Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyurati Presiden Joko Widodo terkait hasil temuan banyaknya komisaris rangkap jabatan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Surat itu bertujuan agar Presiden segera menerbitkan Peraturan Presiden untuk memperjelas batasan dan kriteria penempatan pejabat struktural dan fungsional aktif Komisaris BUMN. Termasuk pengaturan sistem penghasilan tunggal bagi perangkap jabatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
Baca Juga
"Saran Ombudsman adalah agar Presiden melakukan evaluasi cepat dan berhentikan para komisaris rangkap jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku," ujar Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, pada konferensi pers daring, di Kantor Ombudsman RI, Selasa (4/8/2020).
Advertisement
Saran tersebut, berdasarkan hasil assesmen dan pemantauan Dewan Komisaris serta Dewan Pengawas sebagai pengawas BUMN dan BLU yang dilakukan sejak 2017. Ombudsman telah melakukan inisiatif pemeriksaan, memanggil Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan BPKP, juga berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan melakukan pembahasan bersama KPK.
Dari hasil permintaan keterangan tersebut, Alamsyah menjelaskan pihaknya memperoleh temuan ada 397 Komisaris pada BUMN dan 167 Komisaris pada anak perusahaan BUMN terindikasi rangkap jabatan dan rangkap penghasilan. Hal ini ditemukan sepanjang tahun 2017 sampai 2019.
Termasuk, hasil analisis kerjasama bersama KPK terhadap data 2019, dilakukan profiling terhadap 281 komisaris yang masih aktif di instansi asal. Berdasarkan jabatan, rekam jejak karir dan pendidikan ditemukan sebanyak 91 atau komisaris 32 persen berpotensi konflik kepentingan dan 138 komisaris atau 49 persen tidak sesuai kompetensi teknis dengan BUMN dimana mereka ditempatkan.
"Dari hasil itu, jadi kemungkinan di 2020 itu hal ini akan tetap terjadi maka kita lakukan review secara teknis kepada BUMN untuk tahun 2020 terkait perkembangan terakhir," tuturnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ada Maladministrasi?
Oleh sebab itu, Alamsyah menduga, adanya potensi maladministrasi akibat rangkap jabatan pada komisaris BUMN karena benturan regulasi, batasan yang tidak tegas, muncul beda penafsiran yang meluas, hingga adanya pelanggaran terhadap regulasi secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan.
Salah satu akibatnya, lanjut Alam, terkait rangkap penghasilan dengan nomenklatur honor dan gaji. Hal ini, menyebabkan penerapan prinsip imbalan berdasarkan beban tambahan (incremental) menjadi tidak akuntabel dan menimbulkan ketidakadillan.
"Melihat Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Ternyata masih terdapat kelemahan seperti, potensi konflik kepentingan dalam penjaringan, potensi ketidakadilan proses dalam penilai persyaratan materiil sehingga mempengaruhi Akuntabilitas Kinerja Komisaris BUMN," ujarnya.
Terhadap perkembangan dan pelaksanaan saran perbaikan tersebut, Alamsyah menututkan pihaknya akan melakukan pemantauan perkembangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Ombudsman juga akan melanjutkan review administratif terhadap proses rekrutmen Komisaris yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kementerian BUMN," pungkasnya.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka
Advertisement