Liputan6.com, Jakarta Kasus terpidana pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang juga menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari terus bergulir di persidangan.
Bahkan hari ini, Rabu (23/9/2020), merupakan sidang perdana bagi jaksa Pinangki atas dugaan suap dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)Â penanganan fatwa MA Djoko Tjandra.
Dugaan suap tersebut pertama kali muncul saat dirinya bertemu dengan Djoko Tjandra, bersama kuasa hukumnya Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya di kantornya di kawasan The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia.
Advertisement
Saat itu Djoko Tjandra meminta terdakwa membantunya mengurus fatwa ke Mahkamah Agung RI lewat Kejaksaan Agung agar bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Seperti diketahui, Djoko Tjandra merupakan buronan 11 tahun atas tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui hak tagih piutang (cassie) yang dinilai telah merugikan negara Rp 940 miliar.
Gayung pun bersambut. Jaksa pinangki dan Anita Kolopaking bersedia membantu terpidana kasus Bank Bali tersebut, tapi dengan syarat imbalan uang sebesar sebesar 1 juta USD.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'ACTION PLAN' yang dibuat oleh terdakwa PSM dan diserahkan oleh Andi Irfan Jaya kepada Djoko Soegiarto Tjandra," ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono, Kamis, 17 September 2020.
Kepada jaksa Pinangki, Djoko Tjandra lalu memberikan sebesar 500 ribu USD sebagai Down Payment (DP). Atas penerimaan suap tersebut, jaksa Pinangki didakwa telah melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat.
Berikut sejumlah hal terbaru yang terungkap dalam sidang perdana jaksa Pinangkit terkait penanganan fatwa Djoko Tjandra:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sisa Uang Pembayaran Ditukarkan ke Valas
Adalah Andi Irfan Jaya, adik ipar Djoko Tjandra yang langusung menyerahkan uang tersebut ke jaksa Pinangki yang sebagian diberikan ke Anita Kolopaking sebesar 50 ribu USD sebagai pembayaran awal jasa penasehat hukum.
"Sedangkan sisanya sebesar 450 ribu USD masih dalam penguasaan terdakwa Pinangki Sirna Malasari. Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam 'ACTION PLAN' tidak ada satu pun yang terlaksana," kata Hari.
Merasa dikecewakan, lantas pada bulan Desember 2019, Djoko Tjandra lalu membatalkan action plan dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari proposal action plan itu lewat tulisan tangan 'NO'.
Hari menyebut, sisa uang sebesar 450 ribu USD yang berada dalam penguasaan jaksa Pinangki ditukarkan ke valas melalui sopirnya atas nama Sugiarto dan Beni Sastrawan.
Advertisement
Uang Hasil Penukaran Beli Mobil dan Sewa Apartemen
Uang hasil penukaran kemudian digunakan untuk dibelikan mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika, sewa Apartemen atau Hotel di New York Amerika, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi.
"Serta pembayaran sewa Apartemen Essence Darmawangsa dan Apartemen Pakubowono Signature yang menggunakan cash atau tunai USD," Hari menandaskan.
Cara Jaksa Pinangki Yakinkan Djoko Tjandra
Sejak awal, terpidana kasus Bank Bali ini tidak percaya akan rencana bantuan upaya hukum pengurusan fatwa MA yang ditawarkan jaksa Pinangki.
Menurut penjelasan jaksa, terdakwa mengatakan akan mengurus upaya hukum Djoko Tjandra tetapi memintanya untuk menjalani pidana terlebih dahulu. Baru kemudian terdakwa akan mengurus upaya hukum tersebut.
Jaksa Pinangki kemudian meyakinkan Djoko Tjandra yang sejak awal tidak percaya rencana tersebut bisa berhasil. Hingga akhirnya, Djoko Tjandra menyetujui usulan jaksa Pinangki.
Namun, dia tidak mau bertransaksi langsung dengan Pinangki karena statusnya yang seorang jaksa.
Pinangki kemudian menawarkan adanya pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya sebagai perantara uang. Selanjutnya, jaksa Pinangki mengajak Rahmat dan Anita Kolopaking menemui Djoko Tjandra pada 19 November 2019.
Anita diperkenalkan sebagai pengacara dan menawarkan dokumen berisi surat kuasa dan surat penawaran jasa bantuan hukum.
"Terdakwa juga menyarankan kepada Djoko Soegiarto Tjandra agar Djoko Soegiarto Tjandra harus kembali dulu ke Indonesia dan ditahan oleh kejaksaan, lalu terdakwa akan mengurus masalah hukumnya," ujar jaksa.
Advertisement
Ada Nama Hatta Ali dan Jaksa Agung ST Burhanuddin
Dalam proposal 'action plan' pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra, jaksa Pinangki mencantumkan nama mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan, awalnya pada 25 November 2019, jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya menemui Djoko Tjandra di The Exchange 106 Kuala Lumpur.
Dalam pertemuan itu, jaksa Pinangki dan Andi Irfan Jaya menyerahkan proposal 'action plan' dan menjelaskan rencana pemulangan Djoko Tjandra lewat fatwa MA. Adapun rencananya adalah sebagai berikut:
1. Penandatangan Akta Kuasa Jual sebagai jaminan bila "security deposit" yang dijanjikan Joko Tjandra tidak terealissi dan akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
2. Pengiriman Surat dari pengacara kepada pejabat Kejaksaan Agung Burhanuddin (BR) yaitu surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung untuk diteruskan kepada MA yang akan dilaksankan pada 24-25 Februari 2020.
3. Pejabat Kejagung Burhanuddin (BR) mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA). Pelaksanan dilakukan pada 26 Februari-1 Maret 2020 dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki.
4. Pembayaran 25 persen fee sebesar USD 250 ribu dari total fee USD 1 juta yang telah dibayar uang mukanya sebesar USD 500 ribu dengan penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Total ada 10 poin dari isi proposal action yang diserahkan jaksa Pinangki untuk terdakwa Djoko Tjandra.Â
Dakwaan Berlapis
Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), jaksa Pinangki Sirna Malasari dijerat dengan dakwaan berlapis. Dia didakwa menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat.
"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Pada kurun waktu 2019-2020, jaksa Pinangki berupaya menyembunyikan asal harta kekayaannya lewat penukaran uang sebesar USD 337.600 di money changer atau senilai Rp 4,7 miliar. Dia juga meminta suaminya menukarkan mata uang USD 10 ribu atau senilai Rp 147,1 juta melalui anak buahnya.
Nilai total keseluruhan penukaran mata uang yang dilakukan terdakwa pada periode 27 November 2019 hingga 7 Juli 2020 sebesar USD 337.600, menjadi mata uang rupiah sebesar Rp 4.753.829.000.
Penggunaannya adalah untuk pembelian 1 unit mobil BMW X5 senilai Rp 1,7 miliar, pembayaran sewa Apartemen Trump International di Amerika Serikat pada 3 Desember sebesar Rp 412,7 juta, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat yang bernama dokter Adam R Kohler sebesar Rp 419,4 juta.
Kemudian pembayaran dokter home care atas nama dr Olivia Santoso untuk perawatan kesehatan dan kecantikan serta rapid test sebesar Rp 176,8 juta; pembayaran kartu kredit di berbagai bank, Rp 467 juta, Rp 185 juta, Rp 483,5 juta, Rp 950 juta; pembayaran sewa apartemen The Pakubuwono Signature dari Februari 2020-Februari 2021 sebesar USD 68.900 atau setara Rp 940,2 juta; dan pembayaran Sewa Apartemen Darmawangsa Essence senilai USD 38.400 atau setara Rp 525,2 juta.
"Maka jumlah keseluruhan uang yang digunakan oleh terdakwa adalah sebesar USD 444.900 atau setara Rp 6.219.380.900 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi," sebut jaksa.
Dari situ, JPU mendakwa jaksa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 11 UU Tipikor, juga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang.
Jaksa Pinangki juga didakwa terkait permufakatan jahat pada Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Tipikor.
Â
Advertisement
Keberatan Atas Dakwaan Jaksa
Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, jaksa Pinangki Sirna Malasari mengajukan nota keberatan atau eksepsi.
"Mohon izin yang mulia. Kami menggunakan hak untuk ajukan keberatan," tutur kuasa hukum Pinangki, Aldres Napitupulu di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Majelis hakim pun menerima dokumen nota keberatan tersebut. Persidangan kemudian ditunda hingga 30 September 2020.
"Maka sidang perkara ini akan ditunda untuk berikan kesempatan untuk eksepsi, untuk itu sidang ditunda sampai dengan Rabu 30 September 2020 dan sementara terdakwa berada di tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Eko.