Sukses

Kabareskrim Polri: Penangkapan Djoko Tjandra Atas Perintah Presiden

Perintah Jokowi kemudian diterjemahkan dengan membentuk tim khusus di bawah Bareskrim Polri hingga akhirnya bisa membawa pulang Djoko Tjandra dari Malaysia.

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Bareskrim Polri berhasil menangkap Djoko Tjandra setelah buron selama sekitar 11 tahun terkait kasus korupsi cessie Bank Bali. Dia tiba di Jakarta pada Kamis malam (30/7/2020). 

Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit Prabowo mengatakan, penangkapan Djoko Tjandra dilakukan atas perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sigit mengatakan, Jokowi meminta kepolisian mencari keberadaan Djoko Tjandra di manapun berada.

"Ada perintah dari presiden untuk terus mencari keberadaan Djoko Tjandra, di mana berada dan untuk dituntaskan," ujar Sigit di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis malam.

Sigit mengatakan, perintah itu langsung diimplementasikan oleh Kapolri Jenderal Idham Azis dengan membentuk tim khusus yang berada di bawah Bareskrim Polri. Tim bergerak cepat mendeteksi keberadaan Djoko Tjandra di negeri jiran.

"Diketahui keberadaan di Malaysia dan dilanjuti police to police," ujar dia.

Sigit menerangkan, Kapolri selanjutnya mengirim surat ke Polisi Diraja Malaysia untuk bersama-sama mencari Djoko Tjandra. Koordinasi itu telah dilakukan selama kurang lebih satu pekan terakhir.

"Tadi sore kami dari Bareskrim terbang berangkat untuk melakukan pengambilan, dan Alhamdulillah berkat kerja sama kami dengan Polisi Diraja Malaysia, terpidana Djoko Tjandraberhasil diamankan," tandas Sigit.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Kronologi Kasus Djoko Tjandra

Kasus cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra sendiri sudah berlangsung lama. Bahkan, kasus yang mulai tercium aparat penegak hukum sejak lebih dari dua dasawarsa silam itu belum juga bisa menjerat Djoko Tjandra masuk bui meski sudah jadi terpidana.

Direktur Eksekutif Indonesia Bureaucracy and Service Watch (IBSW) Nova Andika mengatakan, kasus ini mulai masuk ranah hukum pada akhir 1999.

"Ketika itu kasusnya mulai diusut Kejaksaan Agung," ujar Nova dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin 20 Juli 2020.

Berikut koronologi perjalanan kasus yang melibatkan Djoko Tjandra hingga yang bersangkutan menjadi warga negara Papua Nugini:

27 September 1999

Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999-8 November 1999

Djoko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999-13 Januari 2000

Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000-10 Februari 2000

Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000

Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000-10 Maret 2000

Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000

Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000

Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

19 April 2000

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

April 2000-Agustus 2000

Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.

Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.

Sedangkan uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000

Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000

Antasari Azhar selaku JPU mengajukan kasasi.

26 Juni 2001

Majelis hakim Agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkostar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003

Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003

BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003

Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Oktober 2008

Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009

Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009

Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.

Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.

Juli 2012

Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan. Hingga titik ini, Djoko Tjandra tak lagi bisa disentuh.

LSM Pemantau Birokrasi dan Pelayanan Publik (IBSW) menilai kronologi ini penting diketahui publik agar kasusnya menjadi terang benderang.

"Catatan ini penting untuk menyegarkan kembali ingatan publik atas kasus yang menyangkut buron ini, dan bukan berkutat pada kasus terakhir ini saja," ujar Nova Andika.