Jakarta - Istilah doxing belum lama ini kembali mencuat setelah jurnalis Liputan6.com, Cakrayuri Nuralam, menjadi korban aksi tercela tersebut. Jurnalis memang menjadi profesi yang rentan terkena doxing.
Doxing sendiri berarti mempublikasikan informasi seseorang tanpa persetujuan pemiliknya. Doxing merupakan pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, kemudian menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
Dalam beberapa studi, doxing sekarang lebih luas dikenal sebagai bentuk aksi perundungan di dunia digital, yang dapat menimpa siapa saja pengguna internet. Istilah itu sudah muncul sejak tahun 90-an, saat para peretas komputer gemar mengumpulkan informasi pribadi dari seseorang yang menjadi target peretasannya.
Advertisement
Informasi yang dikumpulkan peretas, terdiri dari beberapa berbagai hal seperti nama, alamat, nomor telepon, anggota keluarga, nomor induk penduduk, atau data-data yang bersifat sangat pribadi. Setelah itu, informasi yang dikumpulkan dirilis ke ruang publik dengan tujuan menyerang atau mengintimidasi individu yang datanya disebarkan.
Seperti dilansir Wired, doxing adalah cara balas dendam di dalam dunia internet, yang dimulai pada era 90-an. Ketika itu, apabila seseorang kesal terhadap individu, dia akan mempublikasikan data orang yang dibencinya itu lewat layanan percakapan online atau dulu yang dikenal dengan IRC.
Kasus doxing yang terkenal di dunia adalah ketika kelompok peretas Anonymous pada November 2015, di mana mereka mempublikasikan seribu akun Twitter orang-orang yang diduga menjadi anggota kelompok Ku Klux Klan, sebuah perkumpulan rasis yang berkembang sejak lama di Amerika Serikat. Aksi Anonymous adalah bagian dari taktik mereka dalam menyerang kelompok tersebut.
Jasmine McNealy, Asisten Profesor Telekomunikasi University of Florida, dalam esai berjudul "What is doxxing, and why is it so scary?", yang terbit di The Conversation, menyebut doxing pada akhirnya membuat data menjadi senjata.
Menurut pengamat media sosial, Abang Edwin Syarif Agustin, doxing sebenarnya sudah sering terjadi di Indonesia. Tapi, banyak yang tidak sadar telah melakukannya.
"Doxing itu kan kegiatan di mana mencari tahu data-data pribadi, kemudian diangkat ke permukaan. Tanpa disadari di Indonesia banyak yang melakukan itu. Misalnya ada dua orang yang sirik-sirikan. Dia cari tahu datanya, kemudian diangkat dan diubah datanya, supaya dijelek-jelekin. Hal-hal seperti itu sudah sering, untuk membully biasanya," kata Edwin kepada Liputan6.com.
Saksikan Video Doxing Berikut Ini
Jurnalis Rentan Jadi Korban Doxing
Dalam dunia jurnalis, Adrian Chen, pernah mempublikasikan identitas asli moderator forum Reddit di situs Gawker pada 2012. Kemudian ada Leah McGrath Goodman, jurnalis Newsweek yang mengungkap identitas asli Satoshi Nakamoto, sang pembuat Bitcoin. Goodman menulis tentang Satoshi Nakamoto dalam laporan di Newsweek.
Baik Adrian Chen maupun McGrath Goodman, keduanya merupakan contoh jurnalis yang melakukan praktek doxing. Namun, profesi jurnalis juga tidak jarang menjadi korban dari aksi doxing. Biasanya doxing kepada jurnalis karena berita dan artikelnya tidak sesuai dengan aspirasi politik individu atau kelompok tertentu.
Di Indonesia, sejumlah jurnalis menjadi korban doxing dalam beberapa bulan terakhir. Sebelum kasus yang menyerang jurnalis Liputan6.com, pewarta Detik.com dan Tempo juga sempat mengalami doxing tahun ini.
Pewarta Detik.com terkena doxing pada Mei lalu setelah berita tentang rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bakal membuka mal di Bekasi saat masa pandemi. Berita itu ditulis berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Tapi, pernyataan Kasubbag tersebut diluruskan Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyatakan Jokowi cuma meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan New Normal dan Detikcom juga sudah mempublikasikan klarifikasi itu.
Lalu pada Juli lalu, Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, dua jurnalis dan pemeriksa fakta Tempo.co, juga mengalami doxing. Kasus doxing ini berawal saat Tempo menerbitkan hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan M. Indro Cahyono yang dinilai menyesatkan soal Covid-19, yang viral di media sosial.
Teranyar, kasus doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.com Cakrayuri Nuralam, setelah menulis artikel Cek Fakta terkait Politikus PDIP Arteria Dahlan. Artikel Cek Fakta berjudul "Cek Fakta: Tidak Benar Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Cucu Pendiri PKI di Sumbar", pada 10 September 2020 memuat hasil konfirmasi soal klaim yang menyebut Arteria Dahlan adalah cucu dari pendiri PKI Sumatera Barat, Bachtaroedin.
Jurnalis Tempo, Ika Ningtyas, yang pernah menjadi korban doxing, mengatakan, siapa pun berpotensi sama untuk mendapatkan serangan digital. Tapi, dia berpendapat, jurnalis, aktivis, dan pemeriksa fakta adalah pihak-pihak yang selama ini rentan mendapat serangan digital, termasuk doxing.
"Perlu meningkatkan kepedulian, terutama perusahaan media, organisasi profesi jurnalis, itu harus punya SOP bersama untuk mengadopsi kekerasan digital sebagai bentuk yang bisa mengancam jurnalis suatu saat," kata Ika kepada Liputan6.com.
"Perlindungan untuk jurnalis, bentuknya, menyediakan lawyer, menyediakan safehouse, memberikan pendampingan konsultasi secara psikologis, karena doxing atau serangan digital bentuk lain bisa meninggalkan trauma atau ketakutan. Perlu juga memfasilitasi dengan lembaga-lembaga yang mengerti tentang isu keamanan digital."
Bukan tahun ini saja kasus kekerasan terhadap jurnalis lewat doxing terjadi. Sebelumnya, terdapat empat kasus jurnalis yang mengalami doxing terkait pemberitaan, tiga di antaranya terjadi pada 2018, dan satu lainnya terjadi pada 2019.
Sementara itu, jurnalis Liputan6.com, Cakrayuri, mengakui serangan digital yang diditerimanya membuat kecemasan terhadap keselamatan keluarganya meningkat. Sebab, para pelaku doxing mencoba mengintimidasi dengan menyebut wilayah Cakra tinggal.
Cakra dituduh membantu Rahmat Denas mengubah isi Wikipedia soal fakta kakek dari politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan. Cakra dianggap melegalkan isi narasi Wikipedia itu.
Padahal, Cakra sama sekali tidak mengenal Rahmat Denas. "Saya tidak pernah mengenal Rahmat Denas, yang diklaim pelaku doxing telah mengubah konten terkait Arteria Dahlan di Wikipedia. Saya tidak punya teman, kerabat atau keluarga yang namanya Rahmat Denas," ujar Cakra.
Pelaku doxing juga mengontak Cakrayuri melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp untuk mencoba meneror. Beberapa informasi soal Cakrayuri juga disebar oleh para pelaku doxing di media sosial. Belum lagi berbagai tuduhan dan hinaan yang diterima Cakra dari mereka.
"Mereka berusaha meneror dengan mengontak saya. Mereka juga mencoba mempermalukan saya lewat doxing. Kemarin sempat ada yang bilang foto anak saya dipajang mereka juga, tapi sepertinya sudah dihapus," kata Cakra.
"Trauma pasti ada, apalagi istri saya. Karena mereka yang melakukan doxing identitasnya anonim. Saya berharap kepolisian mengusut tuntas, karena tujuannya jelas, menyerang, meneror, dan melemahkan jurnalis."
Sebelum sederet kasus doxing yang terjadi tahun ini, tiga kasus doxing terjadi pada 2018. Di antaranya, jurnalis Detik.com mengalami intimidasi karena berita mengenai pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan ketika meliput peristiwa yang disebut "Aksi Bela Tauhid".
Kemudian pewarta Kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Lalu, doxing juga terjadi pada jurnalis CNNIndonesia.com terkait berita berjudul "Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat".
Satu kasus juga terjadi pada September 2019, yang dialami Febriana Firdaus, jurnalis yang melaporkan untuk Aljazeera. Febriana di-doxing dan diteror karena pemberitaan terkait kerusuhan di Papua. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu kasus pun yang diusut tuntas aparat penegak hukum sampai para pelaku diadili sesuai aturan.
Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers. Dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengklasifikasikan doxing sebagai jenis kekerasan baru kepada pewarta. Berdasarkan catatan datawrapper, selama 2020 sudah terjadi 17 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Padahal setiap kerja jurnalis dilindungi Undang-Undang Pers Pasal 18 Ayat (1) yakni, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Selain itu, kegiatan penyebarluasan data pribadi juga merupakan pelanggaran atas hak privasi seseorang. Doxing juga melanggar jaminan perlindungan hak pribadi dan kebebasan hak berpendapat warga negara yang tertera pada Pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Namun, catatan untuk para jurnalis bahwa meneruskan penyebaran identitas oleh media juga tidak dibenarkan dalam ketentuan kode etik jurnalistik pasal 2 tentang profesionalitas menjalankan tugas jurnalistik. UU 24/2013 telah mengatur, data individu dalam dokumen kependudukan harus dilindungi kerahasiaannya.
Advertisement
Aturan yang Mengancam Pelaku Doxing
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai doxing menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di dunia maya merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM digital.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyebut doxing sudah tergolong tindak kejahatan digital dan bentuk ancaman terhadap HAM. Dalam konteks kasus yang menimpa jurnalis, termasuk Cakrayuri, tentu saja pelaku mempunyai motif dalam melakukan aksi doxing tersebut.
"Saya ingin menggaungkan bahwa ini kejahatan digital, bentuknya bisa macam-macam termasuk doxing," jelas Choirul Anam saat menerima laporan pengaduan bersama awak Redaksi Liputan6.com, Selasa (15/9/2020).
"Doxing itu bisa macam-macam mau bentuknya sopan, mau enggak sopan, mau ancaman mau enggak dan sebagainya. Ini juga ancaman dalam konteks Hak Asasi Manusia, memang dia punya hak apa menyebarkan informasi kita?" tegasnya.
Praktik doxing berdampak pada terganggunya ketentraman hidup korban, karena terjadinya pelacakan dan pembongkaran identitas. Selain itu, banyak yang berujung persekusi daring dengan konsekuensi mengancam jiwa.
Doxing juga bisa mempermalukan korban. Abang Edwin Syarif Agustin mengatakan, dampak dari doxing sangat merugikan korban. Ia juga menyarankan korban doxing untuk berani menggertak pelaku.
"Kehidupan pribadi yang bukan konsumsi umum, diambil dan disebarkan kemana-mana. Itu kan sangat merugikan. Banyak yang tidak suka seperti itu. Masalahnya literasi digital di Indonesia belum banyak. Jadi kita belajar dari kasus-kasus yang terjadi."
"Misalnya ada yang mengumbar data kita. Saya akan tunjukkan ke orang tersebut bahwa ini ada undang-undangnya ke si pelaku. Biasanya kemudian baru dihapus."
Dia menjelaskan, UU ITE sebenarnya bisa digunakan dalam kasus doxing. Walaupun UU itu belum sempurna, namun sudah cukup untuk menjerat para pelaku.
"Cuma masalahnya UU ITE tidak populer, jadi orang sudah langsung skeptis. Secara sosialisasi UU itu masih kurang, banyak yang tidak paham apa sih isinya. 'Kalau saya melakukan ini, dihukum tidak'. Masalah seperti itu banyak yang tidak mengerti," ungkap Edwin.
Penggunaan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dapat dipertimbangkan para korban doxing untuk menjerat para pelaku. "Anggap saja itu sebagai bentuk intimidasi atau ancaman. Kita merasa tidak nyaman, merasa terancam, kita memakai pasal itu," ucap Digital Activist, Enda Nasution, kepada Liputan6.com.
Momentum Kesadaran tentang Keamanan Digital
Praktik doxing menyeret fakta tentang potensi kebocoran data di dunia digital. Serangan digital di Indonesia meningkat trennya, terutama sejak 2019. Hal itu harus menjadi sinyal bersama melakukan perlawanan sekaligus peringatan bagi masyarakat untuk lebih sadar dengan isu keamanan digital
Serangan digital biasanya memanfaatkan celah-celah keamanan di media sosial atau device pribadi. Ini bisa menjadi momentum paling baik untuk mengamankan data pribadi agar tidak mudah bocor ke ruang publik.
Digital Activist, Enda Nasution, menekankan, pentingnya bagi pihak atau lembaga pengumpul data untuk melakukan upaya keras melindungi data-data pribadi yang mereka miliki agar tidak bocor, termasuk melalui praktek doxing.
"Kalau data pribadi sampai bocor, seharusnya pihak pengumpul data bisa terkena sanksi, karena tidak mampu melindungi data-data yang seharusnya tidak muncul di ruang publik," papar Enda.
Enda juga menyarankan kepada individu dengan profesi yang rentan terkena serangan digital seperti jurnalis untuk lebih berhati-hati terhadap data pribadi, karena risiko doxing pasti selalu ada.
"Kita bisa punya dua pilihan, siap atau tidak siap dengan kemungkinan terkena doxing. Sehingga kita harus melindungi data pribadi kita, termasuk di media sosial. Kesadaran tentang data pribadi masih rendah di Indonesia dan kadang-kadang itu tidak dimengerti secara umum, padahal itu jadi masalah," terangnya.
Untuk menghindari doxing, secara sadar, masyarakat harus melindungi data-data dengan dibuat sangat pribadi. Menurut Enda, platform-platform media sosial sudah memberikan fitur privacy, hanya saja masih banyak yang kurang peduli dengan privacy.
"Contohnya, ada orang baru dapat KTP atau paspor, terus publish ke media sosial. Termasuk juga posting kartu keluarga atau boarding pass di media sosial. Kita sendiri tidak hati-hati terhadap data pribadi kita. Keberadaan data kita di ruang publik itu bisa berisiko keamanan."
Senada dengan Enda Nasution, Edwin menilai, salah satu cara efektif untuk menangkal doxing adalah dengan mengunci akun media sosial. Hanya masalahnya, interaksi seseorang jadi terbatas.
"Kalau kita masuk ke media sosial dan dikunci, artinya nilai sosialnya enggak ada. Itu membuat circle kita lebih kecil. Tapi, itu cara yang paling bagus menghindari doxing. Cuma karakter Indonesia justru mengumpulkan followers. Beda dengan orang Eropa atau Amerika yang karakternya di social network hanya diisi dengan orang yang mereka kenal," ucap dia.
Advertisement