mudah memahami ini dan tak termakan hantu komunisme," tukasnya.
Tak Ada Partai yang PKI
Dia pun meminta agar tak ada lagi pihak keturunan yang dituduh terlibat PKI. "Itu bagi pandangan saya seharusnya diluruskan. Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili. Kita tak menganut dosa turunan. Kalau ortunya PKI atau ormas kiri, anaknya tak otomatis menganut komunis. Apalagi ajaran itu tak bisa lagi dikembangkan di Indonesia," tegas Asvi.
Dia mencontohkan bagaimana stigma itu selalu melekat ke kader PDIP Ribka Tjiptaning. Karena menulis sebuah buku tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI, sampai sekarang Ribka dianggap PKI, DPR dianggap mengakomodasi PKI, dan PDIP dituduh mempunyai 85 persen anggota bekas PKI.
Kalau buku Ribka sendiri dibaca, lanjut Asvi, isinya adalah soal pengalaman hidupnya yang menderita setelah ayahnya, sebagai pengusaha yang berhubungan dengan banyak orang ditangkap rezim Orba karena alasan PKI pada 1965. Ribka bercerita lewat bukunya, soal bagaimana kesulitan hidup pasca ayahnya ditangkap, berjualan sayur dan lemper, demi menghidupi keluarga.
"Jadi isinya penderitaan anak yang kebetulan ayahnya dituduh PKI. Gus Dur dalam kata pengantar buku itu menulis dengan alasan kemanusiaan, bahwa ada satu orang anak perempuan distigma PKI, sehingga mengalami berbagai hambatan di kehidupannya," jelas Asvi.
"Tak ada sama sekali di buku itu bahwa 85 persen PDIP itu PKI. Jadi hemat saya, jangan ada lagi tuduhan PKI di DPR atau di partai tertentu," lanjut dia.
Karena itu, dia meminta hentikan tuduhan terhadap pihak-pihak yang dianggap PKI.
"Tak ada partai yang PKI sekarang ini. Kalau ada buktinya langsung laporkan ke bareskrim. Tak ada di parlemen kita itu PKI. Bahaya laten PKI adalah halusinasi menurut saya," pungkasnya.
Advertisement