Sukses

HEADLINE: Klaster Baru Covid-19 di Pilkada 2020, Solusi Pencegahannya?

Meski dibatasi dalam hal kewenangan, KPU, Bawaslu dan Kemendagri terus mencari solusi untuk menekan calon kepala daerah mematuhi protokol kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta - Ulah sejumlah calon kepala daerah yang akan berlaga di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 memang mengundang keprihatinan. Bukannya ikut mengampanyekan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19, mereka malah menggelar acara deklarasi dan konser yang mengundang kerumunan massa.

Tak heran kalau penyelenggara Pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersuara keras. Bahkan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyoroti khusus kelakuan para calon kepala daerah ini.

"Saya mengikuti situasi di lapangan, masih banyak pelanggaran protokol yang dilakukan oleh bakal pasangan calon," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (8/9/2020).

"Misalnya masih ada deklarasi, bapaslon pilkada yang menggelar konser yang dihadiri ribuan dan mengundang kerumunan, menghadirkan massa. Hal seperti ini saya kira harus jadi perhatian kita," sambungnya.

"Sekali lagi, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaran pilkada harus dilakukan, ditegakkan, tidak ada tawar menawar," tegas Jokowi.

Pernyataan Jokowi itu ditanggapi Ketua KPU RI Arief Budiman. Dengan adanya pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan para calon kepala daerah dalam jumlah yang tak sedikit, mau tak mau KPU sebagai penyelenggara Pilkada 2020 harus memastikan tahapan pilkada selanjutnya bisa meminimalisir pelanggaran itu.

Dia mengatakan, KPU telah membuat aturan baru terkait kampanye Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19. KPU akan membatasi jumlah massa yang hadir secara fisik saat kampanye calon kepala daerah.

"Jadi terutama yang kita atur baru adalah jumlah kampanye yang dihadiri secara fisik oleh peserta. Jadi kalau rapat umum kita batasi paling banyak 100 orang," ujar Arief Budiman usai rapat bersama Presiden Jokowi secara daring, Selasa (8/9/2020).

Selain itu, KPU juga membatasi durasi rapat umum. Untuk di tingkat kabupaten/kota, paling banyak dilakukan satu kali pertemuan. Sementara itu, tingkat provinsi hanya boleh digelar dua kali pertemuan.

"Selebihnya kehadiran peserta kampanye dapat dilakukan secara daring. Tapi fisik dibatasi 100 orang," kata Arief.

Sementara untuk kampanye yang bersifat pertemuan terbatas, peserta yang hadir secara fisik maksimal 50 orang. Arief mengatakan pihaknya juga membatasi massa yang hadir langsung saat debat calon kepala daerah.

"Begitu juga untuk kegiatan debat publik atau terbuka. Jumlah yang hadir dalam satu ruangan debat publik itu 50 orang," ucapnya.

Dia menjelaskan, 50 orang tersebut merupakan total dari dua tim pasangan calon. Sehingga, apabila terdapat dua pasangan calon, maka masing-masing hanya dapat membawa massa 25 orang dalam acara debat.

"Kalau ada dua pasangan calon maka data maksimal 50 itu harus dibagi menjadi dua kontestan. Kalau ada tiga, kemudian yang 50 orang tadi dibagi menjadi tiga pasangan calon," jelas Arief.

Sementara itu, Bawaslu juga tak tinggal diam. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengakui bahwa pelanggaran protokol kesehatan yang banyak dilanggar calon kepala daerah seolah menguji ketegasan penyelenggara pilkada termasuk Bawaslu.

"Karena itu, dari sisi kami, Bawaslu akan kirimkan adanya pelanggaran administrasi kepada paslon dan kita juga akan mengirimkan rekomendasi dugaan pelanggaran ke kepolisian," kata Fritz Edward Siregar kepada Liputan6.com, Selasa (8/9/2020).

Dia megakui, Bawaslu tak bisa bertindak lebih tegas atau langsung menghukum karena apa yang dilakukan para paslon peserta pilkada itu sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Pemilu.

Dengan tidak mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19, mereka telah melanggar UU tentang Wabah Penyakit Menular atau UU tentang Karantina Kesehatan.

Demikian pula dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan serta Peraturan Pemerintah tentang Penerapan PSBB dan KUHP terkait kepatuhan terhadap instruksi Presiden.

"Jadi, aturan-aturan itu bisa dipakai, tapi kewenangan bukan di Bawaslu. Penegakan itu ada di kepolisian dan Bawaslu akan mengirimkan rekomendasinya kepada polisi. Selanjutnya bola ada di kepolisian terkait apa yang terjadi di pendaftaran kemarin," jelas Fritz Edward.

 

Infografis Awas Klaster Baru di Pilkada 2020. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tidak hanya itu, Bawaslu juga akan mengawasi dengan ketat tahapan demi tahapan pilkada berikutnya. Yang paling dekat adalah saat tahapan penetapan calon kepala daerah oleh masing-masing KPUD yang dinilai juga berpotensi mengumpulkan banyak orang.

"Kita minta KPU untuk membuat pakta integritas paslon agar mematuhi protokol kesehatan. Itu salah satu dasar yang bisa KPU lakukan. Sementara dari Bawaslu sendiri, misal ada sengketa, sengketa pencalonan, kami akan membuat peraturan di mana kalau paslon itu datang mendaftar dengan arak-arakan tidak akan kami terima. Ini untuk memastikan agar mereka mematuhi protokol kesehatan," tegas Fritz Edward.

Soal keterbatasan itu juga disampaikan Kemendagri. Hingga kini pihaknya hanya bisa menegur atau memperingatkan calon kepala daerah petahana. Terbukti, hingga kini sejumlah kepala daerah yang ikut dalam kontestasi Pilkada 2020 sudah diberi teguran keras karena melanggar protokol kesehatan yang umumnya karena mengumpulkan massa yang mengundang kerumunan.

"Teguran pertama yang kita sampaikan memang terkait pengumpulan massa. Itu perilaku kurang baik dari paslon yang juga bisa berakibat kurang baik bagi orang lain," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik Piliang kepada Liputan6.com, Selasa (8/9/2020).

Sementara terkait dengan opsi penundaan pelantikan bagi kepala daerah pelanggar protokol kesehatan yang memenangkan kontestasi, pihak Kemendagri pun sudah menyiapkan dasar hukumnya.

"Itu sudah ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tercantum jelas sanksi untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melanggar peraturan perundangan.

Bahkan, jika memang ini pilihan politik yang harus dilaksanakan, bisa kita siapkan Permendagri terkait hal ini. Tapi kita tetap mengedepankan pendekatan persuasif," ujar Akmal Malik.

Lantas, bagaimana teknisnya penundaan pelantikan itu jika diterapkan nanti?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Menang Belum Tentu Dilantik

Pemerintah mempertimbangkan opsi menunda pelantikan pemenang Pilkada 9 Desember 2020 mendatang bagi paslon yang terbukti melanggar protokol kesehatan aman Covid-19, yang telah digariskan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Opsi menunda pelantikan ini mengemuka dan mendapat sambutan positif dalam rapat koordinasi dalam rangka optimalisasi dukungan pelaksanaan Pilkada dan penanganan Covid-19 antara Kemendagri dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Senin (7/9/2020) kemarin.

Rapat tersebut dihadiri Komisioner KPU Hasyim Asyari, Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar, Inspektur Jenderal Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik Piliang, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakrulloh, Staf Ahli Mendagri Yusharto Huntoyuno dan pejabat kemendagri lainnya.

"Pemerintah mengangkat opsi ini untuk memastikan keseriusan para paslon termasuk stakeholder lainnya seperti parpol pengusung dalam turut mencegah dan membantu penyelesaian penanganan wabah Covid-19," ujar Staf Khusus Menteri Dalam Negeri bidang Politik dan Media, Kastorius Sinaga dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Selasa (8/9/2020).

Selain itu, lanjut dia, kepatuhan para paslon, timses dan massa pendukungnya terhadap protokol kesehatan aman Covid-19 mutlak diperlukan sebagaimana tercantum dalam PKPU dan juga aturan lainnya, sehingga memang tidak ada pilihan kecuali menjalankannya.

Menurut dia, pihak Kemendagri menekankan bahwa upaya pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 merupakan prioritas pemerintah, tak bisa diabaikan dalam Pilkada dan harus dijalankan dengan serius.

"Peluang emas melawan Covid-19 ada di semua tahapan Pilkada, jangan sebaliknya, karena abai terhadap protokol, lalu Pilkada menjadi klaster baru penularan. Keadaan seperti ini tidak kita inginkan," ujar Kastorius Sinaga.

Berlandas pada data kejadian pendaftaran kemarin, dari sekitar 650 bapaslon yang mendaftar, terdapat sekitar 260 bapaslon yang melanggar.

"Artinya, ketaatan dan kepatuhan menjalankan protokol Covid-19 PKPU dapat dipenuhi para calon, karena dari hasil monitoring jumlah yang menaati protokol lebih banyak dibanding yang melanggar," beber Kastorius Sinaga.

Selain itu, Kemendagri serta stakeholder lainnya akan mendayagunakan semua instrumen penegakan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap protokol Covid-19.Termasuk pula dengan rencana menerapkan opsi lainnya, yaitu penjukan pejabat sementara atau Pjs.

"Selain opsi menunda pelantikan paslon yang melanggar protokol kesehatan kampanye, opsi lain yang mengemuka adalah menunjuk pejabat dari pusat sebagai pejabat sementara (Pjs) kepala daerah jika daerah tersebut terbukti melanggar protokol kesehatan secara signifikan di masa Pilkada, atau kurang optimal dalam mendukung pelaksanaan Pilkada serta penegakan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19.," ujar Kastorius Sinaga.

Penundaan pelantikan diusulkan berlangsung dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, Sanksi ini dikenakan kepada paslon yang terbukti berkali-kali melakukan pelanggaran protokol kesehatan kampanye Pilkada.

Selanjutnya, kepada paslon terpilih yang ditunda pelantikannya, akan diberikan pembinaan atau pendidikan penyelenggaraan pemerintahan oleh Kemendagri melalui BPSDM Kemendagri," ujar Kastorius Sinaga menandaskan.

Perkembangan paling mutakhir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membenarkan bahwa pihaknya akan mengambil opsi menunda pelantikan bagi bakal pasangan calon (bapaslon) yang terpilih pada Pilkada 2020 dan melanggar aturan protokol Covid-19 selama 3 kali. Hal tersebut kata Tito sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

"Presiden dapat memerintahkan Mendagri untuk menunda pelantikan selama 6 bulan dan mereka disekolahkan dulu, kami siapkan jaringan IPDN untuk jadi pemimpin yang baik," kata Tito dalam telekonference usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo terkait persiapan Pilkada, Selasa (8/9/2020).

Selain opsi tersebut, Tito mengatakan menunjuk pejabat dari pusat sebagai pejabat sementara (Pjs) kepala daerah. Hal ini dilakukan apabila kepala daerah tersebut terbukti melanggar protokol kesehatan secara signifikan di masa Pilkada.

"Dasar yang kita gunakan adalah temuan Bawaslu dan sumber lain yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, di mana sanksi kepala daerah, 6 bulan dapat disekolahkan, kami pertimbangkan itu, agar rekan-rekan kontestan petimbangkan agar menaati protokol Covid-19 terutama yang diatur PKPU," ungkap Tito.

Nah, masih berani melanggar protokol kesehatan wahai para calon pemimpin?

3 dari 3 halaman

Ancaman Klaster Baru

Pandemi Covid-19 memang tak mengenal usia, profesi dan jabatan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan, dari data yang diterima terdapat 37 orang bakal calon peserta Pilkada 2020 yang dinyatakan positif Covid-19 setelah dilakukan swab test sebagai salah satu syarat pendaftaran.

"Data sementara yang berhasil dihimpun hingga pukul 24.00 dari KPU provinsi, KPU kabupaten kota, yang dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan pemeriksaan swab test-nya, sebanyak 37 calon, bukan pasangan calon (bapaslon) ya, artinya 37 orang," sebut Ketua KPU Arief Budiman saat jumpa pers, Senin (7/9/2020) dinihari.

Arief menjelaskan, data tersebut didapat dari 21 provinsi yang telah masuk ke KPU RI sampai dengan Minggu (6/9/2020) pukul 24.00 WIB dan bisa berubah menyusul update data dari KPU tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Jadi 37 orang yang kita kumpulkan dari 21 provinsi karena sampai dengan pukul 24.00 masih ada laporannya yang masih dikerjakan. Jadi 37 dari 21 provinsi itu laporannya yang telah di terima," ujarnya.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan selama tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2020 menemukan sebanyak 243 bakal pasangan calon (Bapaslon) melanggar protokol kesehatan saat menjalankan pendaftaran.

"Hari pertama kami mendapatkan data ada 141 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan, dan pada hari kedua ada 102, totalnya ada 243 dari data hari pertama dan kedua," kata anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam konferensi pers, Senin (7/9/2020).

Selanjutnya, Fritz juga menyampaikan di hari kedua terdapat 20 Bapaslon yang melakukan pendaftaran tanpa turut menyerahkan hasil tes swab sebagaimana persyaratan yang telah diatur dalam syarat pencalonan Pilkada 2020.

"Dan juga sampai hari kedua kami dapatkan dari pengawasan ada 20 bakal pasangan calon yang tetap datang ke KPU tanpa menyerahkan hasil swab dari rumah sakit," ujarnya.

Dengan hampir setengah dari total pendaftar Bapaslon melakukan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, ia menyampaikan bahwa hal itu menjadi pekerjaan rumah terbesar yang harus diselesaikan oleh semua pihak.

"Ini adalah tugas kami, Bawaslu. Kami juga minta ketegasan dari kepolisian, ketegasan dari TNI-Polri dan juga Satpol PP dan Mendagri serta para petugas Satgas Covid-19 untuk bisa tetap melaksanakan pemilihan di dalam Pilkada 2020," tegasnya.

Selain itu, Bawaslu juga menemukan sebanyak 75 orang bakal calon yang belum menyerahkan hasil uji usap (swab test) Covid-19 saat pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

"Terdapat 75 orang bakal calon di 31 daerah yang belum menyerahkan hasil uji usap (swab/PCR) saat pendaftaran," kata anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin, saat konferensi pers secara virtual, Senin (7/9/2020).

Temuan tersebut didapatkan Bawaslu dari pengawasan melekat terhadap tahapan pendaftaran pilkada yang berlangsung pada Jumat-Minggu, 4-6 September 2020.

Menurut Afif, penyebab utama bakal calon belum menyerahkan hasil tes adalah tidak ada laboratorium tempat pemeriksaan tes usap di daerah tersebut, atau bakal calon sudah melakukan pemeriksaan namun hasilnya belum keluar.

Di antara daerah yang tidak terdapat layanan uji usap atau belum menerbitkan hasil uji saat pendaftaran adalah Buru Selatan, Seram Bagian Timur (Maluku), Muna (Sulawesi Tenggara), dan Kabupaten Gorontalo (Gorontalo).

Kemudian, Keerom, Asmat, Mamberamo Raya (Papua), Manokwari Selatan (Papua Barat), Banggai Laut (Sulawesi Tengah), Ngada, dan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur).

Selain itu, Afif juga menyampaikan temuan sebanyak 26 bakal calon yang dokumen persyaratan calonnya belum lengkap.

Pemerintah penyelenggara pilkada bukannya tinggal diam. Sejumlah upaya sudah dilakukan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, memberikan teguran keras kepada 37 kepala daerah yang mengikuti kembali kontestasi Pilkada 2020 dikarenakan melanggar protokol kesehatan.

Direktorat Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik merilis 37 nama mereka yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftarkan diri ke KPU setempat.

"Mendagri tegur keras sebanyak 36 bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota dan 1 gubernur terkait ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan," kata Akmal lewat pesan singkat, Senin (7/9/2020).

Namun, teguran pun ternyata belum mampu membuat para calon kepala daerah petahana maupun yang baru mengikuti kontestasi ini untuk mematuhi protokol kesehatan. Pemerintah dan penyelenggara Pilkada 2020 memang harus lebih tegas agar ajang ini tak menjadi klaster baru Covid-19.