Sukses

Special Content: Berkaca kepada Kasus Anji, Perlukah Kode Etik untuk Influencer?

Video Anji dan Hadi Pranoto di YouTube bisa menjadi pijakan dalam membuat aturan serta kode etik untuk para influencer di medis sosial.

Jakarta - Sebutan influencer sudah tidak asing di dunia digital seperti sekarang. Sebagai public figure, influencer dinilai mampu memberikan pengaruhnya kepada masyarakat melalui saluran media sosial, termasuk YouTube.

Influencer bisa datang dari kalangan mana saja. Artis atau selebritis menjadi kalangan yang mendominasi bertebarannya influencer di dunia digital Indonesia.

Influencer identik dengan popularitasnya di media sosial dan memiliki jumlah follower atau pengikut ratusan ribu sampai jutaan orang. Melalui media sosial, mereka mengunggah berbagai konten menarik demi mendapatkan perhatian banyak orang, sehingga memperoleh keuntungan.

Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan Sujono, menjelaskan, dalam teori-teori komunikasi, influencer, buzzer, dan endorser, juga disebut sebagai penengah. Menurut Firman, dalam kondisi komunikator dan sasaran komunikasi yang berjarak, seperti pemerintah dengan rakyatnya, penengah dalam hal ini influencer, dapat memangkas jarak tersebut sehingga tujuan komunikasi bisa tercapai.

"Secara wajar, yang namanya penengah, mutlak digunakan ketika ada kesenjangan antara komunikator dengan sasaran komunikasi. Yang jadi persoalan adalah, apabila influencer tidak mempedulikan etika, misalnya, komunikator dengan sengaja melakukan misinformasi atau disinformasi," terang Firman Kurniawan ketika dihubungi Liputan6.com.

Menurut artis sekaligus influencer, Yosi Mokalu atau yang lebih dikenal dengan Yosi Project Pop, semakin banyak pengikut (follower atau subscriber) di media sosial, maka tanggung jawab yang diemban oleh public figure atau influencer itu juga semakin besar, terutama dalam penyebaran informasi.

"Ketika kita main sosial media, ketika kita berada dalam sebuah grup Whatsapp, kita termasuk orang-orang yang bisa berikan influence atau pengaruh. Makanya kalau kita menyadari peranan tersebut, apalagi temen-temen public figure yang memiliki banyak sekali, semakin banyak followers atau subscriber, tentunya semakin besar tanggung jawabnya," ujar Yosi, yang juga Ketua Umum Siberkreasi itu di Antara.

Belakangan, sejumlah influencer Indonesia tersangkut kontroversi karena konten yang dinilai buruk, tidak etis, tidak mendidik, bahkan menyesatkan. Berbagai kritik dialamatkan kepada sederet influencer tersebut.

Atta Halilintar, yang dikenal sebagai Youtuber terbesar di Indonesia, pernah dalam sebuah video di media sosial meminta para pengikutnya menuliskan nomor telepon di kolom komentar dengan iming-iming, pengikut yang beruntung akan ia telepon. Aksi Atta dikritik, karena menuliskan nomor telepon di media sosial dengan interaksi sangat besar dapat disalahgunakan orang tidak bertanggung jawab.

Anya Geraldine, selebgram yang memiliki 4,7 juta pengikut, pernah dipanggil Komisi Perlindungan Anak Indonesia, karena mengunggah video liburan mesra berdua dengan kekasihnya di Bali ketika masih remaja. Konten video Anya kala itu dianggap tidak memenuhi landasan etis.

Youtuber terkenal Indonesia, Ria Ricis, sempat diprotes aktivis lingkungan lantaran konten videonya berisikan membuang squishy ke laut dan lubang toilet. Tindakan merusak lingkungan Ricis dikhawatirkan bisa ditiru para pengikutnya yang kebanyakan masih anak-anak. Dan masih banyak lagi kontroversi yang dibuat youtuber dan selebgram Indonesia.

Kontroversi terakhir, Erdian Aji Prihartanto atau yang dikenal dengan Anji, mengunggah video di YouTube bersama seseorang bernama Hadi Pranoto, yang diklaim sebagai profesor atau ahli mikrobiologi. Hadi mengaku menemukan obat untuk Covid-19 berbahan herbal. Selain itu, Hadi Pranoto juga mengaku dapat melakukan tes lewat digital teknologi untuk mengetahui seseorang terpapar Covid-19 dengan biaya Rp 10 ribu - 20 ribu.

Video berjudul "Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!" di kanal YouTube DuniaManji, sekarang telah dihapus pihak YouTube. Anji mendapat banyak kecaman, karena konten videonya dinilai menyebarkan kebohongan dan menyesatkan, dengan narasumber yang tidak valid.

Anji tidak memverifikasi dan melakukan riset terlebih dahulu terhadap narasumber yang dia wawancarai. Hadi Pranoto mengklaim dirinya sebagai Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19, namun klaim itu ternyata bohong belaka. 

Bahkan akibat videonya itu, Anji dan Hadi Pranoto dilaporkan ke polisi pada Senin (3/8/2020) oleh Cyber Indonesia. Laporan itu berkaitan dengan dugaan tindak pidana menyebarkan berita bohong oleh akun channel Youtube milik Anji.

Saksikan Video Influencer di Bawah Ini

2 dari 4 halaman

Kecenderungan Masyarakat Lebih Percaya kepada Influencer

Dengan berbagai macam latar belakang influencer, masyarakat diminta lebih sadar untuk memilah mana yang membawa manfaat dan dampak positif, mana yang tidak. Publik harus semakin tahu, bahwa ada influencer yang proporsional dan yang tidak proporsional.

"Tidak semua informasi dari penengah (influencer, buzzer, dan endorser) itu mutlak untuk diterima. Masyarakat yang menjadi khalayak komunikasi, sudah seharusnya mempelajari lebih lanjut sumber-sumber mana yang patut dijadikan acuan," papar Firman Kurniawan.

Pria bergelar Doktor dari Universitas Indonesia ini menyatakan, dengan adanya media sosial, masyarakat justru mesti melipatgandakan kemauan mendapatkan informasi yang valid, bukan hanya memilih sependapat dengan yang dikatakan sosok populer yang mereka ikuti di media sosial.

"Mestinya influencer itu mampu menahan diri. Mereka ini mempunyai basis massa, dikagumi, punya fans yang jumlahnya besar, yang cenderung mendengarkan mereka. Harus berani membatasi diri untuk hal-hal yang tidak dikuasainya, harus menolak untuk memberikan pernyataan yang bukan bidang mereka," tegas Firman Kurniawan.

"Karena bagaimanapun tidak semua pengagum atau pengikutnya paham dengan apa yang diucapkannya, benar atau salah. Padahal, ketika sebuah substansi yang tidak dia kuasai dan dijadikan panutan oleh follower-nya, itu bisa menimbulkan kesesatan kebenaran," imbuhnya.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, ada beberapa faktor yang membuat masyarakat lebih percaya informasi dari public figure atau influencer daripada imbauan pemerintah.

"Pertama, masyarakat umum berinteraksi membaca simbol. Dalam konteks interaksi sehari-hari atau interaksi internet, mereka melihat selebriti itu lebih dekat hubungannya dengan mereka dibandingkan pemerintah yang berjarak," kata Daisy kepada Liputan6.com.

"Dalam kasus Anji, dia bisa mempertahankan kontennya dengan mengundang akademisi dan lain sebagainya. Itu simbol yang seakan-akan mudah dipercaya."

Kedua, menurut Staf Pengajar Departemen Sosiologi FISIP UI itu, literasi digital masyarakat Indonesia juga masih rendah. "Jadi, ketika menerima informasi di internet, kita belum terbiasa untuk mengecek dulu atau punya sikap tidak langsung percaya. Kita harus paham internet itu bukan informasi kebenaran yang hakiki."

"Ketika menerima informasi di internet, kita harus menggunakan daya kritis kita. Daya kritis ini belum banyak dilatih di masyarakat Indonesia. Karakter masyarakat Indonesia itu lebih banyak yang menurut atau ikut, apalagi kalau yang bicara tokoh seperti selebriti. Itu catatan dimana kita harus waspada untuk meningkatkan daya kritis kita," ucap Daisy.

3 dari 4 halaman

Perlukah Kode Etik Untuk Influencer?

Setelah sederet kontroversi dari influencer Indonesia, muncul pertanyaan apakah mereka perlu diatur dan dibuatkan kode etik? 

Denmark misalnya, sejak tahun lalu terus merumuskan aturan untuk influencer. Menteri Pendidikan dan Anak Denmark, Pernille Rosenkrantz-Theil, menyebutkan bahwa pemerintah negaranya ingin influencer memiliki "Tanggung jawab editorial" sesuai dengan standar pers.

"Ketika Anda menjangkau sejumlah orang yang menjadi pengikut halaman Anda, maka Anda akan memiliki tanggung jawab yang sama seperti jika Anda adalah seorang editorial di koran atau di media massa," terang Rosenkrantz-Theil, seperti dilansir BBC Inggris.

"Jadi, misalnya, standar etika Denmark untuk pers adalah bahwa Anda tidak menulis tentang upaya bunuh diri atau bunuh diri jika itu tidak menyangkut masyarakat umum. Kami ingin standar yang sama ini diterapkan pada media sosial."

Rosenkrantz-Theil menyatakan, apabila influencer ditemukan melanggar aturan, maka unggahan mereka akan dihapus. Influencer dengan jumlah pengikut tertentu juga akan dibuat memiliki sejumlah administrator.

"Kami memiliki masyarakat di mana media massa saat ini telah berubah dan standar komunikasi media massa harus berubah dan harus diterapkan ke media massa baru. Ini media yang berbeda, tetapi etika yang sama," beber wanita berusia 43 tahun ini.

Di Indonesia, menurut Daisy Indira Yasmine, saat ini belum ada aturan yang jelas terkait influencer atau warganet. "Kita belum punya semacam guidelines, pedoman do and don't, atau etika baik kita sebagai netizen dalam hal produser menghasilkan konten atau menyebarkan, maupun kita sebagai konsumen"

"Pemerintah juga belum jelas mau mengacu ke mana, kalau internasional ada guidelines untuk protection privacy data dan lain sebagainya. Kita belum secara tegas memposisikan, kita mau buat sendiri atau mengacu pada guidelines yang sudah ada."

Memang saat ini sudah ada UU ITE. Namun, menurut Peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP) UI itu, belum ada sosialiasi yang baik dari UU tersebut. "Selain itu, law enforcement-nya juga belum kuat."

"Jadi, gabungan budaya kita yang percaya pada membaca simbol-simbol dari tokoh yang lebih dekat dengan kita, ditambah literasi digital dan daya kritis belum kuat, ditambah belum ada guidelines dari pemerintah, akhirnya masyarakat gampang percaya sesuatu yang belum tentu benar."

Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, mengungkapkan, aturan mengenai kode etik influencer dan buzzer sudah sering dibahas dalam rapat. Namun, DPR belum memiliki tools untuk melakukan pengontrolan kegiatan mereka di media sosial.

"Buzzer dan influencer seringkali dianggap menyebarkan informasi yang akurat atau benar oleh masyarakat. Padahal, belum tentu. Pentingnya ada rasa tanggung jawab dan kode etik dari para influencer ini untuk tidak cepat menyebarkan berita atau informasi tanpa mempelajari dan mendalami akurasinya," jelas Dave Laksono ketika dihubungi Liputan6.com.

Menurut politikus Partai Golkar ini, jika pers punya Dewan Pers, televisi dan radio punya KPI, influencer dan buzzer belum punya lembaga dan aturannya. Padahal, Dave berpendapat, sudah banyak yang dirugikan dari informasi-informasi tidak akurat dari kegiatan influencer atau buzzer sehingga memang perlu ada aturan.

"Ini media baru. Ini sebagian wilayah teknologi. Media baru yang belum ada aturannya, tidak ada standarisasinya. Makanya, soal influencer ini mesti masuk juga ke dalam aturan-aturan undang-undangnya yang ada sekarang ini. Apakah direvisi atau dibuat undang-undang baru, atau cukup dengan dibuat Permen (Peraturan Menteri) untuk mengatur soal ini," tutur putra dari Agung Laksono ini.

Di sisi lain, dalam kacamata pengamat komunikasi digital UI, Firman Kurniawan, pemerintah tidak perlu terburu-buru dalam membuat aturan untuk influencer. Firman percaya, hati nurani masyarakat otomatis terusik dengan konten yang tidak etis, dan berpotensi memunculkan reaksi kemarahan publik.

"Lebih bagus dengan kesadaran publik yang meniadakan permintaan untuk konten-konten tidak etis. Pembuat konten yang tidak etis akan mendapatkan sanksi sosial setelah reaksi kemarahan publik," tuturnya.

"Jadi soal aturan untuk influencer, jangan terburu-buru. Kita asah masyarakat nuraninya dengan landasan etis yang kuat," ujar Firman Kurniawan.

4 dari 4 halaman

Infografis