Liputan6.com, Jakarta - Pemred Suara Papua, Arnoldus Belau bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengajukan uji materi terhadap Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke Mahkamah Konstitusi RI.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan selaku salah satu pemohon menyampaikan, Undang-Undang ITE memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran tanpa memberikan alasan yang jelas. Adapun kewenangan pemblokiran internet oleh pemerintah itu diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.
Baca Juga
Abdul Manan mengutip bunyi pasal. "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum," ujar dia saat konferensi pers secara virtual, Kamis (24/9/2020).
Advertisement
Menurut Abdul Manan, kewenangan pemerintah dalam hal pemblokiran internet rentan untuk disalahgunakan. Misalnya, membungkam orang-orang yang kritis atau yang tidak sejalan dengan pemerintah.
"UU ITE memberikan peluang untuk melindungi kepentingan pemerintah sangat besar," ujar dia.
AJI bersama Pemred Suara Papua memutuskan membawa persoalan ke Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu 23 September 2020. Uji materi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengoreksi kewenangan dari Undang Undang ITE kepada pemerintah soal pemblokiran.
Manan menyampaikan AJI sebetulnya tidak mempermasalahkan pemerintah melakukan pemblokiran terhadap suatu situs asalkan berdasarkan putusan pengadilan.
"Silakan lakukan pemblokiran. Tapi harus ada dasar yang jelas. Misalnya berdasar putusan pengadilan. Jadi kami bisa memahami bahwa keputusan pemblokiran itu memang benar untuk kepentingan umum dan bukan atas dasar kepentingan politik," jelas dia.
Para penasihat hukum yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers turut mendampingi kedua pemohon mengajukan uji materi. Salah satu perwakilan Rizky Yudha menyampaikan perlunya mekanisme yang tepat dalam mengawasi pemerintah ketika menjalankan perintah pada Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
"Selama ini yang terjadi diputus dahulu aksesnya, kalau yang keberatan silakan gugat. Pertanyaan apakah pemutusan atau pemblokiran sudah sudah sesuai dengan konsititusi," ujar dia.
Karena itu, Rizky menilai kewenangan pemerintah perlu ditinjau kembali. Dia menyarankan agar kewenangan pemutusan akses internet harus berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Biar hakim yang menafsirkan perlu tidaknya dilakukan pemblokiran," ucap dia.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Lampaui Kewenangan Pemerintah
Direktur LBH Pers yang juga pengacara dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers, Ade Wahyudin, menilai kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu melampaui kewenangannya dan tidak sejalan dengan Konstitusi.
"Kewenangan pemblokiran itu seperti mengambil alih kewenangan Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan dokumen elektronik yang melanggar hukum," kata Ade.
Dalam uji materi ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers meminta kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE "bertentangan secara bersyarat" dan "tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat". Pemohon meminta bahwa kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu tetap harus melalui proses hukum, tidak hanya berdasarkan keputusan sepihak pemerintah seperti yang terjadi selama ini.
Advertisement