Sukses

Pentingnya Berikan Kesejahteraan Guru Tepat Sasaran

Berkaca pada kisah dari Avan Fathurrahman, apakah tunjungan guru sudah tepat sasaran?

Liputan6.com, Jakarta Masih ingat dengan kisah seorang guru mendatangi murid-muridnya ke rumah karena mereka tidak memiliki ponsel untuk belajar online. Dialah Avan atau Avan Fathurrahman. Melalui unggahan di akun Facebook pribadinya pada Kamis, 16 April 2020, Avan yang merupakan guru di Sekolah Dasar Negeri Batuputih Laok 3, Sumenep, Madura, Jawa Timur, menceritakan perjuangannya.

Avan menuliskan bahwa dirinya berkeliling ke rumah-rumah siswa setidaknya 3 kali dalam seminggu. Bukan tanpa rintangan, Avan harus menempuh jarak yang cukup jauh. Belum lagi jalan yang dilaluinya terbilang kurang bagus.

Avan adalah salah satu guru yang patut dicontoh. Kegigihannya tetap mengajarkan anak muridnya di tengah pandemi menjadi kisah inspiratif bagi semua orang. Maka dari itu, kerja keras Avan patut diberikan apresiasi.

Hal inilah yang menginspirasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam pidatonya. Dalam pidatonya yang diunggah situs resmi Kemendikbud, Nadiem kembali mengungkit tugas mulia guru Indonesia yang diikuti beratnya beban yang harus dipikul guru.

"Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan," kata Nadiem menambahkan seperti dalam teks pidato.

Nadiem juga dalam pidatonya menyebut bahwa para guru sangat ingin membantu murid-murid yang mengalami ketertinggalan di kelas. Namun apa daya, waktu sang guru habis terbuang lantaran mengerjakan tugas administratif saja.

2 dari 2 halaman

Pengajar SPK

Melihat Avan, berbanding terbalik dengan guru yang mengajar di sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) atau biasa dikenal dengan Sekolah Internasional.

Mengajar di sekolah SPK tentu lebih terjamin. Pasalnya, sekolah tersebut identik dengan gedung yang mewah, fasilitas yang lengkap dan guru pengajar yang khusus, baik dari Warga Negara Indonesia (WNI) maupun pengajar dari Warga Negara Asing (WNA).

Melihat hal itu, tentu membuat guru-guru di sekolah negeri merasa iri untuk sekolah di sana.

Dikutip dari JPNN, pengamat dan praktisi pendidikan Satriwan Salim mengatakan, sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) seharusnya mampu menyejahterakan tenaga pendidik dan kependidikan.

Pasalnya, sekolah SPK menarik dana yang tidak sedikit dari orang tua murid. "Rerata sekolah SPK ini bayarannya mahal. Meski ada juga SPK yang SPP-nya sama dengan sekolah swasta nasional. Namun, SPK itu identik dengan sekolah mahal karena sumber pembiayaannya tidak hanya dari SPP," kata Satriwan kepada JPNN.com, Rabu (22/7).

Dia mencontohkan beberapa SPK yang dimiliki industri berskala besar. Selain dari SPP, bisa saja sekolah juga mendapatkan subsidi dari industrinya.

Kondisi ini berbeda dengan sekolah swasta nasional yang juga standarnya berbeda-beda. Ada sekolah swasta nasional yang makmur tetapi lebih banyak pas-pasan. Mereka hanya mengandalkan sumber pemasukan dari SPP.

"Karena SPP sekolah SPK mahal, ditambah sumber pendanaan lainnya mestinya tenaga pendidik dan kependidikan harus lebih sejahtera. Namun, fakta yang saya lihat ada juga yayasan SPK yang kurang perhatian. Mestinya kan enggak begitu," ucap Satriwan.

 

(*)