Sukses

RUU Cipta Kerja Dinilai Jadi Solusi Kurangi Angka Pengangguran

Jajang menilai, adanya RUU Ciptaker ini memberi peluang pekerja dan buruh untuk dapat berdialog langsung dengan pihak pemerintah dan perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta Ketua lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyakarat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jajang Syahroni menilai RUU Cipta Kerja menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi pekerja dan buruh di Indonesia.

Menurutnya, dengan RUU Cipta Kerja, hak buruh dan pekerja kian dilindungi oleh pemerintah melalui aturan tersebut.

"Outsourcing yang sebelumnya ditolak oleh kaum buruh juga lebih clear saya kira dalam RUU Ciptaker ini," kata Jajang saat dihubungi wartawan di Jakarta, Minggu (30/8/2020).

Jajang menjelaskan, outsourcing sudah sejak lama ditolak oleh serikat pekerja dan buruh. Alasannya karena mereka rentan dieksploitasi tenaganya oleh perusahaan.

"Jadi outsourcing itu identik dengan eksploitasi buruh," ujarnya.

Namun, dengan adanya RUU Ciptaker ini memberi peluang pekerja dan buruh untuk dapat berdialog langsung dengan pihak pemerintah dan perusahaan. Sehingga mereka, kata dia, tak bisa berbuat semena-mena.

"Nah sekarang asosiasi buruh juga dilindungi dan setiap buruh, juga bisa digunakan menegosiasi dengan berbagai hal dengan perusahaan, dan perusahaan juga nggak semena mena, menentukan upah tahunan, jadi melibatkan buruh itu yang menurut saya pertanda baik dalam RUU ini," katanya.

"Poin bagusnya adalah, di RUU Ciptaker ini, buruh mesti dilibatkan dalam merumuskan banyak hal, misal upah, dan serikat pekerja harus dilibatkan," lanjutnya.

Selain itu, Jajang menuturkan, RUU Ciptaker ini dapat menjawab tantangan masalah pengangguran di dalam negeri.

Menurut Jajang, kemudahan izin usaha yang diberikan oleh pemerintah tentu saja akan menjadi daya tarik banyak masuknya investor perusahaan ke Indonesia. Hal itu otomatis akan menyerap tenaga kerja di Indonesia.

"Kalau yang ini menurut saya banyak hal yang positif untuk mengundang dan mendorong agar perusahaan nasional dan multinasional menyerap tenaga kerja lokal," kata dia.

"Kemudian ada penghitungan dan upah yang lebih personal ada jaminan kesehatan, ada jaminan hari tua dan sebagainya, dalam RUU ini menurut saya desain dari RUU ini seperti itu," ujar dia

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Pengangguran Makin Meningkat

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran naik 50 ribu orang per Agustus 2019. Alhasil dengan kenaikan tersebut, jumlah pengangguran meningkat dari 7 juta orang pada Agustus 2018 lalu menjadi 7,05 juta orang.

Kepala BPS Suhariyanto memaparkan, rata-rata jumlah pengangguran sejak Agustus 2015 tak pernah turun di bawah 7 juta orang. Rinciannya, pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, Agustus 2016 sebanyak 7,03 juta orang, dan Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang.

Kendati jumlah pengangguran naik, tetapi Suhariyanto mengklaim, tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2019 mencapai 5,28 persen. Pengangguran terbuka tersebut turun dibanding Agustus 2018 yang mencapai 5,34 persen.

Penurunan TPT ini terjadi karena jumlah angkatan kerja per Agustus 2019 naik dari 131,01 juta orang menjadi 133,56 juta orang. Kenaikan itu sejalan dengan meningkatnya jumlah orang yang bekerja dari 124,01 juta orang menjadi 126,51 juta orang.

TPT turun dari Agustus 2015 sampai dengan Agustus 2019. TPT Agustus 2018 sebesar 5,34 persen turun menjadi 5,28 persen pada Agustus 2019. Ini berarti dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar lima orang menganggur," papar Suhariyanto, Selasa (5/11).

Suhariyanto mengatakan lapangan pekerjaan sejauh ini masih didominasi oleh sektor pertanian sebesar 27,33 persen, perdagangan sebesar 18,81 persen, dan industri pengolahan sebesar 14,96 persen.

"Dari tren Agustus 2018 sampai Agustus 2019 lapangan pekerjaan naik terutama pada penyediaan akomodasi dan makan minum, industri pengolahan, dan perdagangan," ungkap Suhariyanto.

Sementara itu, tren pekerjaan formal dari Agustus 2018-Agustus 2019 meningkat 1,12 persen. Suhariyanto menyebut penduduk yang bekerja paling banyak berstatus buruh, yakni 51,66 juta orang.

"Lalu persentase pekerja informal tertinggi adalah mereka yang berstatus berusaha sendiri sebanyak 25,58 juta dan buruh tidak dibayar 18,4 juta orang," katanya.