Liputan6.com, Jakarta Data manifest kargo yang akurat dari barang yang dikirim melalui peti kemas, maupun non-peti kemas (general cargo) sangat penting untuk mengembangkan sistem logistik nasional. Dengan tujuan untuk menekan tingginya biaya logistik nasional yang dilakukan bersama-sama oleh pemangku kepentingan lintas sektor. Mulai dari Kementerian dan Lembaga (K/L) serta BUMN dan pelaku bisnis swasta di sektor logistik. Berdasarkan data dari Puskalog ITB, biaya logistik nasional masih cukup tinggi dan mencapai 23,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2019. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Sarana Distribusi & Logistik, Ditjen. Perdagangan Dalam Negeri, Frida Adiati, ketika menjadi pembicara pada webinar yang diadakan BMC Logistics (perusahaan layanan transportasi multimoda grup usaha Pelindo III) dari Surabaya, Kamis (23/7).
Kerja sama para pemangku kepentingan logistik dibutuhkan untuk memperlancar arus barang dan menjaga stabilitas harga bapokting (bahan pokok dan penting). Salah satunya dengan implementasi regulasi manifest domestik.
Baca Juga
“Namun masih banyak pelaku usaha logistik yang belum melaporkan manifest pengiriman barangnya ke Kemendag. Karena itu perlu ditingkatkan menjadi kewajiban, agar datanya cepat terkumpul dan pemerintah memiliki peta logistik nasional. Baru ada sekitar 174 perusahaan yang mulai men-submit manifest online di SIPT (Sistem Informasi Perizinan Tepadu Perdagangan Dalam Negeri/SIPT PDN). Ini masih sangat sedikit. Ke depan, data tersebut tidak di-input ke SIPT, tapi ke INSW agar menjadi data yang terintegrasi dengan Kementerian/Lembaga yang lain,” ungkap Frida Adiati.
Advertisement
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut, Ditjen. Perhubungan Laut, Capt. Wisnu Handoko, yang juga hadir sebagai pembicara, melihat bahwa selain sisi regulasi, sisi budaya untuk disiplin melaporkan manifest juga krusial untuk diperbaiki. Terutama dalam digitalisasi pengisian manifest kargo. Para pelaku bisnis logistik seharusnya bisa lebih disiplin mengisi manifest secara detil dan jujur. Apalagi bila komoditas yang diangkut tergolong barang berbahaya, karena terkait dengan keselamatan pelayaran dan pengangkutan.
“Misalnya pada Program Tol Laut yang disubsidi oleh Pemerintah dari pajak rakyat. Selain manifest yang akurat juga sudah sepatutnya mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sehingga dari manifest kargo bisa didapat data distribusi komoditas, sekaligus meningkatkan pendapatan negara sehingga bisa dialokasikan untuk pengembangan fasilitas distribusi, seperti infrastruktur jalan dan pelabuhan untuk mendukung para pelaku usaha logistik juga nantinya,” jelasnya.
Kondisi tersebut dibenarkan oleh Direktur Operasi dan Komersial BUMN Pelindo III Putut Sri Muljanto pada kesempatan yang sama. Saat ini masih sulit mencari data manifest barang non-peti kemas domestik. Padahal sangat penting untuk menyusun roadmap pengembangan logistik, termasuk pelabuhan.
“Regulasi dapat menjadi instrumen Pemerintah yang fair dan efektif untuk membantu para pelaku bisnis logistik mendisiplinkan manajemen dan pengguna jasanya, untuk melaporkan data manifest kargo dengan akurat. Data manifest sebenarnya sudah bisa diisi melalui Inaportnet. Semua data bisa masuk (ke Inaportnet), termasuk dari Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) yang kebanyakan dikelola swasta yang melayani banyak sekali komoditas,” katanya.
Ia melanjutkan, bahwa informasi komoditas yang terintegrasi dan akurat di setiap mata rantai logistik bermanfaat untuk setiap pemangku kepentingan. Untuk Kementerian Perhubungan berguna dalam mengurangi potensi insiden dalam transportasi. Lalu Kementerian Perdagangan bisa memanfaatkan single manifest komoditas untuk dijadikan pertimbangan strategi dalam meningkatkan daya beli dan arus dagang. Kemudian dapat meningkatkan akurasi pendataan Badan Pusat Statistik, karena meningkatkan visibilitas arus dagang, terutama arus komoditas antarpulau.
“Untuk pemilik barang dan forwarder/agen logistik dapat mengurangi risiko kerugian akibat kesalahan handling (penanganan) komoditas. Untuk perusahaan pelayaran dapat mengurangi risiko saat proses stevedoring (bongkar muat) dan pengangkutan di atas kapal. Sedangkan untuk operator terminal seperti Pelindo III bermanfaat untuk perencanaan arus barang di pelabuhan agar lebih efisien, sehingga meningkatkan pelayanan, menghemat waktu dan biaya,” papar Putut Sri Muljanto.
Kesiapan Sistem Pelindo III
BUMN Pelindo III telah menjalankan sistem digital yang dikembangkannya, yakni Integrated Billing System (IBS) untuk digunakan dalam proses integrasi data single manifest kargo. IBS Pelindo III telah terintegrasi dengan sistem Inaportnet milik Kemenhub dan INSW milik Kemenkeu. Kemudian juga telah ada Nota Kesepahaman antara Kemendag dengan Pelindo 1, IPC, Pelindo III, dan Pelindo 4, terkait integrasi data bongkar muat di pelabuhan dengan SIPAP milik Kemendag.
“Integrasi IBS dengan SIPAP sudah mulai berjalan untuk komoditas non-peti kemas. Tahun 2020 ini saatnya bersama-sama mengintegrasikan untuk komoditas peti kemas domestik. Bila semua pihak disiplin melaporkan manifest isi kargo peti kemasnya, maka Kemendag tinggal tarik data dari Aplikasi Spinner dalam IBS untuk SIPAP,” ungkap Putut Sri Muljanto lagi.
IBS Pelindo III siap diujicobakan oleh regulator dan pelaku bisnis logistik, untuk menjadi fasilitator master data komoditas dari integrasi manifest kargo nasional. Terkait cakupannya, Putut Sri Muljanto mengusulkan untuk diujicobakan mencatat komoditas pada rute pelayaran Tanjung Perak Surabaya dari dan ke Banjarmasin atau Sampit.
“Sehingga kita bersama bisa mendapatkan data komoditas apa saja yang diangkut antara dua pelabuhan besar di Jawa dan Kalimantan tersebut. Berbekal data tersebut, kementerian dan lembaga Pemerintah, serta pelaku bisnis bisa mengembangkan analisa dan perencanaan logistik yang lebih efektif dan efisien demi menekan biaya logistik nasional, dan yang terpenting yaitu prototype sistem logistik nasional yang berbasis data yang akurat, Negara kita akan segera memilikinya,” pungkas Putut Sri Muljanto optimis.
(*)