Sukses

HEADLINE: Dugaan Peran 3 Jenderal Polisi Bantu Buron Djoko Tjandra, Berujung Pidana Korupsi?

Tiga jenderal polisi kehilangan jabatan setelah diduga terlibat kasus kaburnya Djoko Tjandra. Mereka adalah Brigjen Prasetijo Utomo, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Nugroho Slamet Widodo.

Liputan6.com, Jakarta - Kaburnya buronan kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra menjadi bola panas bagi sejumlah pejabat tinggi Polri. Tiga jenderal harus rela lepas jabatan karena diduga ikut ambil bagian dalam melancarkan kaburnya buronan yang sudah divonis 11 tahun tersebut.

Tiga jenderal itu adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo. Ketiganya diduga memiliki peran masing-masing dalam mengurus kaburnya sang buron, Djoko Tjandra.

Brigjen Prasetijo Utomo diduga ikut melancarkan kaburnya Djoko Tjandra dengan  menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020. Dalam surat itu menyebutkan, Djoko Tjandra bakal melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak pada 19 Juni dan kembali 22 Juni 2020. Surat sakti itu juga menuliskan pekerjaan Djoko Tjandra sebagai konsultan Bareskrim.

Tak cukup itu, Prasetijo juga terlibat mengawal Djoko Tjandra menggunakan jet pribadi dari Jakarta menuju Pontianak. Pengawalan ini dilakukan untuk memperlancar perjalanan buronan tersebut.

Prasetijo harus merelakan jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Dia dimutasi sebagai Pati Yanma Polri. 

Nasib serupa juga dialami dua jenderal lainnya, yakni Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Keduanya diduga berperan dalam kaburnya Djoko Tjandra dengan menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol.

Surat penghapusan red notice dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI diteken Brigjen Nugroho dan dikirimkannya kepada pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020. Surat itu berisi pemberitahuan status red notice atas nama Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada permohonan perpanjangan red notice dari Kejagung.

Dengan dasar surat itu, pihak Imigrasi lantas menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Akibat status red notice dihapus, Djoko Tjandra bebas mondar mandir masuk tanah air.

Brigjen Nugroho dicopot dari jabatan sebagai Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungan Internasional Polri dan dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri. 

Di waktu yang bersamaan, Polri mencopot Irjen Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Dia dimutasi sebagai Analisis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Napoleon dianggap lalai mengawasi bawahan sehingga muncul surat penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Cukupkah sanksi pencopotan jabatan tersebut?

Pengamat hukum Universitas Indonesia (UI) Heru Susetyo menyatakan, keterlibatan para jenderal polisi di kasus Djoko Tjandra harus berlanjut ke ranah pidana.

"Pidana dugaan tindak pidana korupsi itu harus. Ini mirip kasus SN (Setya Novanto) dimana ada rekayasa dari pengacaramya dan juga dokter yang membuat surat seolah SN Kecelakaan nabrak. Ini kan skenario dalam turut melakukan kejahatan," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (23/7/2020).

Para jenderal tersebut bisa dijerat dengan pasal turut membantu melakukan tindak kejahatan, bisa juga kena pasal 55 KUHP, pasal 56.

"Apalagi di UU Tipikor 1999 yang diubah dengan UU 20 tahun 2001, ada pasal 15 mengatakan: setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan, permufakatan tipikor dibebankan dengan hukuman yg sama. Jadi buron Ini sudah terjadi korupsinya dan sudah dipidana jg dan ada unsur memfasilitasi, jadi ya bisa kena pasal itu," katanya dia.

Heru menilai kasus keterlibatan para petinggi Polri tersebut sangat konyol. Sebab, Djoko Tjandra sudah berstatus terpidana, sudah sampai PK.

"Kasusnya semua tahu tapi malah difaslitasi dikasih surat jalan, ini kan konyol," sambungnya.

Keterlibatan petinggi Polri membuktikan ekosistem yang buruk dari penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam perkara tindak pidana korupsi. Instansi yang harusnya menangkap, menahan dan memproses dan menyerahkan ke kejaksaan malah bersekutu dan kerjasama.

"Walau mungkin konteksnya oknum ya. Tapi kan oknumnya tidak sendirian, ada dari Bareskrim yang seharusnya aktif memburu, tapi malah memberi toleransi. Ini bahaya dan membuat korupsi di Indonesia itu menyenangkan karena penegak hukumnya bekerjasama. Konyol jadinya," paparnya.

Dosen hukum UI ini menyatakan, Propam harus teliti dan cermat dalam menangani kasus ini. Menurutnya, tidak mungkin para jenderal yang diduga terlibat tersebut, melakukan sendirian.

"Mengeluarkan surat itu bukan kewenangan Brigjen PU (Prasetijo Utomo), jadi dia abuse of power. Kemudian yang diberikan surat jalan itu seorang terpidana artinya dia turut serta dalam hal ini serta memperburuk proses pemidanaan terhadap si buron, jadi harus telaah," katanya.

Polri, kata dia, harus terbuka terhadap pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.

"Karena dia tidak sendirian. Jangan cuma dia dan berhenti di dia. Ini  seperti sistem, ada yang backup. Dia terbang ke sana kemari harusnya kan ada data manifestnya penerbangan yang terbuka untuk publik, jadi apakah enggak terdeteksi imigrasi dan penerbangan? Jadi harus diungkap ini," sambungnya.

Agar kembali tidak terulang ke depannya, Heru mewanti-wanti Polri untuk tegas. Kasus ini bisa jadi cobaan bagi Kabareskrim, harus diungkap dan jangan sampai berhenti di kasus yang ada saat ini.

 

Infografis Ada 3 Jenderal Polisi di Pelarian Djoko Tjandra? (Liputan6.com/Trieyasni)

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyatakan, kasus Djoko Tjandra yang menyeret tiga jenderal polisi, tidak hanya akan berhenti pada sanksi pencopotan terhadap tiga jenderal yang sudah dilakukan saat ini.

"Justru mereka dicopot agar memudahkan proses pemeriksaan. Polri memiliki tiga aturan hukuman bagi anggotanya yang melanggar, yaitu hukuman karena pelanggaran disiplin, hukuman karena pelanggaran kode etik dan hukuman pidana," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (23/7/2020).

Dia menyatakan, pasca reformasi, sejak dihapuskannya ABRI dan pemisahan TNI dan Polri pada tahun 2000, Polri tunduk pada peradilan umum. Anggota Polri tidak hanya tunduk pada sanksi internal yaitu sanksi disiplin dan sanksi etik. Bagi yang diduga melakukan tindak pidana akan diproses pidana dan diadili di peradilan umum.

"Saat ini sedang dilakukan proses pemeriksaan. BJP PU (Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo) yang terlebih dahulu diperiksa Propam. Saat ini sedang diproses pidana dan tahapannya sudah dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan. Sedangkan dua jendral lainnya sedang diperiksa Propam," kata dia.

Dalam kasus ini, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo sudah dijerat dengan pasal berlapis, yaitu pasal 221, pasal 263 dan 426 KUHP. Pasal 221 berupa melindungi buron dengan ancaman hukuman maksimal 9 bulan penjara, pasal 263 berupa pemalsuan surat dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara, dan pasal 426 berupa membiarkan, sengaja melepas atau memberi pertolongan pada orang yangg diperintahkan untuk ditahan atas putusan pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara.

Poengky berharap kasus ini dapat jadi momentum bagi Polri untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan reformasi Polri, khususnya reformasi kultural Polri. Termasuk diantaranya menerapkan pengawasan ketat pada anggota dan penerapan hukuman yang tegas.

"Sikap tegas Kapolri yang memerintahkan Kabareskrim dan Kadiv Propam segera memeriksa oknum anggota yang diduga terlibat melindungi Djoko Tjandra, patut diapresiasi. Saya berharap sikap tegas ini dapat dicontoh pimpinan lembaga lain yang anggotanya diduga terlibat melindungi Djoko Tjandra," ujarnya.

Dengan penegakan hukum dan sanksi yang tegas terhadap anggota yang melanggar, kasus  ini diharapkan tidak akan terjadi lagi di masa depan.

"Saya juga berharap perhatian dan bantuan dari masyarakat untuk bersama mengawasi Polri agar menjadi institusi yang semakin profesional dan mandiri," dia memungkasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Sudah Lama Dikondisikan?

Menko Polhukam Mahfud Md menyatakan, pengusutan pejabat atau aparat hukum terlibat kasus kaburnya Djoko Tjandra, tidak boleh berhenti pada ranah disiplin dengan pemberian sanksi administratif. Dia meminta aparat penegak hukum atau pejabat yang terlibat juga dituntut secara pidana.

"Para pejabat dan pegawai yang nyata-nyata dan nanti diketahui memberikan bantuan, ikut melakukan langkah kolutif dalam kasus Djoko Tjandra ini, banyak tindak pidana yang bisa dikenakan. Misal pasal 221, 263, dan sebagainya," kata Mahfud, Senin (21/7/2020).

Mahfud menyatakan, banyak masyarakat menanti gebrakan kasus ini, terutama dari Polri. Kalau hanya  berhenti di sanksi disiplin, dikhawatirkan para pejabat ini akan muncul lagi dengan jabatan yang lain. 

"Kadangkala sudah dicopot dari jabatan, tiba-tiba 2 tahun lagi muncul menjadi pejabat, katanya sudah selesai disiplinnya. Padahal dia melakukan tindak pidana," tuturnya.

Mahfud mengapresiasi kinerja Polri dalam melakukan investigasi kepada jajarannya, serta diambil tindakan kepara para oknumnya. Sehingga, ini perlu terus dilakukan tindak pindananya.

"Menghalang-halangi penegakan hukum dan sebagainya Itu kan tindak pidana, kan sudah ada itu pengacara yang masuk penjara karena menghalang-halangi upaya penegakan hukum, apalagi ini kasus korupsi," ujarnya.

Dia meminta aparat penegak hukum terus mengejar buronan Djoko Tjandra, harus terus diburu.

"Saya sudah minta institusi (terkait) masing-masing melakukan langkah langkah yang lebih sinergis untuk perburuan itu untuk Djoko Tjandra," tukasnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa menyatakan, kasus Djoko Tjandra telah mencabik-cabik kewibawaan hukum dan keadilan di Indonesia. Menurutnya, kasus ini tidak bisa dipandang sebagai akibat kelalaian semata, tetapi ada unsur kesengajaan dan kongkalikong.

"Sudah hampir pasti, keluar masuknya Djoko Tjandra dengan mudah karena ada yang memfasilitasinya. Ada pembantu 'ojek' yang mengantarkannya," kata Desmond, Rabu (22/7/2020).

Desmon mengaku khawatir apabila masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia, menjadi bagian dari skenario para pejabat birokrat maupun penegak hukum di Indonesia. Sebab, kuat dugaan adanya cipta prakondisi mulai dari pembuatan KTP elektronik dan paspor, pengajuan PK, hingga surat jalan dari kepolisian.

"Ketika unsur aparat Kepolisian diduga terlibat, Kejaksaan, Imigrasi, Kemenkumham, serta Kemendagri sepertinya 'kompak' membela Djoko Tjandra, maka publik pasti akan bertanya tanya. Mungkinkah bebas keluar masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia itu hanya kebetulan belaka difasilitasi oleh oknum pejabat yang menjadi ojek-ojek pengantar karena tergiur uangnya," ujarnya.

"Kalau ada gerak lembaga yang kompak seperti itu siapa kira kira pengarahnya? Mungkinkah ada super 'ojek' yang menjadi komandannya?," imbuh Desmond.

Kasus Djoko, menurutnya, juga mencerminkan adanya dugaan jaringan mafia yang tersebar di semua sektor birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum, imigrasi, kelurahan, pengadilan dan kepolisian negara.

"Jaringan mafia ini bisa jadi adalah 'ojek' yang sudah dikondisikan dalam waktu lama oleh Djoko Tjandra," tutup Desmond.

Wakil Ketua Komisi III DPR lainnya, Ahmad Sahroni mendorong Kepolisian turut melibatkan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dalam pengungkapan kasus Djoko Tjandra.

'“Indikasi korupsi dalam kasus ini sudah terang benderang. Saya mendorong agar pengungkapan aktor yang turut memuluskan jalan Djoko Tjandra kabur tidak hanya dilakukan kepolisian, kejaksaan, dan Imigrasi Kemenkumham, tapi juga KPK patut turut terlibat. Bentuk aja joint investigation antara polisi dan KPK," kata Sahroni.

Dia menyebut, sebagai lembaga anti rasuah, pelibatan KPK dalam pengungkapan kasus ini dibutuhkan bukan hanya terkait kasus korupsi Djoko Tjandra, tapi juga kemungkinan adanya tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum di institusi hukum lainnya.

"Jadi biar terang benderang, KPK sebaiknya turut terlibat, sehingga semuanya clear. Tidak hanya urusan membantu lolos, tapi juga turut diusut, sebesar apa potensi kerugian negara karena kejadian ini. Makanya seluruh prosesnya perlu diawasi oleh KPK," pungkasnya.

 

3 dari 3 halaman

Janji Tegas Polri

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan pihaknya akan terus mengusut dan menindaklanjuti kasus kaburnya Djoko Tjandra yang melibatnya sejumlah petinggi polri.

"Sekarang kita masih terhadap saksi-saksi dulu. Kita akan melihat kondisi kesehatan BJP PU (Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo). Tentunya tidak mungkin tidak dilakukan pemeriksaan," ujarnya, Kamis (23/7/2020).

Sejumlah saksi yang diperiksa tersebut, diantaranya adalah dokter di Pusdokkes, staf di Bareskrim internalnya.

"Eksternalnya dari pengacara (Anita Kolopaking selaku kuasa hukum buronan Djoko Tjandra), sementara masih berlangsung. Ini dilakukan untuk menentukan sejauh mana penyidikan ini dilangsungkan. Apakah yang bersangkutan bisa ditetapkan sebagai tersangka atau tidak," ujarnya.

Ramadhan menyatakan, penetapan tersangka mengacu pada peraturan Kapolri nomor 12 tahun 2009

"Status tersangka ditetapkan penyidik setelah hasil penyidikan memperoleh 2 alat bukti yang cukup. Untuk memprroleh dua alat bukti tersebut dilakukan melalui tahapan gelar perkara. Tahapan sedang berlansgung," ujarnya.

Janji tegas usut tuntas kasus ini juga disampaikan Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo. Dia  memastikan pihaknya akan tidak akan pandang bulu mengejar pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian buronan Djoko Tjandra. Meskipun itu merupakan teman satu angkatan di institusi Polri.

"Biar pun teman satu angkatan, kami tidak pernah ragu untuk menindak tegas tanpa pandang bulu," tutur Listyo, Senin (20/7/2020).

Menurut Listyo, menjaga kepercayaan, marwah, dan institusi Polri jauh lebih penting dari apa pun. Salah satunya dengan mengejar pihak di luar instansi kepolisian yang diduga turut andil membantu Djoko Tjandra.

"Siapa pun yang terlibat akan kita proses, itu juga merupakan komitmen kami untuk menindak dan usut tuntas masalah ini," jelas dia.

Listyo berjanji akan melakukan pengusutan secara transparan dan terbuka, agar masyarakat mengetahui sepenuhnya dengan sebenar-benarnya. Dia pun mengimbau kepada pihak mana pun untuk tidak memperkeruh suasana dan situasi.

"Kami pastikan akan transparan dalam melakukan pengusutan perkara ini. Kami meminta agar masyarakat percaya dan ikut membantu mengawasi hal ini," Listyo menandaskan.

Selain itu, dia juga menyampaikan, pihaknya sudah mulai memproses pidana mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Brigjen Prasetijo Utomo terkait kasus penerbitan surat jalan buronan Djoko Tjandra.

Hasil interogasi oleh Divisi Propam Polri akan segera diterima dan digunakan untuk dasar pembuatan laporan.

"Untuk kami proses pidananya," tutur Listyo.

Dari pemeriksaan, Brigjen Prasetijo diduga kuat melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membuat surat jalan untuk Djoko Tjandra.

"Mulai dari buat surat jalan sampai cek red notice dan giat lain dalam rangka mengajukan proses PK, sampai dengan kembalinya JT ke luar negeri," jelas Listyo.

Ia pun telah meminta Kadiv Propam untuk memeriksa anggotanya yang terlibat dalam pembuatan dan penggunaaan surat jalan Djoko Tjandra. Nantinya hasil pemeriksaan itu akan ditindaklanjuti.

"Termasuk dengan peristiwa terhapusnya red notice dan bagaimana bisa muncul surat kesehatan atas nama terpidana JC," ujar Listyo.

Dia menegaskan, semua yang bermain dalam kasus Djoko Tjandra akan diproses secara transparan. Mulai dari bagaimana Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, siapa yang membantunya, sampai sang buronan itu keluar dari RI.

"Semua akan ditelusuri. Ini komitmen kita dan akan kita buka hasilnya," tegas dia.

Listyo juga mengungkapkan, di institusi Polri, ada tiga jenis penanganan pelanggaran. Pertama akan disanksi disiplin, kemudian kode etik, dan terakhir pidana. Terkait dengan rangkaian kasus ini, ucap dia, akan ditindaklanjuti dengan proses pidana.

Koordinasi dengan Kepolisian Malaysia

Selain tindakan tegas terhadap jajaran internal yang terlibat, upaya penangkapan kembali Djoko Tjandra juga terus dilakukan. Komunikasi dan koordinasi dengan kepolisian Diraja Malaysia juga twlH dilakukan.

Berdasarkan surat dalam sidang yang dibacakan pengacaranya, Djoko Tjandra tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia. 

"Kita sudah berupaya melakukan penangkapan kembali, memulangkan yang bersangkutan," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, Rabu (22/7/2020).

Polri menegaskan akan membantu instansi mana pun yang nantinya akan membawa Djoko Tjandra. Termasuk, jika eksekutornya adalah tim pemburu koruptor bentukan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

"Kita lihat konteksnya nanti. Kita kan punya hubungan diplomatis, police to police," jelas Awi.

Argo menegaskan bahwa Polri tidak memiliki kewenangan menghapus status red notice, termasuk yang telah disematkan ke buronan Djoko Tjandra.

"Jangan salah. Yang ngapus interpol di Lyon Prancis sana," tutur Argo.

Menurutnya, pihak kepolisian yang bertugas hanya menyampaikan surat pemberitahuan hilangnya status red notice Djoko Tjandra ke imigrasi.

"Yang kemarin itu surat kan Ses NCB menyampaikan ke imigrasi, ini loh red notice sudah terhapus. Jadi polisi bukan ngapus, nggak bisa. Yang ngapus wilayah sana, interpol sana, kita hanya menyampaikan pemberitahuan itu," jelas dia.