Liputan6.com, Jakarta - Terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra dikabarkan sudah meninggalkan Indonesia usai membuat KTP elektronik dan pendaftarkan Peninjuan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kuasa Hukum Djoko Tjanda mengungkap saat ini buronan Kejaksaan Agung itu sudah berada di Malaysia.
"Informasinya beliau di Malaysia," kata Pengacara Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (8/7/2020).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono mengatakan, hingga saat ini kejaksaan masih terus mencari Djoko Tjandra. Kejaksaan belum bisa memastikan apakah Djoko Tjandra memang benar sudah berada di Malaysia.
Advertisement
"Kalau soal yang di Malaysia kami tidak sampaikan karena itu strategi kami, apa betul yang bersangkutan di sana, apa betul di sana? Masih kita cari," ujar Hari kepada Liputan6.com di Jakarta.
Meski demikian, Hari menegaskan Kejaksaan Agung terus memburu Djoko Tjandra dengan berbagai cara untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA). Dia divonis pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta karena terbukti bersalah melakukan korupsi dalam perkara cessie Bank Bali. Putusan itu dijatuhkan pada pertengahan Juni 2009.
"Sekarang yang penting jaksa eksekutor mencari dan akan menangkap yang bersangkutan untuk mengeksekusi hal-hal yang akan kami tindak," tandas Hari.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arvin Gumilang juga mengaku tak mengetahui soal kabar Djoko Tjandra saat ini berada di Malaysia. Namun, imigrasi tidak mendeteksi adanya perlintasan Djoko Tjandra keluar masuk Indonesia.
"Di perlintasan imigrasi tidak ada atas nama Djoko Tjandra baik saat masuk dan keluar. Artinya tidak ada pemeriksaan imigrasi atas nama Djoko Tjandra," kata Arvin kepada Liputan6.com di Jakarta.
Usai diketahui berada di Indonesia, Kejaksaan Agung langsung mengirim surat pencegahan pada tanggal 3 Juli 2020 lalu.Â
Arvin mengakui ada celah ketika Djoko Tjandra membuat e-KTP dan paspor Indonesia, yaitu ketika masa berlaku pencekalan berakhir pada 13 Mei 2020 dan kejaksaan agung baru menerbitkan kembali statusnya dalam daftar pecarian orang (DPO) pada 27 Mei 2020. Di antara tanggal itulah, nama Djoko Tjandra tak masuk dalam sistem dengan status dicekal atau DPO.
"Jadi ada kegiatan pembuatan KTP, paspor di rentang waktu itu," ujar dia.
Lalu mengapa imigrasi memberikan paspor kepada buronan?
Arvin mengatakan, tak semua orang imigrasi mengetahui jika Djoko Tjandra buronan kejaksaan. Sebab, ketika membuat paspor nama Djoko Tjandra tidak tercatat dalam daftar cekal dan DPO.
"Itu perkara lain, menghadapi beliau saat membuat paspor kan tidak semua orang tahu, mungkin ada orang yang tidak ikut pemberitaan. Sementara di sistem tidak tercatat (cekal), KTP ada, persyaratan ada, tidak terdapat dalam pencegahan, DPO, jadi imigrasi mengeluarkan paspor," kata Arvin.
Sementara saat ini, kata dia, paspor sudah dikembalikan oleh Djoko Tjandra pada 6 Juli 2020.
"Kami bersurat kembali, untuk melakukan penarikan paspor, lalu dikembalikan pada 6 Juli 2020. Dikirim dalam amlop yang dalam amplop tersebut namanya Anita Kolopaking, apakah yang mengirim surat tersebut bu Anita atau Djoko sendiri, kita enggak tahu juga," tandas Arvin.Â
Akui Kecolongan
Jaksa Agung ST Burhanuddin pun mengakui, pihaknya kecolongan informasi soal keberadaan Djoko Tjandra. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI.
"Kami memang ada kelemahan, pada tanggal 8 Juni, Djoko Tjandra informasinya datang di Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya, jujur ini kelemahan intelijen kami," kata Burhanuddin.
Dia menuturkan sudah bertanya kepada pihak pengadilan dan itu ternyata didaftarkan di pelayanan terpadu, sehingga indentitasnya tak terkontrol.
"Tetapi ini akan menjadi evaluasi kami," jelas Burhanuddin.
Namun, dia merasa heran, kenapa Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, terlebih lagi dia tidak kena pencekalan.
"Tetapi pemikiran kami adalah bahwa dia ini sudah terpidana. Pencekalan ini saja tersangka ada batas waktunya untuk kepastian hukum. Tapi kalau ini sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus menerus dan berlaku sampai ketangkap. Ini akan menjadi persoalan kami nanti dengan Imigrasi," ungkap Burhanuddin.
Dia menuturkan tak mau menyalahkan siapa pun. Tapi memang pemikiran yuridis pihak Kejaksaan, terpidana tidak ada batas untuk dilakukan pencekalan.
"Kalau itu sudah terpidana, harusnya tidak ada batas waktunya sampai dia tertangkap. Untuk pencekalan tersangka atau terdakwa ada batas waktunya, ini diperlukan untuk kepastian hukum. Itu yang akan kami bicara dengan pihak sebelah," dia memungkasi.
Kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko Sugiarto Tjandra berawal tahun 1999. Pada 2009, divonis hukuman dua tahun penjara pada tingkat PK. Hingga tingkat kasasi, Djoko dinyatakan tidak bersalah.
Sebelum dieksekusi Kejagung, Djoko melarikan diri. Sejumlah pihak menduga, ia berada di Papua Nugini. Djoko pun menyandang status buron.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kecolongan yang Disengaja?
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar menyebut, tak terdeteksinya Djoko Tjandra ke Indonesia adalah kecolongan yang disengaja. Dia yakin banyak oknum di imigrasi atau kejaksaan agung yang membantu buronan kasus Bank Bali itu masuk ke Indonesia tanpa diketahui.
"Di dalam birokrasi masih banyak orang-orang yang mencari keuntungan untuk diri sendiri, sehingga selalu saja ada sistem yang disiasati oleh orang-orang di birokrasi (interpol, imigrasi dan kejaksaan). Ini yang saya bilang 'kecolongan yang disengaja'," kata Fikar kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (8/7/2020).
Dengan mudahnya Djoko Tjandra membuat e-KTP, kata Fikar menunjukkan bahwa adanya carut marut administrasi kependudukan. Sebab, sejak jadi buron tahun 2009, ia diketahui sudah berstatus warga negara Papua Nugini.
"Seharusnya sudah tidak lagi menjadi WNI dan secara logis sudah dihapus namanya dari daftar penduduk Indonesia, tetapi dengan mudahnya membuat e-KTP Indonesia dalam waktu beberapa jam saja," ujar dia.
Cepatnya pelayanan KTP, kata dia, di satu sisi merupakan kemajuan tetapi sekaligus kemunduran karena tidak bisa mendeteksi Djoko Tjandra sudah bukan WNI dan sekaligus buronan.
Untuk itu, Fikar meminta kepada Kejaksaan Agung agar segera menangkap Djoko Tjandra bahkan jika saat ini dia berada di luar negeri. Meskipun saat ini buronan kejaksaan agung selama 11 tahun itu mengajukan peninjauan kembali kasusnya.
"Mengajukan atau tidak mengajukan PK, Djoko Tjandra sebagai buronan harus dan wajib ditangkap, karena putusan pengadilan atas kejahatannya di Indonesia sudah final. Apalagi PK itu upaya hukum luar biasa yang tidak menghalangi eksekusi," kata dia.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman pun menduga ada kongkalikong antara imigrasi dan kejaksaan agar Djoko Tjandra bebas keluar masuk ke Indonesia. Dengan alasan red notice yang kedaluarsa, kata Boyamin, imigrasi tidak dapat mencekal Djoko Tjandra. Padahal sebenarnya pencekalan bagi seorang terpidana apalagi buron berlaku seterusnya hingga tertangkap.
"Mestinya interpol bertanya ke kejaksaan agung, soal masa kedaluarsa pencekalan. Kalau ditanya ya mestinya berlaku terus menerus, kan enggak mungkin setiap bulan update," kata Boyamin kepada Liputan6.com di Jakarta.
Atas dugaan ini Boyamin pun melaporkan Direktorat Jenderal Imigrasi, Sekretaris NCB Interpol Indonesia dan Lurah Grogol Selatan ke Ombudsman.
Boyamin mengatakan, ada dugaan Dirjen Imigrasi membiarkan DJoko Tjandra masuk dan keluar ke Indonesia, tanpa diberlakukan tata cara terhadap orang dengan status cekal tangkal. Selain itu, Dirjen Imigrasi juga diduga menerbitkan paspor baru Djoko Tjandra pada tgl 23 Juni 2020, padahal Dirjen Imigrasi mengetahui jika DJoko Tjandra adalah DPO dan pernah memiliki Paspor Papua Nugini.
Kemudian, NBC Interpol juga menerbitkan surat dan mengirimkannya kepada Dirjen Imigrasi tertanggal 5 Mei 2020 tentang pemberitahuan bahwa Red Notice Djoko Tjandra telah terhapus dari basis data, terhitung sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung.
"Kenapa NBC Interpol tidak tanya ke kejaksaan agung dulu. Kedaluarsa tahun 2014 tapi baru diberi tahu 2020," ujar dia.
"Hal ini berbeda perlakuan terhadap buron lain di luar Djoko Tjandra yang mana Sekretaris NCB Interpol Indonesia diduga sebagian besar tidak pernah menerbitkan dan mengirim surat kepada Dirjen Imigrasi atas berakhrinya masa cekal terhadap status buron yang masanya melebihi dari 6 bulan," ujar dia.
Sementara dugaan pelanggaran yang dilakukan lurah Grogol Selatan adalah memberikan pelayanan perekaman dan pencetakan e-KTP pada jam 07.00 WIB. Sehingga, kata dia, terkesan mengistimewakan DJoko Tjandra.
"Semestinya lurah Grogol Selatan tidak memberikan pencetakan KTP-el karena sudah diketahui secara umum Djoko Tjandra adalah buron dan pernah mempunyai kewarganegaraan Papua Nugini," kata dia.
Sementara, kata dia, lurah tidak bisa berdalih tidak mengetahui status buron tersebut.
Â
Advertisement
Negara Kalah dengan Djoko Tjandra?
Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery menyebut, negara kalah dengan Djoko Tjandra, buronan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Herman menyebut demikian lantaran heran negara tak mampu mengetahui keberadaan Djoko Tjandra.
"Persoalannya sekarang, sepertinya negara kalah dengan seorang Djoko Tjandra. Ini terkesan negara kalah. Masa satu orang buronan saja susah ditangkap," ujar Herman Hery usai rapat tertutup dengan KPK, Selasa (7/7/2020).
Herman menyebut, persoalan Djoko sebenarnya hal yang sangat sederhana. Menurutnya, yang harus dilakukan penegak hukum adalah kerja sama yang baik untuk segera menyeret Djoko Tjandra ke penjara. "Ini persoalan sederhana, tergantung kemauan institusi penegak hukum, berkoordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian untuk menangkap Djoko Tjandra," kata dia.
Maka dari itu, Herman meminta para penegak hukum segera berkoordinasi untuk segera menangkap Djoko Tjandra. Setidaknya untuk membuktikan bahwa negara tak kalah dengan Djoko Tjandra.
"Saya mengimbau lakukan koordinasi dengan instrumen-instrumen yang sudah ada, segera tangkap Djoko Tjandra untuk membuktikan kepada publik bahwa negara tidak kalah dengan Djoko Tjandra," katanya.
Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding menyebut, hal itu menunjukkan lemahnya sistem koordinasi lintas kementerian.
"Ini menunjukan lemahnya sistem dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga sehingga sangat mudah seorang buron keluar masuk di negara kita," kata Sudding.
Menurut dia, hal itu menjadi tamparan bagi aparat penegak hukum dan Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Dia minta, penegak hukum mengusut siapa pihak yang melindungi Djoko Tjandra.
"Saya kira hal ini perlu diusut siapa pihak yang memberi akses dan melindungi Djoko Tjandra masuk ke Indonesia," ujar dia.
Termasuk, kata dia, para pihak yang mengetahui keberadaan Djoko Tjandra tapi tak mau buka mulut juga harus diperiksa. Mereka harus dipertanggung jawabkan secara hukum.
"Pihak yang mengetahui keberadaan Djoko Tjandra tapi tidak melaporkan ke aparat penegak hukum karenanya harus dimintai pertanggungjawaban hukum, termasuk pengacaranya," pungkasnya.
Sementara, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai, buronan kasus Bank Bali Djoko Tjandra, bisa lolos masuk ke Indonesia dengan cara memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.
"Yang bersangkutan memanfaatkan pandemi Covid-19 ini untuk kepentingan yang bersangkutan," kata Dasco.
Adanya pandemi, menurut Dasco membuat aparat penegak hukum berkonsentrasi untuk mengawasi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kelengahan itulah yang dimanfaatkan Djoko Tjandra.
Politisi Gerindra itu lantas meminta, institusi penegak hukum segera bersinergi untuk menuntaskan masalah buronan ini.
"Kami imbau kepada aparat penegak hukum saling bersinergi untuk mengungkap kasus ini. Kami akan minta kepada Komisi III yang membawahi penegakan hukum untuk proaktif," tandasnya.
Â