Liputan6.com, Jakarta Kurang lebih 5 bulan lamanya, nama Evi Novida Ginting Malik sempat mencuri perhatian publik Tanah Air terkait pemecatannya sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada sidang etik, Evi dinyatakan terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik terkait kasus perolehan suara calon legislatif Partai Gerindra Daerah Pemilihan Kalimantan Barat 6.
Berdasarkan hasil sidang itu, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No 34/P Tahun 2020, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberhentikan Evi secara tidak hormat.
Advertisement
"Memberhentikan dengan tidak hormat Dra Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemlihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022," bunyi Keputusan Presiden tertanggal 23 Maret 2020, seperti dilihat pada Minggu, 29 Maret 2020.
Tak terima putusan tersebut, upaya perlawanan pun dilakukan. Evi mengajukan permohonan upaya administratif keberatan atas Keputusan Presiden yang memberhentikan dirinya dari jabatan komisioner.
Evi Novida Ginting juga meminta Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengembalikan jabatannya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022.
"Merehabilitasi nama baik saya seperti sedia kala," kata dia seperti dikutip Antara.
Belakangan, perjuangan mantan Komisioner KPU RI ini untuk mengembalikan hak-haknya berbuah manis. Pada Kamis, 23 Juli 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatannya.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP." Demikian bunyi putusan itu yang dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN, Kamis, 23 Juli kemarin.
Berikut ini sederet fakta soal mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Malik:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Melakukan Pelanggaran Kode Etik
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat Evi Novida Ginting Malik dari jabatan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemecatan dilakukan dalam sidang etik yang digelar Rabu, 18 Maret 2020.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak putusan ini dibacakan," ujar Plt Ketua DKPP Muhammad seperti dikutip dari salinan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2029, Rabu, 18 Maret 2020.
Evi dijatuhkan sanksi berupa pemecatan lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait kasus perolehan suara calon legislatif Partai Gerindra Daerah Pemilihan Kalimantan Barat 6.
Selain menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Evi, DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Teradu I Arief Budiman selaku Ketua merangkap Anggota KPU RI.
Peringatan keras juga diberikan kepada komisioner KPU lain, yaitu Teradu II Pramono Ubaid Tanthowi, Teradu IV Ilham Saputra, Teradu V Viryan Azis, dan Teradu VI Hasyim Asy’ari.
Sanksi berupa peringatan juga diberikan kepada Teradu VIII Ramdan selaku Ketua merangkap Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat, Teradu IX Erwin Irawan, Teradu X Mujiyo, dan Teradu XI Zainab masing-masing selaku Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat.
Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melaksanakan Putusan ini sepanjang terhadap Teradu VIII, Teradu IX, Teradu X, dan Teradu XI paling lama tujuh hari sejak putusan ini dibacakan.
"Memerintahkan Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini," kata Muhammad.
Advertisement
Diadukan Anggota DPRD
Adalah calon anggota DPRD Kalimantan Barat (Kalbar) Hendri Makaluasc yang mengadukan anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik beserta enam Komisioner KPU RI lainnya kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pengaduan tersebut terkait perubahan perolehan suara yang diraih Hendri di 19 desa yang terdapat di Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau.
Hendri merupakan Calon Legislatif (Caleg) DPRD Provinsi Kalbar untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Kalbar 6. Hendri menduga perolehan suaranya telah masuk pada perolehan suara Caleg DPRD Provinsi Kalbar Partai Gerindra Nomor urut 7 Dapil Kalbar 6, Cok Hendri Ramapon.
Dalam proses persidangan, DKPP memutuskan Evi Ginting bersalah karena melakukan intervensi dalam proses penghitungan suara calon anggota legislatif dari Partai Gerindra Daerah Pemilihan Kalimantan Barat VI.
Evi didakwa bertanggung jawab atas perubahan perolehan suara yang menyebabkan penggelembungan suara bagi caleg Cok Hendri Ramapon dan merugikan caleg Hendri Makaluasc.
Selain memecat Evi dari keanggotaan KPU, DKPP juga memberikan teguran keras kepada lima komisioner lain yakni Arief Budiman, Viryan Azis, Ilham Saputra, Hasyim Asyari dan Pramono Ubaid Tanthowi.
Sebelumnya, Evi juga pernah divonis bersalah oleh DKPP karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam seleksi komisioner KPU Kolaka Timur pada tahun 2018.
Temui DKPP dan Presiden
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik sempat melawan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pemecatannya.
Dia mendatangi kantor DKPP hingga bertemu Presiden Joko Widodo karena keberatan terhadap putusan bernomor DKPP 317-PKE-DKPP/2019, pada Senin (23/3/2020).
Evi telah mendatangi DKPP menyampaikan pernyataan keberatan terhadap putusan DKPP. Setelah itu, Evi juga berencana menggugat putusan DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Setelah prosedur administratif dilakukan. Setelah itu ke PTUN," ucap dia, Senin.
Ada empat poin keberatan yang dijabarkannya terhadap putusan DKPP. Pertama, dia keberatan DKPP menilai telah menerima bukti dokumen dan keterangan pengadu. Sebab, kata dia pada persidangan 13 November 2019 dan 17 Januari 2020, majelis sidang DKPP tidak melakukan pemeriksaan terhadap pengadu atas nama Hendri Makaluasc karena pengadu membacakan surat pencabutan laporan.
"Pada sidang tanggal 17 Januari 2020, pengadu (Hendri Makaluasc) maupun pengacaranya tidak lagi menghadiri sidang DKPP. Dengan demikian kesimpulan Majelis DKPP tersebut di atas, tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan. Sehingga kesimpulan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum," jelas Evi.
Kendati laporan dicabut, DKPP berkukuh menyidangkan perkara karena laporan dugaan pelanggaran etik tidak terikat laporan pengadu. Menurut Evi, ada perbedaan perlakuan DKPP terhadap perkara lain yang dihentikan karena pengadu melayangkan surat pencabutan gugatan.
"Perlakuan yang berbeda ini membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupun Peraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya," jelasnya.
Pembacaan putusan DKPP saat itu dinilai tidak memenuhi kuorum karena berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, menyebutkan rapat pleno harus dihadiri tujuh orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dapat dihadiri minimal lima orang.
Evi mengatakan, dalam putusan DKPP disebutkan bahwa hanya empat orang anggota DKPP yang hadir.
"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan qorum ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," kata dia.
Evi menyoroti pertimbangan DKPP terhadapnya bahwa sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu, memiliki tanggungjawab etik lebih besar. Dia menilai, tuduhan tersebut berlebihan karena pengambilan keputusan di KPU RI secara kolektif kolegial dalam rapat pleno.
Evi mengatakan, tidak ada laporan pengadu maupun fakta persidangan yang spesifik membahas perannya yang disebut mengendalikan dan mengintervensi putusan KPU Kalimantan Barat. Dia mengatakan, supervisi yang dilakukan KPU RI terhadap KPU Kalbar untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XII/2019 demi memberikan kepastian hukum seperti diatur dalam UUD.
"Selanjutnya juga tidak ada bukti perbuatan yang dilakukan, bagaimana melakukan, kapan dilakukan, dimana dilakukan, yang dapat secara nyata menjadi alasan untuk menyatakan bahwa teradu VII secara inperson dapat dikategorikan melakukan perbuatan ketidakadilan yang menyebabkan hasil Pemilu tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya, sehingga tidak cukup alasan hukum untuk membebankan sanksi pemberhentian secara tetap dari anggota kepada teradu VII," tegas Evi.
Sehingga, Evi menilai terdapat cacat prosedur yang dilakukan DKPP baik mekanisme beracara maupun proses pengambilan keputusan. Dia meminta DKPP untuk membatalkan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/2019 dan meminta presiden menunda pelaksanaan putusan DKPP tersebut.
Advertisement
Diberhentikan Secara Tidak Hormat
Presiden Jokowi memberhentikan secara tidak terhormat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No 34/P Tahun 2020.
Kepres tersebut merujuk pada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No 317-PKE-DKPP/X/2019 yang memutuskan pemberhentian terhadap Evi Novida Ginting karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
"Memberhentikan dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemlihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022," bunyi Keputusan Presiden tertanggal 23 Maret 2020, seperti dilihat pada Minggu, 29 Maret 2020.
Pada pertimbangan, Plt Ketua DKPP dengan surat No 012/K.DKPP/PP.00/III/2020 tanggal 18 Maret 2020, mengusulkan pemberhentian dengan tidak terhormat terhadap Evi Novida Ginting berdasarkan putusan DKPP 317-PKE-DKPP/X/2019.
Evi dinilai telah memenuhi syarat untuk diberhentikan dengan tidak terhormat sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
"Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b perlu menetapkan pemberhentian dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022, dengan keputusan presiden," lanjut bunyi putusan tersebut.
Ajukan Gugatan ke PTUN
Mantan komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik sebelumnya mendaftarkan gugatan ke PTUN karena tidak terima dengan keputusan pemberhentian dirinya sebagai anggota KPU.
"Saya mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan saya tercatat Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT," kata Evi Novida Ginting Manik dikutip dari Antara, Jakarta, Sabtu, 18 April 2020.
Evi Novida mendaftarkan, gugatan tersebut didampingi oleh 7 orang kuasa hukumnya yang menamakan diri sebagai "Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu".
Dia meminta PTUN untuk mengabulkan gugatannya dengan membatalkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan dirinya secara tidak hormat sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022.
Dengan putusan PTUN tersebut Presiden RI Joko Widodo bisa mencabut keputusan pemberhentian dirinya yang diterbitkan pada 23 Maret 2020 lalu.
Putusan itu nantinya menurut Evi bisa merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukannya sebagai Anggota KPU masa jabatan 2017-2022 seperti semula.
Evi Novida menilai Keppres tersebut diterbitkan merujuk dari keputusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DKPP 317/2019, sedangkan putusan tersebut dinilai cacat hukum.
"Pada Putusan DKPP 317/2019 mengandung 'kekurangan yuridis essential yang sempurna' dan'bertabur cacat yuridis' yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun," kata dia.
Advertisement
Menang
Gugatan yang diajukan oleh mantan Anggota KPU ini terhadap keputusan Presiden Jokowi dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP." Demikian bunyi putusan itu yang dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN, Kamis, 23 Juli 2020.
Selain itu, PTUN juga wewajibkan tergugat untuk mencabut surat keputusan tergugat Nomor: 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang pemberhentian dengan tidak hormat anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Evi Novida Ginting.
"Mewajibkan tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan penggugat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017 – 2022 seperti semula sebelum diberhentikan," tulis putusan ini.
Putusan ini dibacakan pada Kamis, 23 Juli kemarin, pukul 11.00 sampai 12.00 WIB.