Sukses

HEADLINE: Wacana Penundaan Pilkada 2020 Menguat, Apa Jalan Tengah Kemendagri dan KPU?

Pemerintah meyakini pilkada bisa dilakukan di tengah pandemi dengan diikuti menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Liputan6.com, Jakarta - Desakan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda makin mendapat angin. Sejumlah tokoh nasional, organisasi kemasyarakatan serta LSM terus menyuarakan tentang berbahayanya menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19.

Mulai dari munculnya klaster baru Covid-19 hingga bayangan makin tak terkendalinya penyebaran virus Corona. Alasannya sederhana, sulit untuk mencegah kerumunan massa saat tahapan pilkada digelar. Bahkan, hal itu sudah dibuktikan jauh sebelum hari pencoblosan.

Pada tahapan awal pilkada, seperti masa pendaftaran bakal calon yang digelar pada 4-6 September 2020 lalu, puluhan bakal calon kepala daerah diketahui positif Covid-19. Puluhan petugas penyelenggara pemilu di daerah juga tercatat terpapar penyakit ini.

Terakhir, setidaknya tiga orang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga dipastikan positif Covid-19. Tak heran, keraguan untuk tetap menggelar pilkada di tengah pandemi mulai mengemuka di publik.

Namun, pemerintah bergeming. Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan bahwa Pilkada Serentak 2020 akan tetap digelar sesuai jadwal. Menjawab kekhawatiran publik, dia menekankan pilkada akan digelar dengan protokol kesehatan Covid-19 disertai penegakan hukum dan sanksi tegas untuk mencegah munculnya klaster penularan baru.

"Penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Fadjroel melalui keterangan tertulis, Senin (21/9/2020).

Dia mengatakan, penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Pasalnya, tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan usai.

"Karenanya, penyelenggaraan pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis," ucapnya.

Fadjroel menyebut sejumlah negara seperti Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan juga menggelar pemilu di masa pandemi corona. Dia pun meyakini pilkada bisa dilakukan di tengah pandemi dengan diikuti menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

"Pilkada di masa pandemi bukan mustahil. Semua kementerian dan lembaga terkait, juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hukum," tuturnya.

Sikap Istana itu sesuai dengan tekad Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menegaskan Pilkada Serentak 2020 akan tetap digelar sesuai jadwal. Dia mengatakan, keputusan pemerintah sudah bulat, meski banyak pihak mendesak agar pemerintah menunda pelaksanaan pilkada di tengah situasi pandemi Covid-19.

Eks Kapolri itu mengatakan saat ini pemerintah telah menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan pilkada di tengah situasi pandemi.

Perppu akan mengatur secara keseluruhan teknis pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19, mulai dari pencegahan, penanganan, dan penegakan hukum mengenai protokol kesehatan.

 

 

Opsi lain yang bisa diambil yakni merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait pelaksanaan Pilkada dalam situasi wabah Covid-19. Tito menilai perlu ada aturan tegas untuk mencegah terjadinya kerumunan massa selama tahapan lanjutan pilkada di masa pandemi Covid-19.

"Kami sarankan ada revisi PKPU, untuk menghindari terjadinya potensi kerumunan sosial yang tidak bisa menjaga jarak," kata Tito saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi II DPR, Senin (21/9/2020).

Dia menekankan pentingnya menjaga jarak dan mencegah kerumunan dalam penanganan Covid-19. Namun, PKPU saat ini memperbolehkan adanya rapat umum dan konser musik, meski dengan jumlah massa maksimal 100 orang.

Tito menyebut kedua hal tersebut berpotensi menimbulkan kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19. Dia menyarankan agar nantinya kegiatan kampanye lebih banyak dilakukan secara virtual dan melalui media massa.

"Kami mendorong semua kegiatan sebaiknya secara daring, secara virtual. Menggunakan sarana yang ada, baik aplikasi, kemudian saluran media massa, baik sosial media dan konvensional, termasuk juga jaringan TVRI dan RRI yang sampai ke daerah. Itu dapat dimanfaatkan," jelasnya.

"Daerah dengan kesulitan sarana teknologi, dapat dilakukan rapat terbatas yang bisa menjaga jarak dan pengawasannya akan mengikutsertakan stakeholder, penegak hukum," sambung Tito.

Selain itu, Tito juga meminta KPU mewajibkan penggunaan masker dan barang yang dapat mencegah penyebaran Covid-19 sebagai alat peraga kampanye. Menurut dia, alat peraga kampanye itu dapat memuat nomor urut dan nama pasangan calon.

"Alat peraga masih cara lama, baliho dan sebagainya. Wajibkan alat peraga, misalnya masker, hand sanitizer yang ada nomor urut atau nama paslon," kata Tito.

Dan akhirnya, Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyepakati bahwa Pilkada Serentak 2020 tidak akan diundur lagi. Pilkada 2020 tetap digelar sesuai jadwal, yakni 9 Desember.

"Mencermati seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali, maka Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI dan Ketua DKPP RI menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020," kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia saat membacakan kesimpulan rapat, Senin (21/9/2020) malam.

 

Saksika video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Bukan Gagal Berdemokrasi

Tak sulit untuk mencari alasan kuat bagi penundaan Pilkada Serentak 2020. Kondisi pandemi Covid-19 yang belum tertangani, jumlah korban yang belum bisa dikendalikan, lemahnya kedisiplinan warga dalam menaati protokol kesehatan, dan regulasi yang tak mendukung hajat ini digelar dalam kondisi darurat.

Setidaknya itulah yang dipaparkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Tak ada keraguan baginya kalau Pilkada 2020 layak ditunda, meski penundaan tak harus menunggu sampai pandemi berlalu.

"Kondisi pandemi belum membaik, bahkan angkanya semakin tinggi. Sementara kita tidak punya aturan khusus terkait teknis penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi. UU Pilkada yang ada saat ini masih mengatur pilkada dalam situasi normal," ujar Khoirunnisa kepada Liputan6.com, Senin (21/9/2020).

Dia mengatakan, dengan adanya penundaan penyelenggara pilkada punya waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan pilkada di situasi pandemi ini. Misalnya digunakan untuk mempersiapkan regulasi terkait teknis penyelenggaraan pilkada, khususnya di level undang-undang.

"Menunda pilkada sebetulnya bukan menunda sampai pandemi Covid-19 ini selesai. Karena kita memang tidak tahu kapan pandemi ini berakhir. Tetapi, setidaknya kita punya waktu yang lebih panjang mempersiapkan teknis penyelenggaraan pilkada," papar Khoirunnisa.

Dia mengatakan, perlu ada penyesuaian dari sisi regulasi dalam hal ini undang-undang. Dalam situasi yang luar biasa seperti saat ini, tidak cukup kalau pelaksanaan pilkada disandarkan ke PKPU saja. Sementara, ruang gerak KPU membuat PKPU sangat terbatas karena UU Pilkada masih mengatur pilkada dalam situasi normal.

"Misal, kita tidak punya special voting arrangement, orang kalau mau memberikan hak suaranya ya harus datang ke TPS, tidak bisa bisa lewat pos atau pemilihan pendahuluan, itu tidak diatur," ujar Khoirunnisa.

"Karena tidak ada perubahan sama sekali terkait teknis penyelenggaraan, ya KPU memang tidak bisa menghilangkan kampanye rapat umum karena di Undang-Undang Pilkada itu ada," lanjut dia.

Selain alasan teknis tersebut, dia juga meminta pemerintah mempertimbangkan keselamatan nyawa masyarakat. Karena itu, menunda pelaksanaan pilkada bisa dilakukan sampai adanya indikator yang terukur dan akurat, di mana penularan Covid-19 dapat dan sudah dikendalikan.

"Penundaan pelaksanaan pilkada di sebagian daerah, atau bahkan di seluruh daerah pemilihan, sangat dimungkinkan secara hukum. Oleh sebab itu, yang dinanti saat ini adalah pilihan kebijakan mana yang akan diambil oleh KPU, pemerintah, dan DPR," tutur Khoirunnisa.

Dia pun memberikan dua pilihan, pertama melanjutkan Pilkada 2020 dengan risiko besar penyebaran Covid-19, atau menunda sampai adanya pengendalian Covid-19 sampai ada data yang terukur.

"Menunda tahapan pilkada bukan berarti kita gagal berdemokrasi, melainkan menunjukkan sikap cepat tanggap membaca situasi dan mengedepankan kesehatan publik," jelas Khoirunnisa.

Soal dampak yang akan dialami oleh daerah yang akan menggelar pilkada, dia menilai hal itu tak akan menimbulkan masalah. Dari argumentasi yang dibangun, dia menilai pemerintah sepertinya ada kekhawatiran kalau pilkada ditunda maka di daerah akan diisi oleh penjabat kepala daerah.

"Menurut saya hal ini tidak menjadi masalah yang besar, karena konsep pemerintahan daerah kita juga mengenal adanya konsep penjabat (Pj) ini. Pj bisa diisi oleh Sekda. Sehingga tidak perlu khawatir kesulitan mencari SDM untuk ditunjuk menjadi Sekda," tegas Khoirunnisa.

Khoirunnisa masih boleh berharap keinginannya dikabulkan. Sebab, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan, pemerintah sangat memperhatikan suara-suara yang menginginkan pilkada ditunda. Bahkan dia mengatakan, pemerintah mendengar serta mempertimbangkan usulan penundaan Pilkada Serentak 2020 yang disampaikan sejumlah pihak.

"Pasti (dipertimbangkan) mereka kan punya argumentasi yang kuat, punya dasar yang kuat kenapa perlu ditunda. Apalagi seperti ormas besar Muhammadiyah dan PBNU, pemerintah akan sangat memperhatikan," ujar Donny saat dihubungi, Senin (21/9/2020).

Dia menekankan, pemerintah selalu menampung semua masukan dari sejumlah pihak terkait pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Hanya saja, pemerintah saat ini belum memutuskan apakah Pilkada 2020 tetap digelar sesuai jadwal atau ditunda terlebih dahulu.

"Tentu saja semuanya harus didengar dan dipertimbangkan. Tapi insya Allah tidak dalam waktu lama lagi akan diputuskan, akan ditunda atau tidak dengan masing-masing konsekuensi," tuturnya.

"Saya kira pertimbangan sedang dilakukan. Semua masukan dihargai dan diapresiasi, tapi keputusan terakhir ada di pemerintah," sambung Donny.

Dia mengatakan, KPU sebelumnya memiliki tiga opsi terkait waktu pelaksanaan pilkada, yakni tahun ini, 2021, dan 2022.

Pemerintah pun sependapat dengan KPU untuk menunda pilkada yang mulanya September menjadi Desember 2020. Donny menyebut tak menutup kemungkinan pilkada akan kembali ditunda apabila kasus Covid-19 terus bertambah dan mengkhawatirkan.

"Ya tentu saja opsi berikutnya bisa diambil, bisa tahun depan, bisa tahun depan lagi. Jadi, jangan dibilang pemerintah ingin tahun ini, karena 3 opsi itu sudah disampaikan oleh KPU," ucapnya.

Menurut dia, saat ini pemerintah tengah menggodok regulasi terkait kepastian penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. Donny menuturkan pemerintah akan segera memutuskan kelanjutan Pilkada 2020

"Tentu saja kalau ada penyesuaian atau perubahan tentu ada regulasi. Tapi kan harus diputuskan dulu, tahun ini atau tahun depan atau tahun depan lagi. Ini kan kita tunggu dulu keputusannya," Donny memungkasi.

3 dari 3 halaman

Akrabnya Pilkada dan Corona

Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember 2020 agaknya tak bisa lepas dari Covid-19. Semakin dekat dengan hari pencoblosan, virus asal Tiongkok itu juga terus mendekat. Alih-alih untuk menjauh, Covid-19 nyatanya makin 'akrab' dengan penyelenggara serta peserta pilkada.

Pada awal September lalu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan mengumumkan, terdapat 96 pengawas pemilu ad hoc di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang dinyatakan positif Covid-19.

Dari 96 pengawas yang dinyatakan positif, sebanyak 20 orang merupakan pengawas tingkat kecamatan. Sedangkan 76 lainnya adalah pengawas tingkat kelurahan/desa.

Puluhan pengawas pemilu ini dinyatakan positif Covid-19 setelah melaksanakan pengawasan terhadap proses pencocokan dan penelitian (coklit) atau pemutakhiran data pemilih Pilkada 2020.

Kegiatan tersebut mengharuskan pengawas pemilu bersama panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP) mendatangi rumah pemilih secara door to door untuk melakukan pendataan. Sangat dimungkinkan banyak pengawas pemilu di daerah lain juga mengalami hal yang sama.

Yang jelas, saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar tahapan pendaftaran bakal calon, 4-6 September 2020, terdapat 46 bakal pasangan calon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19.

"Dari 703 paslon yang sudah kita terima pendaftarannya, ada bakal calon yang positif (Covid-19). Jumlahnya saat ini ada 46 orang," ujar Ketua KPU Arief Budiman, Selasa (8/9/2020).

Sementara, Direktorat Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik merilis 37 nama bakal calon kepala daerah petahana yang melanggar protokol kesehatan saat mendaftarkan diri ke KPU setempat.

"Mendagri tegur keras sebanyak 36 bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota dan 1 gubernur terkait ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan," kata Akmal lewat pesan singkat, Senin (7/9/2020).

Bawaslu RI juga menemukan, selama tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah, secara keseluruhan ada sebanyak 243 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan saat menjalankan pendaftaran.

"Hari pertama kami mendapatkan data ada 141 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan, dan pada hari kedua ada 102, totalnya ada 243 dari data hari pertama dan kedua," kata anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam konferensi pers, Senin (7/9/2020).

Berselang sepekan sejak pendaftaran bakal calon, Kamis (10/9/2020), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik dinyatakan positif Covid-19. Kabar ini disampaikan oleh Ketua KPU Arief Budiman.

Sepekan kemudian, giliran Ketua KPU RI Arief Budiman yang dinyatakan positif Covid-19. Hal itu diketahui usai Arief menjalani tes PCR atau swab test pada Kamis (17/9/2020). Swab test ini dilakukan Arief untuk memenuhi syarat menghadiri rapat di Istana Kepresidenan Bogor.

Paling baru, Komisioner KPU RI lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi dinyatakan positif Covid-19. Hal itu disampaikan Pramono pada Sabtu (19/9/2020).

Melihat kondisi ini, mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meminta pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2020. Seruan itu dia sampaikan karena makin bertambahnya jumlah peserta serta penyelenggara pilkada yang terpapar Covid-19.

Kalla mengaku khawatir pelaksanaan tahapan pilkada selanjutnya, seperti kampanye dengan jumlah orang yang dibatasi tidak boleh lebih dari 50 tersebut akan sulit untuk dilaksanakan.

"Kalau memang sulit, dan kelihatannya susah untuk mencegah pengumpulan orang hanya 50, sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, maka manfaat kepada masyarakat, bisa ditunda," kata Kalla di sela-sela acara kegiatan donor darah di Gedung BPMJ, Polda Metro Jaya, Sabtu (19/9/2020).

Desakan senada juga datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sejak awal, Perludem telah menyampaikan bahwa idealnya Pilkada tak digelar di situasi pandemi. Sebab, bagaimanapun protokol kesehatan dirancang, Pilkada tetap memaksa orang-orang untuk melakukan pertemuan. Padahal, itu berpotensi menyebarkan virus.

"Sebetulnya situasi Pilkada nggak kawin dengan situasi pandemi. Tahapan Pilkada itu kan tahapan yang orang ketemu, berkumpul, sementara pandemi kan tidak seperti itu, harus jaga jarak, harus lebih banyak di rumah," kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati, Jumat (18/9/2020).

Desakan serupa juga disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). PBNU meminta Pilkada ditunda karena pandemi Covid-19 di Indonesia telah mencapai tingkat darurat. PBNU meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020, demi mencegah penyebaran Covid-19.

"Pelaksanaan Pilkada, sungguh pun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya," demikian bunyi pernyataan yang termuat dalam pernyataan sikap PBNU yang ditandatangani Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Minggu (20/9/2020).

Terakhir, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pemerintah mempertimbangkan kembali pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Muhammadiyah meminta Pilkada ditunda sampai memungkinkan dilaksanakan pilkada karena saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19.

"Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera membahas secara khusus dengan kementerian dalam negeri, DPR, dan instansi terkait agar pelaksanaan Pemilukada 2020 dapat ditinjau kembali jadwal pelaksanaannya maupun aturan kampanye yang melibatkan kerumunan massa," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti dalam keterangan tertulis, Senin (21/9/2020).

Namun, pemerintah sudah bersikap. Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan Pilkada Serentak 2020 akan tetap digelar sesuai jadwal yakni, 9 Desember. Artinya, proses pencarian calon pemimpin di daerah akan berlanjut di tengah upaya memerangi penyebaran Covid-19.

Â