Sukses

Warga Sebut Ada Upaya Kapitalisasi Akses Perumahan Elite di Bekasi

Warga menolak jalan umum yang merupakan fasos fasum di perumahan elite Bekasi tersebut, dikendalikan secara sepihak oleh RW setempat.

Liputan6.com, Bekasi - Penutupan akses jalan Perumahan Kemang Pratama 3, Kota Bekasi, Jawa Barat, terus menuai protes masyarakat luas. Warga menolak jalan umum yang merupakan fasos fasum di perumahan elite tersebut, dikendalikan secara sepihak oleh RW setempat.

Berbagai opini dikemukakan warga yang tak setuju dengan kebijakan penutupan, yang dinilai semakin menyulitkan akses pengguna jalan yang biasa melintas.

Kekesalan warga semakin bertambah, dengan pemberlakuan kebijakan kartu akses berbayar, yang membuat warga semakin geram.

"Saya sangat tidak setuju adanya sistem pengkartuan, entah berapa pun jumlahnya. Karena akses kita terhalang. Kami meminta kembali kebijakan pengurus RW di Kemang Pratama 3," kata warga Kemang Pratama 2 Bekasi, King Vidor kepada Liputan6.com, Selasa (14/7/2020).

Dan sebagai fasos fasum, yang berhak menutup jalan menurutnya adalah pejabat yang betul-betul berwenang, seperti wali kota, lurah atau camat, bukan RW setempat.

"Permasalahannya ini juga saya mau menanyakan, itu fasos fasum sudah diserahkan oleh Pemkot atau belum. Kalau sudah, saya akan mengecek lagi apakah boleh dikapitalisasi," ujarnya.

King beranggapan ada upaya kapitalisasi pihak RW setempat terhadap akses jalan Kemang 3 yang seharusnya menjadi prasarana publik. Tindakan tersebut diakui King telah merugikan banyak pengguna jalan, yang waktu dan tenaganya terbuang dikarenakan harus memutar lebih jauh.

Selain itu, lanjut King, dampak lain dari kebijakan penutupan juga dapat mengurangi kondusifitas di lingkungan sekitar. Seperti halnya unjuk rasa warga beberapa hari lalu, yang menuntut pintu perkampungan kembali dibuka. Dan bukan tidak mungkin, ke depannya akan ada aksi demo kembali terkait masalah ini.

"Soalnya ini fasos fasum kok seperti dikapitalisasi oleh pengurus RW. Semua aktivitas dan urusan penting warga jadi terganggu," tegasnya.

Terkait masalah ini, pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan upaya penutupan akses publik masih dianggap wajar, selama berkaitan dengan hal-hal bersifat darurat dan sesuai pertimbangan bersama.

"Kepentingannya seperti apa. Kalau misalnya untuk pencegahan Covid-19, itu warga mempunyai hak untuk mempertimbangkan keamanan, keselamatan, itu dalam kondisi yang dikatakan darurat," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pemkot Bekasi Diimbau Ikut Turun Tangan

Terlebih jika dalam perencanaan awal, jalan tersebut hanya ditujukan untuk lingkungan perumahan dan bukan umum, maka bisa saja digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan keamanan warga setempat.

"Nah bagi warga yang merasa tadinya itu adalah jalan lingkungan perumahan dan bukan jalan umum, mereka punya hak dong karena namanya jalan lingkungan. Dibuka tutup berdasarkan kepentingan mereka," paparnya.

Selain itu, lanjut Yayat, pertimbangan biaya pemeliharaan prasarana juga bisa dijadikan alasan kebijakan menutup akses jalan, demi menghindari kerusakan akibat seringnya pengguna jalan yang melintas.

"Bolehlah kalau mereka merawat, keluar uang, wajar mereka menuntut jalan harus terjaga. Kalau menjadi jalan publik, pemeliharaannya kan menjadi beban warga. Mungkin kartu itu digunakan untuk pemeliharaan jalan. Kalau jalan rusak dananya dari mana, dari Pemkot dikasih nggak?" celetuknya.

Meski demikian, ia mengimbau agar Pemkot Bekasi ikut turun tangan dalam menyikapi masalah ini agar tidak berlarut-larut dan menimbulkan kegaduhan.

"Sebetulnya kalau sudah jalan publik itu tidak boleh diportal atau ditutup. Tapi untuk dikendalikan boleh karena ada pertimbangan keamanan, masalah penyebaran virus, menghindari segala ancaman dan sebagainya. Makanya ada dialog, Pemkot harus turun tangan, bicara," tandasnya.