Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengizinkan proyek reklamasi di kawasan pantai Ancol, Jakarta Utara menjadi polemik. Banyak pihak yang menentang kebijakan tersebut, tak terkecuali pendukungnya sendiri.
Anies menjelaskan bahwa proyek perluasan kawasan di sisi timur dan barat kawasan Ancol itu berbeda dengan reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta pada era Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Anies menyatakan, reklamasi Ancol mengedepankan kepentingan publik.
Terkait hal itu, Ahok mengaku tidak tahu apa yang membedakan proyek reklamasi Ancol dengan 17 pulau di pesisir utara Jakarta. Namun, menurut dia, jika perluasan daratan di kawasan Ancol itu tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) DKI No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), maka itu melanggar hukum.Â
Advertisement
"Saya enggak tahu gambarannya seperti apa. Prinsipnya lihat saja peta pulau reklamasi sesuai Perda Tata Ruang No 1/2014, apapun yang dilakukan di luar perda tersebut dan jika belum direvisi perda tersebut, artinya melanggar perda. Pergub tidak bisa batalkan perda, apalagi melanggar perda," ujar Ahok saat dikonfirmasi Liputan6.com lewat pesan singkat, Senin (13/7/2020).
Jika mengacu pada Perda RDTR, rencana reklamasi Ancol berada di lokasi Pulau L dan K yang izinnya telah dicabut Anies. Pengembangan Ancol sisi timur seluas 120 hektare mencaplok sebagian lahan Pulau L, sedangkan perluasan di sisi barat Ancol merupakan lokasi Pulau K seluas 35 hektare.
Lebih lanjut, Ahok menyoroti pernyataan Anies yang menyatakan bahwa proyek reklamasi Ancol merupakan salah satu cara menanggulangi persoalan banjir di ibu kota. Dia juga menyoroti proyek reklamasi Ancol yang menurutnya tak sesuai dengan kajian lingkungan hidup.
Komisaris Utama PT Pertamina itu menjelaskan, seharusnya ada kewajiban kontribusi tambahan dari pengembang pulau reklamasi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah banjir di daratan Jakarta. Di masanya, Pemprov DKI mengajukan kontribusi kepada pengembang sebesar 15 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP).Â
"Dalam kajian lingkungan hidup, jarak pulau reklamasi tidak boleh nempel ke daratan DKI, harus jarak 200 apa 300 meter, aku lupa jaraknya. Dan ada jarak antar pulau untuk nelayan bisa lewat, serta untuk hindari banjir tidak boleh ada lahan reklamasi nempel ke daratan DKI. Daratan dibuatkan tanggul sepanjang pesisir garis pantai Jakarta. Semua ada dokumennya dan sebagian telah Pemda DKI kerjakan berasama Kementerian PUPR, seperti Muara Baru Pasar Ikan dan Tanjung Priok ke arah Cilincing," kata Ahok.
"Jadi aneh juga reklamasi untuk atasi banjir. Karena Pemda (saat ini) tidak kenakan kontribusi tambahan 15 persen dari NJOP pulau reklamasi," sambungnya.
Karena itu, Ahok merasa heran kenapa Anies mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 yang mengizinkan reklamasi kawasan Ancol seluas 155 hektare. Apalagi Anies telah mencabut izin reklamasi teluk Jakarta yang menurutnya memiliki dasar hukum kuat yakni Keputusan Presiden (Keppres) No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara dan Peraturan Daerah (Perda) DKI No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Saya enggak tahu, karena dulu reklamasi harusnya berlanjut sesuai dengan keppres, perda, juga UU, bisa dibatalkan Anies. Pengadilan PTUN juga memenangkan reklamasi. Sekarang keluarkan izin yang bertentangan. Tanya Pak Gubernur dan Sekda DKI saja. Beliau-beliau selalu pintar menjawab dan carikan argumentasinya untuk semua yang Pemda DKI lakukan," ucap Ahok.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Tubagus S Ahmadi menyatakan, proyek reklamasi Ancol dan 17 pulau di pesisir utara Jakarta tak berbeda. Kebijakan yang dikeluarkan Anies ini bahkan dinilai berpotensi membuka peluang menghidupkan kembali reklamasi di teluk Jakarta.
"Secara prinsip dan nilai reklamasi tidak bisa dibeda-bedakan, tetap reklamasi. Kita tahu bahwa reklamasi sejak dulu kan konsepnya berubah. Dengan begini, Gubernur DKI terus memunculkan preseden menghidupkan kembali reklamasi. Sehingga potensi reklamasi maupun proyek properti di teluk Jakarta berpeluang," ujar Tubagus kepada Liputan6.com, Senin (13/7/2020).
Menurut dia, semula reklamasi Ancol murni untuk kepentingan bisnis. Namun setelah ramai kritik dan penolakan dari sejumlah akademisi, ahli, dan masyarakat, Anies baru memunculkan narasi bahwa proyek tersebut untuk kepentingan publik.Â
"Urusan banjir dan lingkungan hidup dibawa-bawa. Padahal banyak ahli sudah mengatakan, reklamasi akan memperparah banjir. Terkait soal pengerukan sedimentasi sungai, ya lakukan saja, tetapi materialnya (lumpur) jangan buat nimbun pantai," tuturnya.
Walhi menilai, proyek reklamasi Ancol sama sekali tidak memiliki nilai tambah. Sebab, Pemprov DKI yang seharusnya memulihkan kawasan teluk Jakarta pascapencabutan izin reklamasi 17 pulau justru mengeluarkan kebijakan yang serupa.
"Kita belum tahu untuk siapa kepentingan reklamasi Ancol. Yang pasti proyek ini menambah beban ekologis teluk Jakarta. Karena hal yang harusnya dilakukan oleh Gubernur adalah melakukan pemulihan teluk Jakarta, hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam kegiatan strategis daerah Provinsi DKI Jakarta. Bukan memberikan izin perluasan kepada Ancol dan Dufan," kata Tubagus.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kecacatan Proyek Reklamasi Ancol
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat, ada enam kecacatan pada proyek reklamasi pantai Ancol yang disetujui Anies Baswedan. Kiara juga menyatakan bahwa reklamasi Ancol tak bisa dipisahkan dengan proyek 17 pulau di teluk Jakarta.Â
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kiara, Susan Herawati mengatakan, keterkaitan dua proyek itu terlihat dari rencana pembangunan 17 pulau. PT Pembangunan Jaya Ancol menjadi salah satu perusahaan yang mendapatkan konsesi untuk membangun Pulau K.
"Reklamasi Ancol merupakan kelanjutan dari reklamasi 17 pulau, khususnya Pulau K. Bedanya, dahulu direncanakan seluas 35 hektare, sementara sekarang hanya 32 hektare. Ini kecacatan pertama," kata Susan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Senin (13/7/2020).
Tak hanya itu, Susan juga merespons pernyataan Anies yang menyebut bahwa reklamasi Ancol untuk kepentingan publik. Menurutnya, Anies seharusnya mencabut seluruh izin proyek reklamasi di teluk Jakarta. Sementara 4 pulau yang sudah jadi, seluruhnya harus menjadi kawasan publik.
"Jika Anies punya political will yang serius, harusnya 4 pulau yang sudah ada dijadikan kawasan publik. Bukannya sekarang baru sesumbar mau akan bangun pantai publik. Narasi yang dikeluarkan oleh Anies sangat menyesatkan. Ini kecacatan kedua," tegas Susan.
Lebih lanjut, dia juga menyinggung klaim Anies yang menyebut proyek reklamasi Ancol dapat mencegah banjir di Jakarta sebagai alasan klise. Sebab, narasi banjir selalu diulang-ulang oleh beberapa Gubernur DKI sebelumnya.
"Jakarta bisa bebas banjir bukan dengan proyek reklamasi, tetapi dengan menyetop pembangunan gedung-gedung tinggi yang mengekstraksi air tanah. Ini kecacatan ketiga," jelas Susan.
Begitu juga soal rencana pembangunan museum Nabi Muhammad SAW di atas lahan reklamasi Ancol. Menurutnya, itu merupakan taktik lama yang digunakan di banyak proyek reklamasi di provinsi lain, seperti di Makasar, Sulawesi Selatan. Tujuannya, untuk meredam protes masyarakat.
"Ada isu agama yang dimainkan oleh Anies dalam proyek reklamasi Ancol. Hal ini dilakukan untuk membungkam kritik dan protes dari masyarakat. Pengalaman di Pantai Losari masjid yang dibangun di tengah-tengah pulau reklamasi gagal total. Masjid itu tak jadi apa-apa sekarang. Adalah sangat bahaya jika agama dijadikan alat legitimasi untuk proyek reklamasi. Ini kecacatan yang keempat," kata Susan.
Dia juga menilai bahwa penjelasan Anies soal material penguruk lahan reklamasi dari lumpur tidak masuk akal. Sebab lumpur bersifat cair, sementara reklamasi di kawasan perairan pasti butuh material padat. "Penjelasan Anies mengenai reklamasi dengan lumpur tidak make sense dan cenderung menyesatkan masyarakat. Ini kecacatan yang kelima," katanya.
Lebih jauh, Susan menegaskan bahwa secara legal, proyek reklamasi Ancol yang diizinkan lewat Kepgub No 237 Tahun 2020 tidak memiliki payung hukum, khususnya yang menggunakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Menurutnya, proyek reklamasi Ancol tak ada dalam RDTR DKI Jakarta.
"Bahkan, jika dilihat dari perspektif hukum pesisir dan laut yang merujuk kepada UU No 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014, proyek ini tidak sesuai dengan UU yang sangat detail mengatur ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil ini. Ini kecacatan proyek reklamasi Ancol yang keenam," pungkas Susan.
Â
Advertisement
Klaim Tak Ingkari Janji Kampanye
Sementara itu, pendukung pasangan Anies-Sandi pada Pilkada DKI 2017 yang tergabung dalam Relawan Jaringan Warga atau Jawara meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin reklamasi kawasan Ancol. Mereka meminta Anies konsisten pada janji kampanyenya.
Koordinator Jawara, Sanny A Irsan menilai, Anies telah meruntuhkan kepercayaan simpatisannya terhadap janji kampanye terkait reklamasi pesisir Jakarta. Apalagi salah satu alasan Jawara memilih Anies-Sandi adalah karena pasangan tersebut mengedepankan janji menghentikan reklamasi.
"Pada saat itu kami memilih satu pasang dari tiga pasang, yakni Anies-Sandi, karena mereka mengusung salah satu janji (poin 4, menghentikan reklamasi) dari 23 janji kampanye," kata Sanny melalui keterangan tertulisnya, Minggu 5Â Juli 2020.
Seiring waktu berjalan, Sanny mengakui pihaknya terus mendukung dan mengidolakan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih. Namun, kepercayaan itu runtuh setelah keluarnya Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 tahun 2020 yang diteken pada 24 Februari 2020 lalu.
Keputusan tersebut terkait pemberian izin perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) seluas 35 hektare dan Taman Impian Jaya Ancol seluas 120 hektare.
"Kenyataannya pada tanggal 24 Februari 2020, Anies mengizinkan reklamasi Ancol. Menurut kami ini Pak Anies sudah menyalahi janji kampanyenya," ucap Sanny.
Sanny pun berharap Anies segera mencabut Kepgub terkait izin reklamasi Ancol. "Ini menjadi harapan para pendukung Anies yang meminta orang nomor satu di DKI Jakarta tersebut bisa menepati janji kampanye," kata dia.
"Ini tinggal political will daripada Anies. Apakah dia mau mencabut Kepgub itu atau tidak," katanya menandaskan.
Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan perluasan kawasan Ancol berbeda dengan reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta yang sudah dihentikan. Anies pun menegaskan, tidak ada janji kampanye yang ia langgar terkait kebijakan tersebut.
"Saya tegaskan bahwa pelaksanaan pengembangan kawasan Ancol ini memang bukan bagian dari proyek reklamasi yang bermasalah itu. Jadi dikeluarkannya Kepgub ini untuk memanfaatkan lahan yang sudah dikerjakan selama 11 tahun dan sama sekali tidak mengingkari janji," kata Anies dalam video Youtube Pemprov DKI Jakarta, Sabtu (11/7/2020).
Anies bahkan menyebut, reklamasi Ancol adalah pelengkap dan bukti Pemprov DKI mengedepankan kepentingan publik yakni mengatasi banjir.
"Justru ini menjadi pelengkap bahwa kita memang mengedepankan kepentingan umum, mengedepankan ketentuan hukum, mengedepankan keadilan sosial. Proses pembangunannya pun tidak merugikan nelayan. Dan kawasan ini terbentuk dari lumpur hasil pengerukan sungai untuk mencegah banjir. Jadi semuanya mengikuti ketentuan hukum yang ada," terangnya.Â
Kendati dia mengakui bahwa istilah perluasan kawasan Ancol tersebut merupakan reklamasi. Dia menyatakan, penambahan lahan kawasan tersebut merupakan hasil dari pengerukan sejumlah sungai dan waduk di Jakarta.
"Dan penambahan lahan itu istilah teknisnya adalah reklamasi. Tapi beda sebabnya, beda maksudnya, beda caranya, beda pemanfaatannya dengan kegiatan yang selama ini tentang reklamasi 17 pulau," ucap Anies.Â
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menegaskan, penghentian reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta telah dilaksanakan dan akan terus dihentikan sesuai janji kampanyenya saat Pilgub DKI 2017.
"Sekali lagi saya tegaskan, Insyaallah semua janji itu telah dan akan terus dilaksanakan," kata Anies.