Sukses

AJI Jakarta Desak Polri Usut Tuntas Kasus Doxing terhadap Jurnalis Liputan6.com

AJI Jakarta mencatat, kasus doxing terhadap jurnalis yang terjadi sejak 2018 belum pernah diusut tuntas polisi.

Liputan6.com, Jakarta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak aparat kepolisian segera mengusut kasus doxing terhadap wartawan dan menyeret pelakunya ke pengadilan.

"Sudah banyak doxing terhadap jurnalis, namun hingga saat ini belum ada satupun yang diusut tuntas oleh pihak kepolisian," kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/9/2020).

Asnil menyampaikan hal itu usai jurnalis Liputan6com, Cakrayuri Nuralam menjadi korban doxing secara masif sejak tanggal 11 September 2020. 

Para pelaku doxing mempublikasikan data pribadi korban seperti foto, alamat rumah, nomor telepon, hingga identitas keluarga. Para pelaku juga membuat narasi yang mengajak orang untuk melakukan tindak kekerasan terhadap korban.

"Akun media sosial korban diserang oleh berbagai macam komentar yang mengintimidasi. Tidak hanya itu, korban juga merasa rumahnya mulai dipantau oleh beberapa orang yang tidak dikenal," ujar Asnil.

AJI Jakarta menilai, doxing terhadap Cakrayuri merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap jurnalis. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers di era digital.

Karena itu, AJI Jakarta mengutuk segala bentuk teror terhadap jurnalis dan media massa yang menjalankan kerja-kerja jurnalistik.

"Doxing merupakan upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kasus Doxing Jurnalis Sejak 2018

Menurut catatan AJI Jakarta, sudah banyak jurnalis mengalami doxing. Misalya Pada tahun 2018 kasus doxing dialami oleh tiga jurnalis yang bekerja di media Detik.com, Kumparan.com, dan CNNIndonesia.com.

Tahun 2019, kasus doxing juga menimpa jurnalis di Tabloid Jubi dan Aljazeera, terkait pemberitaan tentang Papua. Tahun ini, kasus serupa pernah menimpa dua jurnalis Tempo dan satu jurnalis Detik.com.

AJI menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk ikut menjaga kemerdekaan pers. Jika ada sengketa pemberitaan, silakan dilaporkan ke Dewan Pers.

"Segala bentuk protes terhadap artikel yang dimuat harus ditempuh melalui mekanisme yang telah diatur oleh Undang-undang, yakni melalui hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers," ucap dia.

Di samping itu, AJI Jakarta juga meminta Dewan Pers untuk terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis, khususnya terkait tindakan doxing.

Sementara itu dalam kasus yang menimpa Cakrayuri Nuralam, AJI Jakarta meminta pemimpin redaksi Liputan6.com harus menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya yang terancam karena pemberitaan.

3 dari 3 halaman

Kronologi Kasus Doxing Jurnalis Liputan6.com

Cakrayuri Nuralam, seorang Jurnalis Liputan6.com, mengalami doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi di jagad maya, karena menulis artikel Cek Fakta terkait Politikus PDIP Arteria Dahlan.

Bermula saat Cakra, sapaan Cakrayuri Nuralam, mengunggah artikel Cek Fakta berjudul "Cek Fakta: Tidak Benar Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Cucu Pendiri PKI di Sumbar", pada 10 September 2020. Artikel tersebut memuat hasil konfirmasi terkait klaim yang menyebut Politikus PDIP tersebut merupakan cucu dari pendiri PKI Sumatera Barat, Bachtaroedin.

Sehari kemudian, serangan doxing mulai terjadi pada Jumat 11 September 2020, dengan skala masif. Sekitar pukul 18.20 WIB, akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto korban tanpa izin dengan keterangan foto sebagai berikut:

"mentioned you in a comment: PEMANASAN DULU BRO‼️ No Baper ye jurnalis media rezim. Hello cak @cakrayurinuralam. Mau tenar kah, ogut bantu biar tenar 🤭. #d34th_5kull #thewarriorssquad #MediaPendukungPKI," tulis akun tersebut dalam unggahanya.

Tidak hanya itu, akun Instagram cyb3rw0lff__, cyb3rw0lff99.tm, _j4ck__5on__, dan __bit___chyd_____, menyusul dengan narasi serupa sekitar pukul 21.03 WIB, akun @d34th.5kull mengunggah video dengan narasi:

"mentioned you in a comment: Demi melindungi kawannya yang terjebak dalam pengeditan data di Wikipedia,oknum jurnalis rela melakukan pembodohan publik Dan diikuti oleh team kecoa nya di masing-masing media rezim, sementara kita buka dulu 1 monyetnya...sisanya next One ShootOne Kill 🏴☠️☠️🏴☠️," tulis akun-akun tersebut yang juga membeberkan sejumlah alamat surel Cakra dan juga akun-akun sosial media yang dimilikinya dan nomor telepon seluler.

Unggahan serupa juga dibuat oleh akun __bit___chyd____. Mereka membuat video dan mengambil data korban di media sosial. Selanjutnya pada pukul 22.10 WIB, akun Instagram i.b.a.n.e.m.a.r.k.o.b.a.n.e juga mengunggah video serupa.

Setidaknya terdapat empat akun yang teridentifikasi melakukan doxing terhadap Cakra terkait unggahan artikel tersebut sebelumnya. Mereka adalah: 1. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff99.tm/2. https://www.instagram.com/d34th.5kull/3. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff__/4. https://www.instagram.com/_j4ck__5on___

Berdasarkan penelusuran, dari satu akun tersebut beberapa akun lainnya ikut me-repost unggahan ke jejaring media sosialnya hanya dalam hitungan jam.

Dikutip dalam siaran pers Dewan Pers, 31 Agustus 2020, kasus doxing juga dialami beberapa media dan awak media nasional beberapa pekan lalu. Situs Tempo.co mengalami peretasan pada 22 Agustus 2020 yang menyebabkan tampilan laman berita menjadi hitam dan sejumlah pesan yang menyudutkan redaksi.

Tirto.id mengalami hal serupa, dimana artikel yang menuliskan kontroversi temuan vaksin Covid-19 yang menyinggung keterlibatan dua lembaga negara mendadak hilang. Begitu pula dengan Kompas.com dan Detik.com.

Dewan Pers mengartikan doxing sebagai tindakan penyebaran informasi pribadi wartawan kepada publik tanpa seizin yang bersangkutan. Dewan Pers mengimbau bila ada sengketa informasi dalam setiap pemberitaan, hendaknya diselesaikan dengan mekanisme yang diatur di dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999. Dan semua pihak menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada teror dan pembungkaman.