Liputan6.com, Jakarta - Perseteruan antara TNI dan Polri bukan hal baru. Teranyar, beberapa oknum TNI menyerang dan merusak Polsek Ciracas pada Sabtu dini hari, 29 Agustus 2020. Peristiwa ini dipicu informasi keliru bahkan juga bohong. Kepada teman-temannya, prajurit MI mengaku dikeroyok oleh orang tidak dikenal (OTK) hingga menyebabkan luka-luka. Sementara, kejadian yang sebenarnya, prajurit MI menjadi korban kecelakaan tunggal.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa geram dengan ulah prajurit yang menyerang Polsek Ciracas. Sekalipun prajurit lainnya mengaku tertipu oleh pengakuan MI, Andika tak bakal menoleransinya.
Baca Juga
"Mau mereka ketipu (MI) mau enggak, salah sendiri. Kami tidak akan menolerir lagi. Tidak boleh kejadian seperti ini terjadi lagi dan mereka harus bayar," tegas Jenderal Andika di Jakarta, Minggu (30/8/2020).
Advertisement
Pertengahan Desember 2018 silam, insiden yang persis sama juga terjadi di Polsek Ciracas. Insiden tersebut kemudian mencuatkan isu ketegangan antara dua institusi bersenjata ini.
Andika meminta agar masyarakat tak meragukan hubungan baik antara TNI dan Polri meski sering terjadi konflik antaranggotanya.
"Kerjasama kita dengan polri, enggak perlu diragukan lagi. Sudah dari dulu dan kita sudah punya komitmen dan enggak ada hubungannya dengan insiden ini. Ini adalah oknum-oknum yang tidak punya hati sehingga mereka memilih melakukan ini," kata Andika.
Hal yang sama juga disampaikan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono. Dia menegaskan peristiwa pengerusakan Polsek Ciracas tidak akan mempengaruhi hubungan baik antara TNI dan Polri.
"Kejadian kemarin itu adalah ulah oknum, dari yang sama-sama kita saksikan kemarin apa yang terjadi. Ini adalah ulah oknum, tentunya tidak akan mempengaruhi sinergi TNI-Polri," ujar Awi di Jakarta.
Polisi, kata dia, akan membantu TNI mengusut kasus pengerusakan Polsek Ciracas. "Kita akan bantu backup apapun yang dibutuhkan," Awi menandaskan.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, penyebab konflik antar-aparat TNI dan Polri ini terjadi karena pemahaman jiwa korsa yang keliru. Harusnya, kata dia, jiwa korsa dipahami untuk menjalankan tugasnya sebagai alat pertahanan negara dan bukan dalam konteks aksi kekerasan main hakim sendiri.
"Tindakan kekerasan dengan aksi main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun dan merupakan bentuk tindakan melawan hukum yang perlu di proses secara hukum," kata Al Araf kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (31/8/2020).
Sementara minimnya pertanggungjawaban hukum atas peristiwa serupa menjadi penyebab berulangnya konflik ini. Padahal, langkah tersebut dapat dijadikan penggentarjeraan atau deterrence setiap anggota yang melanggar. Membuat gentar setiap anggota yang akan melanggar sehingga tidak terjadi pelanggaran hukum, dan jera untuk tidak melakukan pelanggaran di kemudian hari.
"Karena minimnya pertanggungjawaban hukum membuat tiadanya efek jera terhadap mereka," ujar dia.
Kemudian, sistem kendali dan kontrol pasukan yang belum maksimal juga terkadang menjadi faktor penyebab konflik yang sulit dicegah. Selain itu, faktor kesejahteraan juga disebut sebagai akar masalah konflik antar-aparat.
Untuk itu, sikap Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa yang akan memproses hukum terhadap oknum prajurit yang terlibat merupakan langkah awal yang baik. "Semua itu perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel," ujar Al Araf.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, konflik yang kerap terjadi antara TNI dan Polri adalah akibat penyelesaian yang selama ini dilakukan hanya meredam situasi, bukan menyelesaikan inti masalahnya.
"Akar masalahnya pada dasarnya tetap sama, meski aktornya berbeda. Terulang terus karena tak diselesaikan dengan tuntas," kata Bambang kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (31/8/2020).
Kemudian, kata dia, pelanggaran hukum dengan pengerusakan aset negara oleh oknum anggota militer dianggap hanya kenakalan anak-anak yang selesai dengan seremoni para pucuk pimpinan. Konflik tersebut, kata dia, tak terselesaikan dengan tuntas dan transparan.
"Efek sampingnya adalah, bagi sebagian kelompok anggota-anggota muda malah menjadi kebanggaan semu, yang malah menambah arogansi mereka pada lembaga polisi yang seharusnya dihormati," ujar dia.
Sementara di sisi polisi, kata Bambang, mereka merasa diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum. Mereka, kata dia, seringkali berhadapan dengan masyarakat yang tak tertib hukum, tak terkecuali juga dengan anggota TNI yang juga hidup menjadi bagian masyarakat.
Konflik itu, kata dia, juga kerap dipicu oleh ketidakpuasan dalam penegakan hukum yang dilakukan anggota polisi kepada salah satu anggota TNI akibatnya munculah arogansi yang memicu penyerangan.
"Arogansi masing-masing anggota inilah yang menyebabkan munculnya insiden konflik," kata dia.
Sementara penyerangan di Polsek Ciracas, Jakarta Timur yang sudah terjadi dua kali ini, kata dia, akibat banyaknya markas-markas militer di sekeliling Ciracas. "Jadi tidak mengherankan bila arogansi anggota militer semakin besar," tandas Bambang.
Konflik 20 Tahun
Sementara Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis mengatakan, konflik antara TNI-Polri mencuat sejak 20 tahun lalu, di mana saat itu terjadi pemisahan antara Polri dan ABRI.
Saat itu, kata dia, TNI keluar dari doktrin dwifungsi dalam pertahanan dan politik yang di dalamnya termasuk ekonomi dan sosial. Sehingga, kata dia, setelah reformasi, TNI mengalami syok bahwa selama 30 tahun lebih di masa orde baru TNI berkuasa mendominasi politik, ekonomi dan sosial.
"Bisa menjadi wali kota, menteri, sehingga begitu harus kembali ke barak, menjadi profesional, beberapa kewenangannya dilucutin, terutama hak politiknya juga akses ekonomi jadi tertutup dan polisi yang berkuasa di semua bidang sehingga terjadi kecemburuan di tingkat bawah," ujar Beni kepada Liputan6.com di Jakarta.
Konflik antara TNI dan Polri ini, kata dia, dapat ditimbulkan oleh banyak faktor sebagai pemicu. Seperti pengerusakan Polres Ciracas yang pemicunya adalah hoaks sehingga memprovokasi oknum anggota TNI.
"Tapi sebenarnya ini akumulasi kekecewaan sehari-hari, tekanan ekonomi segala macem, tapi yang menyebarkan ini jelas salah," kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bagaimana Solusinya?
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan agar konflik TNI dan Polri tak terus berulang, maka pemerintah harus memperbaiki masalah ini dari hulu sampai hilir yakni penguatan atas pemahaman jiwa korsa yang lebih benar. Yaitu TNI adalah alat pertahanan negara.
Kemudian, melakukan reformasi peradilan militer melalui Revisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 untuk memastikan akuntabiltas hukum secara benar dan adil. Lalu membangun barak-barak militer dan rumah dinas prajuti secara layak sehingga komandan dapat mengontrol pasukannya dan dapat melakukan pengawasan.
"Konsekuensinya di tengah anggaran pertahanan yang terbatas harusnya pemerintah fokus membangun kesejahteraan prajurit dan menunda program yang membebani anggaran pertahanan seperti program Kemhan membangun komponen cadangan (Komcad) atau bela negara pada masyarakat sipil," kata Al Araf.
Lalu, kata Al Araf, perlunya memperkuat sistem pelatihan dan pendidikan tentang penghormatan atas negara hukum dan HAM juga menjadi solusi menghentikan konflik antar prajurit TNI dan Polri.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto pun mendukung langkah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa yang menghukum berat anggotanya yang terlibat pengrusakan Polsek Ciracas. Hal ini untuk memberi efek jera bagi prajurit yang lain.
"Anggota yg terlibat penyerangan harus dihukum berat. Hal ini untuk memberikan efek jera bagi yang lainnya," ujar Bambang.
Sementara di sisi kepolisian, kata Bambang, Kapolri Jenderal Idham Azis juga harus lebih meningkatkan kualitas pelayanan maupun pengawasan untuk anggotanya agar tak memainkan pasal-pasal yang menciderai rasa keadilan masyarakat.
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis lebih menekankan pengetatan pengawasan yang dilakukan atasan pada bawahannya sebagai solusi konflik. Konflik antar-aparat yang terjadi berulangkali ini, kata Beni, akibat kurang adanya pengawasan terhadap akar rumput.
"Internal atasannya nggak bisa ngawasin artinya ada beban bersalah juga di atasan, pengawas itu kan dapat membaca pergerakan anggotaya ini penting, baik Polri dan TNI ditegaskan lagi pengawasanya," ujar dia.
Pada 27 Februari 2019 silam, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pernah merinci beberapa penyebab gesekan antara TNI dan Polri. Panglima juga sudah mencoba menyelesaikan konflik antara TNI dan Polri agar tak berkepanjangan.
Hadi mengatakan, salah satu pemicu konflik itu adalah provokasi. Provokasi ditujukan agar terjadi konflik TNI dan Polri. Karena TNI/Polri sama-sama punya kekuatan besar.
Melihat hal itu, Hadi menyatakan dirinya memprakarsai program sinergitas TNI dan Polri. Ia menyatakan program itu bertujuan untuk membangun soliditas antara TNI dan Polri hingga pada tataran paling bawah agar tak mudah terjadi benturan.
Lebih lanjut, Hadi menyatakan faktor kesenjangan kesejahteraan antara prajurit TNI dan Polri kerap menjadi pemicu bentrokan.
Melihat hal itu, Hadi menyatakan dirinya telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dari level paling bawah sampai level pejabat tinggi.
"TNI juga kerja sama dengan pemerintah laksanakan pembangunan perumahan nondinas dengan tenor yang panjang. Itu diambil dari tunjangan operasional. Tunjangan kinerja juga yang naik 70 persen," katanya.
Advertisement
Perbaiki Komunikasi TNI-Polri
Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono meminta Kepolisan dan TNI memperbaiki komunikasi, menyusul penyerangan Polsek Ciracas, Sabtu 29 Agustus 2020 dini hari.
Politikus Golkar ini menyarankan, agar kejadian di Polsek Ciracas tak terulang, kedua belah pihak melakukan latihan dan operasi bersama yang lebih intens. Dia percaya cara ini dapat membuat komunikasi di antara kedua lembaga menjadi lebih baik.
"Ini pastinya karena kurangnya komunikasi antara aparat di TNI dan Polri. Maka itu komunikasi dengan sesama bukan hanya di pihak atasan saja, bukan hanya Panglima dan Kapolri, tapi dengan seluruh elemen TNI Polri harus rutin latihan bersama, operasi bersama," kata Dave, Minggu (30/8/2020).
Dia pun mendorong kasus penyerangan Polsek Ciracas ini diusut tuntas. Bisa saja bukan karena masalah komunikasi atau salah informasi semata.
"Tapi kan enggak mungkin hanya karena miskomunikasi langsung ke penyerangan yang dahsyat, pasti sudah ada permasalahan yang panjanglah itu," tutur Dave.
Sementara, Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan menyatakan TNI perlu meningkatkan pendidikan literasi bagi prajurit agar tidak mudah termakan hoaks.
"Jika benar kasus ini gara-gara hoaks, akan ada hal-hal yang bisa merusak hubungan-hubungan antara personal atau antarlembaga hanya karena belum terkonfirmasi tentang apa yang dibicarakan dalam media sosial ini. Penting untuk pelatihan dan literasi untuk melakukan cek dan ricek terhadap substansi," kata Hinca di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (31/8/2020).
Hinca memgingatkan bahwa medsos memiliki dua sisi yakni baik dan buruk. Oleh karena itu ia meminta personel TNI harus bijak menggunakan medsos dengan baik.
"Medsos kita ini seperti pisau bermata dua. Bagi orang yang baik dia tetaplah berguna dan bermanfaat. Bagi orang beriktikad buruk dia bisa menjadi malapetaka, karena itu mau tidak mau, baik di TNI ataupun institusi Polri, harus memahami medsos baru ini yang ada di tangan kita semua dan substansinya," ujarnya.
Politikus Partai Demokrat itu menyatakan pihaknya tidak ingin kejadian kekerasan di Polsek Ciracas terulang. "Kita tidak ingin terjadi kekerasan, apalagi yang merupakan perbuatan-perbuatan yang melawan melanggar hukum yang ada, siapapun itu tidak diizinkan oleh negara kita,” ucapnya.
Ia meminta proses hukum bagi pelaku benar benar ditegakkan sesuai aturan berlaku.
“Karena itu proses hukum kita ikuti, proses penegakan hukum kita ikuti, jika ditemukan para pihak atau pelaku yang melakukan itu tentu atas nama hukum harus dijalankan proses itu sesuai ketentuan undang-undang yang ada," tandasnya.