Liputan6.com, Jakarta - Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengklaim berhasil menemukan obat Covid-19 setelah melakukan penelitian yang didukung Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI-AD. Tapi, tidak sedikit yang mengkritik klaim tersebut.
Polemik muncul setelah pengumuman dari Unair bahwa hasil penelitian mereka itu akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia. Unair sendiri menegaskan sudah menyelesaikan uji klinis fase ketiga obat penawar untuk penanganan pasien Covid-19.
Baca Juga
"Karena ini akan menjadi obat baru maka diharapkan ini akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia," jelas Rektor Unair Profesor Mohammad Nasih, seperti dilansir Antara.
Advertisement
"Dari lima kombinasi obat penawar Covid-19, hanya tiga yang disarankan karena mempunyai potensi penyembuhan terbesar," imbuhnya.
Menurut Nasih, obat baru ini merupakan hasil kombinasi dari tiga jenis obat. Tiga kombinasi obat yang dipakai dalam penelitian Unair yakni Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin (kombinasi pertama), Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin (kombinasi kedua), dan Hydrochloroquine dan Azithromycin (kombinasi ketiga).
Lopinavir/Ritonavir merupakan obat pencegahan HIV/AIDS, sedangkan Hydrochloroquine adalah obat antimalaria. Adapun Azithromycin merupakan antibiotik untuk pengobatan radang paru-paru dan Favipiravir adalah obat antivirus.
Kemudian, tiga obat itu dikombinasikan oleh peneliti Unair menjadi satu obat. Hasilnya, Unair mengklaim efektivitas obat lebih dari 90 persen.
"Setelah kami kombinasikan daya penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu itu sampai 98 persen efektivitasnya," ungkap Nasih.
Proses Uji Klinis
Nasih menyatakan, tim Unair melakukan uji klinis obat kombinasi itu tidak hanya pada satu pihak dan satu tempat saja. Unair telah menggelar uji klinis kandidat obat Covid-19 mereka pada 13 center di Indonesia. Menurutnya, masing-masing center tersebut dikoordinasi oleh salah seorang dokter profesional.
BIN yang mendukung obat Covid-19 Unair juga menyebut bahwa klaster Secapa TNI AD, Jawa Barat, yang berjumlah 1.308 orang, sebanyak 85 persen di antaranya sembuh setelah mereka mengonsumsi obat kombinasi tersebut. Uji klinis itu dilakukan pada 7 Juli sampai 4 Agustus 2020.
TNI AD melalui Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, yang juga menjabat Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, telah meminta dukungan untuk percepatan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Kendati demikian, temuan obat Covid-19 oleh Universitas Airlangga, BIN, dan TNI AD itu juga menimbulkan pertanyaan soal keamanan kandungan obat dan metode pengujian secara klinis. Data hasil penelitian Unair yang diungkap ke publik juga tergolong minim.
Saksikan Covid-19 Berikut ini
Dipertanyakan
Sebelumnya, Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan bahwa penelitian obat virus corona Covid-19 dari Unair bersama TNI AD dan BIN tidak teregistrasi uji klinis di International Clinical Trial Registry, baik di WHO (Badan Kesehatan Dunia) atau badan berwenang lainnya.
Pandu meminta tim Unair mengikuti prosedur yang terbuka dan transparan dalam uji klinisnya. Saat melakukan riset juga perlu pemantauan dari tim clinical monitoring yang independen.
Selain itu, Pandu sejak awal telah meragukan riset obat covid-19 Unair bersama TNI AD dan BIN. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu bahkan siap melakukan gugatan apabila BPOM memberikan ijin edar kepada obat covid-19 Unair tersebut. Dia yakin banyak akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut.
Pandu khawatir dampak klaim dari Unair-TNI AD, dan BIN adalah terjadinya false hope, yaitu ketika masyarakat merasa tenang dan bakal mengabaikan protokol kesehatan, karena merasa obat Covid-19 telah ditemukan.
Bukan Obat Baru
Sementara itu, Farmokolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Zullies Ikawati, mengungkapkan, tiga obat kombinasi yang ditemukan Unair bukan barang baru di dunia farmasi. Bahkan, para dokter di Indonesia memberikan terapi kepada pasien Covid-19 memakai satuan obat tersebut.
Satuan obat yang dipakai para dokter di Indonesia antara lain Hydrochloroquine, Azithromycin, Favipiravir. Namun, pemberian obat-obat tersebut sesuai dengan kondisi keparahan pasien.
Tiga obat kombinasi Unair masing-masing juga belum terbukti efektivitasnya. Prof Zullies juga mengungkapkan, WHO tidak menyarankan mengombinasikan Lopinavir/Ritonavir dan hanya mendorong uji klinisnya.
Untuk obat antimalaria Hydrochloroquine, WHO malah menghentikan uji klinisnya untuk sementara, karena alasan keamanan obat kepada pasien Covid-19. Para peneliti menyebut hydrochloroquine dapat meningkatkan risiko gangguan ritme jantung.
"Keputusan itu diambil setelah publikasi sebuah hasil penelitian menunjukkan, pengobatan dengan Hydroxychloroquine kemungkinan meningkatkan angka kematian pasien," bunyi pernyataan WHO pada 26 Mei 2020.
Prof Zullies menambahkan, uji klinis obat Covid-19 Unair juga perlu adanya kelompok pembanding. Sebab, saat ada sekian orang yang dinyatakan sembuh, harus ada perbandingan antara kelompok yang mengonsumsi obat tersebut dan tidak.
"Tidak dijelaskan juga, bagaimana komposisi peserta uji coba itu, mulai dari usia, tingkat gejala ringan hingga berat dan penyakit penyerta," ucap Prof Zullies saat dihubungi Liputan6.com.
Wanita kelahiran Purwokerto 6 Desember 1968 ini juga mempertanyakan kondisi pasien saat diberi obat Covid-19 Unair, apakah dengan gejala infeksi ringan, sedang atau berat. Selain itu, Covid-19 juga penyakit yang dapat sembuh sendiri jika sistem imun pasiennya kuat.
"Obat baru bisa dikatakan efektif ketika secara statistik pasien yang sembuh dengan obat, signifikan. Tetapi, memang belum ada pengamatan atau observasi secara terstruktur terkait dengan efikasi dan keamanan obat-obat tersebut," wanita yang menyelesaikan gelar Doktor bidang Farmakologi di Ehime University School of Medicine Japan pada 2001 itu menjelaskan.
Dia menambahkan, "Sehingga uji klinis ini merupakan suatu pembuktian secara ilmiah terhadap efikasinya pada manusia, terutama adalah pada virus corona yang ada di Indonesia pada orang Indonesia, sekaligus juga menguji efikasi dari tiga regimen obat kombinasi yang berbeda."
Mengenai potensi pemberian izin edar untuk obat Covid-19 Unair, Prof Zullies percaya integritas BPOM. Dia merasa tidak perlu memberi masukan, karena BPOM pasti menyadari keputusannya akan berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
"Terlepas dari informasi (obat Covid-19 Unair) yang sudah beredar di publik, yang mana mungkin, penyiapannya saya mengindikasikannya, agak terlalu terburu-buru sehingga mungkin ada beberapa informasi yang terlewat," papar Prof Zullies.
Keraguan lain juga datang dari Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek/BRIN Ali Ghufron Mukti. Ali berpendapat, faktanya belum ada satu obat pun yang terbukti mampu menyembuhkan Covid-19, walaupun banyak klaim dari berbagai pihak tentang temuan obat dan vaksin penyakit yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok ini.
"Jadi, sampai sekarang belum ada satu pun yang kita bisa klaim sebetulnya merupakan satu obat, meskipun banyak klaim dari beberapa entah mengatakan penelitian atau tidaknya, tapi yang masuk dalam konsorsium belum ada satu pun yang bisa dikatakan ini loh obat spesifik khusus untuk Covid-19," jelas Ali Ghufron, dalam diskusi info corona BNPB bertema 'Obat dan Terapi Terkini untuk Pasien COVID-19' Selasa, 18 Agustus 2020.
Sebelumnya, Anggota Komite Nasional Penilai Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Anwar Santoso, menyatakan, saat ini belum ada satu obat pun yang mampu mengatasi Covid-19 di Indonesia. Bahkan WHO juga belum merekomendasikan obat yang ampuh untuk menangani virus corona.
"Belum ada satu statement yang menyatakan bahwa ini ada obat yang manjur dan aman untuk Covid-19," tegas Anwar Santoso dalam wawancara di Gedung BNPB, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Dia menilai, semua kandidat obat Covid-19 masih dalam tahap uji klinis. Hal itu dilakukan mengacu kepada dua variabel penting untuk kandidat obat Covid-19, yakni manfaat saintifik dan punya nilai sosial.
"Ada manfaat saintifik dan harus punya nilai sosial, sehingga keselamatan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan patient safety (keamanan pasien) bisa dijamin," tambah Anwar Santoso.
Advertisement
Sikap BPOM
Hasil evaluasi BPOM yang dinantikan publik terkait obat Covid-19 pengembangan Unair, TNI AD, dan BIN, juga telah dikemukakan. Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, mengutarakan, dalam inspeksi pertama pihaknya menyebut proses uji klinis obat Covid-19 Unair tak sesuai prosedur uji klinis obat pada umumnya.
"Inspeksi pertama kita 28 Juli, menemukan critical finding dalam hal randomisation. Suatu riset kan harus acak supaya merepresentasikan masyarakat Indonesia, jadi subjek uji klinis harus acak," ujar Penny Lukito.
Dalam uji klinis yang digelar Unair juga terdapat OTG (Orang Tanpa Gejala) yang memperoleh obat. Padahal, berdasarkan protokol, OTG tidak perlu mendapat pengobatan. "Kita mengarah pada pasien penyakit ringan, sedang, berat," ucap perempuan berusia 56 tahun ini.
Penny juga memberikan catatan lain mengenai hasil uji klinis Unair, di mana kombinasi obat itu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan serta belum memenuhi nilai kebaruan.
"Kemudian dari hasil validitas, suatu riset harus menunjukkan bahwa suatu yang baru tersebut memberikan hasil berbeda dibandingkan terapi standar, itu signifikannya tidak terlalu besar, jadi perlu kita tindak lanjuti," paparnya.
Â
Sempurnakan Uji Klinis
Pihak BPOM sendiri menanti respons dari tim Unair bersama TNI AD dan BIN terkait perbaikan yang perlu dilakukan dalam penelitian mereka terhadap obat Covid-19.
Rektor Unair Prof Mohammad Nasih, Kamis (20/8/2020), menyatakan siap menyempurnakan uji klinis kombinasi obat COVID-19 sesuai dengan rekomendasi BPOM.
"Sebagaimana masukan dari BPOM, untuk selanjutnya, tim peneliti juga menunggu dan akan mempelajari semua masukan tertulis dari BPOM," ujar Nasih, seperti dilansir Antara.
"Dengan masukan BPOM maka tim peneliti Unair segera mengambil langkah cepat untuk segera menyempurnakan uji klinis," tuturnya.
Advertisement