Sukses

DKKP Nilai Putusan PTUN Tak Batalkan Pelanggaran Etik, Ini Kata Pengacara Evi Novida Ginting

DKPP menilai persoalan kode etik tetap melekat dan telah dianggap final dan tak ikut dibatalkan, sebagaimana putusan pada Kepres.

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Kepres Jokowi tentang pemberhentian Komisioner KPU Evi Novida Ginting menjadi polemik. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai persoalan kode etik tetap melekat dan telah dianggap final dan tak ikut dibatalkan, sebagaimana putusan pada Kepres.

Menanggapi itu, Kuasa Hukum Evi Novida Ginting, Hasan Lumbaraja angkat suara. Dia memandang antara kedua putusan tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan sebagaimana putusan PTUN.

"Bedasarakan keputusan PTUN yang lengkap itu sudah dijawab oleh pengadilan bahwa Keputusan Presiden No 34/P itu saling keterkaitan satu sama lain dengan putusan DKPP dan tak bisa dipisahkan termasuk juga PTUN. Jadi kalau ada cacat yuridis pada salah satu keputusan, akibatnya putusan batal atau tidak sah," ujar Hasan saat dikonfirmasi merdeka.com, Selasa (28/7/2020).

Dasar alasan pertama tertuang dalam halaman 249 Putusan PTUN yang berbunyi bahwa kedua putusan tersebut tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain (two sides of one coint). Pengadilan berpendapat kedua-duanya tak bisa dilepaskan dari pertanggung jawaban hukum sebagaimana dimaksud pasal 54 UU No 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Apabila ditemukan cacat yuridis diantara salah satu dari kedua keputusan tersebut. Akan mengakibatkan batal atau tidak sah.

Hasan menyebutkan alasan selanjutnya mengapa putusan DKPP yang menjadi rujukan putusan Kepres ikut dibatalkan. Karena dalam temuan PTUN terdapat tiga kesalahan prosedur yang ditemukan dalam proses pembuatan putusan DKPP yang bertentangan dengan sejumlah undang-undang.

"Keppres 34/P Tahun 2020 dibatalkan PTUN karena Putusan DKPP 317/2019 bertentangan dengan tiga peraturan sekaligus yaitu, UU 30/2014, UU 7/2017 dan Peraturan DKPP 2/2019," jelasnya.

Lanjut Hasan merujuk, dalam hasil keputusan PTUN yang keputusan DKPP bertentangan dengan tiga aturan. Hal itu yang membuat secara yuridis keputusan tergugat dalam hal ini Kepres Presiden Jokowi tidak terpenuhi.

Selain keterkaitan dua aturan tersebut, Hasan menyebutkan terdapat delapan amar Putusan PTUN Jakarta, dibagi jadi kelompok kelompok yakni terbagi dalam dua amar penundaan, satu amar eksepsi, dan lima pokok perkara.

 

2 dari 2 halaman

Amar Putusan PTUN

Berikut seluruh amar putusan dalam keputusan PTUN:Dalam Penundaan:1. Mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Presiden No 34/P Tahun 2020 tentang pemberhentian tidak hormat anggota komisi pemilihan umum masa jabatan 2017-2020 tanggal 23 Maret.

2. Memerintahkan atau mewajibkan untuk menunda pelaksanaan Keputusan Presiden No 34/P Tahun 2020 tentang pemberhentian tidak hormat anggota komisi pemilihan umum masa jabatan 2017-2020 tanggal 23 Maret selama proses pemeriksaan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

Dalam Eksepsi:1. Menyatakan eksepsi tergugat tidak diterima

Pokok Perkara:1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya

2. menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.

3. mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.

4. mewajibkan Tergugat merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.

5. Serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp332 ribu.

"Dalam dua point Penundaan tergugat harus dengan mengembalikan kedudukan Penggugat seperti semula, sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap," katanya.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com