Sukses

Kasus Covid-19 DKI Melonjak, Mengapa Tuas Rem Darurat Belum Juga Ditarik?

Kendati angka terus bertambah, Pemprov DKI tak kunjung mengambil kebijakan rem darurat. Apa sebab?

Liputan6.com, Jakarta - Penambahan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta terus terjadi di angka 800-1.000 setiap hari. Persentase positivity rate di DKI selama sepekan mencapai 14 persen.

Kendati angka terus bertambah, Pemprov DKI tak kunjung mengambil kebijakan rem darurat, sebagaimana disampaikan Gubernur DKI Anies Baswedan saat melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi PSBB transisi.

Anggota DPRD dari fraksi PKS, Abdul Aziz menilai dilakukan atau tidaknya rem darurat merupakan kewenangan Pemprov. Ia meyakini, Anies sebagai pemimpin ibu kota memiliki dasar dan pertimbangan matang mengapa saat ini tak kunjung ada rem darurat.

Ketua Komisi B DPRD itu juga meyakini Anies tidak akan mengesampingkan keselamatan warga ntuk menyelamatkan roda perekonomian Jakarta.

"Sebuah kebijakan harus diambil berdasarkan data lapangan yang valid, saya yakin Gubernur akan mengutamakan keselamatan daripada ekonomi, sampai sekarang belum diambil keputusan rem darurat berarti memang situasi dan kondisinya belum terpenuhi. Semoga pandemi ini cepat berakhir," kata Aziz, Senin (7/9/2020).

Sementara anggota DPRD dari Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak menduga, alasan Pemprov ragu kembali ke masa PSBB awal karena keuangan Jakarta. Jika ditanya kapan waktu tepat untuk rem darurat, Gilbert secara tegas menjawab sejak penambahan kasus terus menanjak.

Politikus yang pernah berkecimpung di WHO itu mengatakan, Jakarta tidak akan mampu lagi membatasi aktivitas warga sebagaimana PSBB awal. Terlebih, jika PSBB diberlakukan, Pemprov DKI berkewajiban menopang kehidupan warga.

"Gimana mau tarik rem, memangnya duitnya ada? Sekarang minta duit ke pemerintah pusat. Lagipula, emangnya masyarakat mau (kembali ke PSBB awal)? Enggak gampang loh," ujar Gilbert.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Batasi Aktivitas Warga

Berbeda dengan Gilbert, politikus PAN DKI Jakarta, Zita Anjani meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berani untuk kembali menerapkan PSBB jika kasus Covid-19 di ibu kota terus melonjak. Menurutnya, hal wajar jika Pemprov melonggarkan dan membatasi aktivitas warganya selama pandemi belum terkendali.

"Kalau jumlah penyebaran naik, kita harus berani untuk tutup lagi, namanya juga transisi," ujar Zita.

Ia mengingatkan Pemprov untuk tetap mengedepankan keselamatan warganya, pun tidak mengorbankan ekonomi lebih dalam. Untuk itu, buka tutup PSBB selama pandemi patut diterapkan oleh Pemprov DKI.

Selama itu pula, sosialisasi tentang bahaya virus Corona tetap wajib disampaikan oleh Pemprov DKI.

"Memang test rate harus tinggi. Persepsi soal bahaya Covid-19 juga harus tinggi di masyarakat," tuturnya.

Sedangkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio berujar, sedari awal, ia menentang langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan PSBB transisi. Alasan dasarnya, belum ada bukti ilmiah kasus penularan Covid-19 di ibu kota masuk kategori terkendali.

Ia mengutip usulan World Health Organization (WHO), idealnya uji tes virus Corona yaitu 10.000 per 1 juta penduduk. Sementara di Jakarta belum menerapkan langkah itu di PSBB awal.

"Ya kan saya sejak awal enggak setuju PSBB itu diubah karena kan tidak ada catatan scientific evidence karena ini kasus kesehatan yang mengatakan bahwa kita sudah turun kan belum 10.000 per satu juta waktu itu diuji, jadi itu masih akan tumbuh kenapa diubah transisi? Ya terserah, katanya urusannya ekonomi, kalau begini kan dua-duanya hancur," ujar Agus.

Kritik pedas Agus tidak hanya soal jumlah tes kepada penduduk Jakarta, melainkan aturan Pemerintah Provinsi dan pemerintah pusat yang acap kali tumpang tindih. Belum lagi, implementasi sanksi yang tidak tegas.

Agus menuturkan, karakteristik masyarakat Indonesia cuek, sanksi bagi pelanggar PSBB pun dinilai tidak akan menimbulkan efek jera.

"Kita sangat lamban dan cuek, ingat ya masyarakat Indonesia itu tidak bisa tidak ditindak. Aturannya sudah dibikin, aturannya ambigu, saling tumpang tindih, terlalu banyak kecuali, ya enggak akan beres," kata dia.

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

Â