Sukses

Cegah Penyebaran, Limbah Covid-19 di Klaster Pondok Pesantren Ditangani Secara Khusus

Pemkab Banyuwangi menerapkan suatu protokol penanganan limbah secara khusus selama masa karantina di klaster salah satu pondok pesantren di Banyuwangi.

 

Liputan6.com, Banyuwangi Pemkab Banyuwangi menerapkan suatu protokol penanganan limbah secara khusus selama masa karantina di klaster salah satu pondok pesantren di Banyuwangi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi, Husnul Khotimah, mengatakan penanganan sampah dan limbah yang dihasilkan selama masa karantina ditangani secara khusus untuk menghindari penyebaran virus.

“DLH mendapatkan tugas untuk menangani sampah dan limbah infeksius yang dihasilkan selama karantina, baik dari para santri di dalam ponpes, aktivitas tenaga kesehatan, hingga para relawan di dapur umum,” ujar Husnul.

Husnul mengatakan limbah yang ditangani terdiri dari limbah padat dan cair. Limbah padat terbagi lagi menjadi limbah padat rumah tangga dan limbah padat berbahaya atau yang biasa disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).

“Untuk limbah padat rumah tangga adalah sampah yang dihasilkan oleh dapur umum seperti sisa bahan bahan masak, kertas, kantong plastik, dan sebagainya. Sampah ini diambil setiap hari oleh petugas dan dibawa ke TPA. Jumlahnya satu hari biasanya mencapai satu kontainer atau 8 meter kubik,” ujar Husnul.

 

2 dari 3 halaman

Limbah Box Makanan Dibakar

Selanjutnya untuk limbah padat B3, merupakan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas tenaga medis contohnya masker, APD, sarung tangan dan sebagainya. Selain itu limbah yang dihasilkan oleh aktivitas santri juga termasuk dikategorikan dalam limbah B3.

“Contohnya boks makanan konsumsi para santri dan sisa makanan yang ada di dalamnya. Kami kategorikan sebagai limbah infeksius,” terang Husnul.

Sampai saat ini sebanyak 6000 santri menjalani masa karantina di dalam pondok, mereka mendapatkan jatah makan dari dapur umum nasi kotak tiga kali sehari. Semua sampah kotak makan dan sisa makanan tersebut termasuk dikelola sebagai limbah B3.

Boks makanan itu keluarnya terlebih dahulu harus didesinfeksi. Setelah itu, boks makanan itu dimasukkan ke plastik sampah kuning. Kemudian diikat dan kembali disemprotkan desinfeksi sebelum dibawa pengangkut sampah.

"Jadi diamankan sebelum nanti langsung dimasukkan ke insinerator (mesin pembakar sampah)," ujar Husnul.

Pembakaran limbah boks makanan pasien korona itu untuk mencegah penyebaran virus.

"Karena kalau bungkus boks nanti dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA), kemudian dibongkar pemulung itu malah berbahaya, sehingga diamankannya di insinerator," ungkap Husnul.

 

3 dari 3 halaman

Gandeng Pihak Ketiga

Untuk semua limbah B3 tersebut, lanjut Husnul, pihak DLH menggandeng pihak ketiga yang memiliki sertifikasi untuk pengelolaan limbah B3 dari Kementrian Kesehatan.

“Kami menggandeng pihak ketiga karena Banyuwangi belum memiliki alat insenerator 800 derajat untuk mengelola limbah B3. Limbah B3 sendiri wajib diolah dengan alat tersebut untuk menghindari adanya penyebaran penyakit maupun unsur berbahaya dari limbah tersebut,” terangnya.

Selain limbah padat, DLH juga mengelola limbah cair yakni limbah yang dihasilkan oleh toilet umum portable yang disediakan bagi relawan di dapur umum maupun bagi  petugas kesehatan. “Limbah ini juga diambil setiap hari oleh petugas kami,” tambah Husnul.

Menurut dia, berakhirnya virus korona tidak hanya dengan dibuktikan dengan negatifnya seluruh masyarakat Indonesia. Hal yang paling penting adalah penanganan limbah covid-19 tersebut.

"Misal sudah tidak ada yang positif, tapi limbah tidak cepat ditangani virus itu aktif dan bisa menularkan ke orang," pungkas Husnul. 

 

(*)

Video Terkini