Jakarta - Pemerintah, DPR, dan KPU sepakat tetap menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020, meskipun keputusan itu memicu gelombang penolakan di masyarakat.
Hal itu tidak lain karena situasi pandemi Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan di Tanah Air. Pelaksanaan Pilkada dianggap sangat berpotensi meningkatkan penularan Covid-19 di dalam dan antarwilayah.
Baca Juga
Semula, hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 dijadwalkan berlangsung pada 23 September 2020. Tapi, karena pandemi Covid-19, hari pencoblosan diundur menjadi 9 Desember 2020. Pilkada Serentak 2020 bakal digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Advertisement
Pelaksanaan Pilkada di Indonesia memang tidak lepas dari kegiatan berkerumun dan pengerahan massa, terutama ketika kampanye. Kampanye Pilkada 2020 akan berlangsung 71 hari. Padahal, itu berbahaya dalam situasi pandemi Covid-19 sekarang. Anehnya, kegiatan kampanye pengumpulan banyak orang tidak dilarang oleh KPU.
Pasal 63 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 10/2020 mengizinkan pengumpulan 100 orang dalam konser musik kampanye saat Pilkada. Aturan itu juga mengizinkan kampanye dengan potensi berkerumun seperti perlombaan, olahraga bersama, atau kegiatan sosial semacam bazaar dan donor darah.
Aturan tersebut sama sekali bertentangan dengan kondisi banyak wilayah yang bakal menggelar Pilkada Serentak 2020. Dari 270 Pilkada serentak yang dilaksanakan 9 Desember 2020, terdapat 44 wilayah masuk dalam kategori zona merah Covid-19.
Bukan hanya itu, lebih dari 60 calon kepala daerah juga terpapar Covid-19. Ironisnya, Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Pramono Ubaid akhir pekan lalu dinyatakan terinfeksi Covid-19. Ketua KPU Sulawesi Selatan, Faisal Amir, yang mendampingi Arief Budiman selama kunjungan kerja di Makassar, turut tertular virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China itu. Potensi timbulnya klaster baru di dalam setiap tahapan Pilkada sangat besar.
Desakan dan tuntutan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda muncul dari berbagai kalangan, termasuk para epidemiolog Indonesia. Dua ormas Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kompak meminta penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Demikian pula mantan wakil presiden RI, Jusuf Kalla, yang menyarankan kepada pemerintah agar Pilkada diundur.
Sederet fakta dan desakan itu ternyata belum cukup untuk membuat KPU berubah pikiran soal pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Pihak KPU sendiri mengaku tidak dapat mengambil keputusan sepihak terkait kelanjutan pelaksanaan Pilkada.
"Keputusan untuk melanjutkan atau menunda Pilkada, itu dilakukan berdasarkan keputusan bersama antara KPU, pemerintah, dan DPR. Pada prinsipnya, oleh karena keputusan itu masih berlaku, dan juga itu menjadi kesimpulan RDP (Rapat Dengar Pendapat) kemarin di Komisi II DPR, maka KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, termasuk Pilkada 2020, tentu berkewajiban untuk melaksanakannya," jelas Komisioner KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat dihubungi Liputan6.com.
Raka Sandi menyatakan, KPU telah melakukan upaya antisipasi dari awal tahapan Pilkada pada Juni lalu melalui sejumlah peraturan. KPU mengklaim sudah melakukan sosialisasi terkait protokol kesehatan selama Pilkada dengan standar-standar yang ditetapkan otoritas kesehatan.
"Jadi KPU berkoordinasi dengan Kemenkes, dengan Gugus Tugas, dengan Pemerintah, dengan Bawaslu, dan semua stakeholder terkait untuk melakukan itu (penerapan protokol kesehatan)," ujarnya.
"Perkembangan terakhir, kami sedang menyempurnakan PKPU (Peraturan KPU) untuk kemudian menegaskan kembali pentingnya penerapan protokol kesehatan, selebihnya memang sangat tergantung kepada bakal paslon (pasangan calon) dan parpol pengusung serta instansi lain yang sama-sama memiliki kewenangan sesuai dengan peraturan yang ada," papar pria asal Bali ini.
Sayangnya, kebijakan yang mengandalkan kesadaran para paslon dan pendukungnya untuk menaati aturan Pilkada, termasuk protokol kesehatan Covid-19, sejauh ini masih jauh dari harapan. Pada 11 September lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, menegur keras 72 paslon yang tengah menjabat kepala daerah, karena melanggar aturan pelaksanaan Pilkada 2020. Adapun 72 kepala daerah itu terdiri atas 1 gubernur, 35 bupati, 5 wali kota, 26 wakil bupati dan 5 wakil wali kota.
Berdasarkan data Kemendagri, para kepala daerah tingkat II tersebut, mayoritas melanggar atas kegiatan pengerahan massa saat pendaftaran serta kegiatan orasi kepada para pendukungnya. Hanya satu, yang melanggar kode etik yang diberikan surat teguran kepada Bupati Klaten berdasarkan pemeriksaan Bawaslu Kabupaten Klaten.
Saksikan Video Pilkada Serentak Berikut Ini
Potensi Munculnya Klaster Pilkada
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengungkapkan, perlu ada bukti terdapat klaster dari tahapan Pilkada, terutama sejak pendaftaran sampai kampanye. Setelah ada bukti klaster penularan, baru para epidemiolog bisa mengusulkan kepada KPU untuk menunda Pilkada.
"Kalau tidak ada buktinya, susah kita mengajukan untuk menunda pemilu. Alasan KPU, mereka sudah melarang semua potensi-potensi yang menyebabkan penularan. Pelanggaran protokol kesehatan memang ada, tapi mereka bisa bilang tidak ada bukti penularan dari tahapan Pilkada," ujar Tri Yunis ketika dihubungi Liputan6.com.
"Kalau ada yang bandel, bukan salah KPU, bukan salah Pilkada, tapi salah masyarakatnya. Jadi, kalau sudah terbukti, bahwa kemudian kalau pilkada itu ada klaster dari sejak pendaftaran paslon, meski sebenarnya sudah terbukti, tapi sekarang malah disangkal. KPU mengaku tidak menerima laporan adanya klaster dalam tahapan Pilkada sejak pendaftaran."
Tri Yunis mengungkapkan, pelanggaran yang dilakukan paslon pada tahapan pilkada tidak membuktikan kasus covid-19 bertambah. Untuk bisa mematahkan pendapat KPU, perlu bukti muncul klaster penularan dalam pelanggaran tahapan Pilkada.
"Padahal saya tahu persis, dari pendaftaran, banyak kasus penularannya. Misalnya, Ketua KPU Pusat Arief Budiman menularkan kepada Ketua KPU Provinsi. Ketua KPU sekarang kena Covid-19, lalu menularkan ke Ketua KPU Provinsi, itu sudah klaster. Komisioner KPU juga ada yang positif Covid-19. Itu hanya dari rapat, belum lagi dari kampanye dan pendaftaran itu."
"Masalahnya, di Amerika Serikat yang kasusnya lebih banyak saja tetap gelar pemilu, pemilihan presiden. Jadi, kita enggak bisa berdasarkan asumsi, harus ada bukti, baru Pilkada bisa diundur," tuturnya.
Menurut dia, dengan masa kampanye yang masih panjang dan tahapan Pilkada yang sudah dilalui dari mulai pendaftaran, ada waktu membuktikan terjadi klaster penularan Covid-19. Sebab dia menilai, kalau hanya terjadi pelanggaran tanpa pembuktian terjadi penularan, KPU hanya menyarankan untuk mencatat dan laporkan ke Bawaslu.
"Makanya harus diinvestigasi terbuka, media-media harus mempublikasi hasil penelusuran klaster dari tracing tahapan pendaftaran Pilkada. Kalau ternyata klasternya itu ada hubungan antara klaster pendaftaran dengan kasusnya, ya kita usulkan (ditunda)."
"Kalau ada klaster, itu bukan menuduh, tapi sudah bukti bahwa dari tahapan pendaftaran saja sudah menularkan Covid-19. Jadi mau apalagi? Kalau kita hanya bilang ada pelanggaran protokol kesehatan, itu tuduhan, tapi sudah ada klaster, itu bukti," tutur Tri Yunis.
Advertisement
Sesuai Jadwal
Juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman, mengatakan, penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal yakni pada 9 Desember 2020. Fadjroel menekankan, Pilkada dilakukan dengan protokol kesehatan ketat.
"Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih. Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru Pilkada," ucap Fadjroel dalam keterangan tertulis, Senin (21/9/2020).
Fadjroel menambahkan, Presiden Jokowi menegaskan penyelenggaraan Pilkada tidak dapat menunggu pandemi berakhir, karena tidak ada satu pun lembaga atau negara yang tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Dia mengambil contoh di mana beberapa negara seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan, yang tetap menggelar Pemilu di masa pandemi.
Menurut dia, pelaksanaan Pilkada Serentak bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional serta menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Senada dengan Fadjroel, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi sudah mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebelum akhirnya memutuskan tidak menunda Pilkada Serentak 2020.
Tak Bisa Andalkan Plt?
Mahfud mengatakan, pemerintah juga tidak ingin pimpinan 270 daerah dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) dalam waktu bersamaan. Dia juga mengambil contoh Amerika Serikat dengan tingkat kasus Covid-19 yang jauh lebih tinggi dibanding Indonesia, tetap menggelar pemilu.
"Karena Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis, sedangkan dalam situasi sekarang di tengah pandemi Covid-19, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana itu memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis," ucap Mahfud.
Padahal, menurut Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, sudah ada Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang mengatur tentang pelaksana tugas (Plt) kepala daerah berwenang menandatangani penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Permendagri yang dimaksud Achsanul Qosasi yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 23 tahun 2016 dan Permendagri Nomor 31 tahun 2016.
Legitimasi mengenai kewenangan tersebut tertuang dalam sejumlah peraturan, yakni Pasal 6 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 284 dan 65 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Walaupun sudah ada Permendagri, Plt juga perlu didukung Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), agar tidak muncul permasalahan di kemudian hari. Karena situasi darurat seperti ini, BPK tentu tidak mempermasalahkan selama semuanya sesuai," ujar Achsanul Qosasi ketika dihubungi Liputan6.com.
Direktur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, percaya apabila pemerintah memutuskan menunda Pilkada, masyarakat bakal mengapresiasi langkah tersebut, karena dianggap tanggap melindungi rakyatnya dalam situasi pandemi Covid-19.
Khoirunnisa mengungkapkan, usulan penundaan pelaksanaan pilkada juga agar penyelenggara pemilu memiliki waktu lebih panjang dalam mempersiapkan pelaksanaan pesta demokrasi itu di tengah pandemi seperti sekarang. KPU mengusulkan pemakaian sistem elektronik dalam rekapitulasi suara. Namun, pelaksanaan e-rekapitulasi di lapangan masih jauh dari sempurna setelah terjadi sejumlah kesalahan dalam simulasi.
Kendalanya bukan cuma soal teknologi, tapi kesiapan petugas di lapangan dalam penerapan e-rekapitulasi. KPU perlu waktu lebih melatih para petugas di lapangan. Selain itu, perlu ada jaminan bahwa teknologi e-rekapitulasi di Pilkada 2020 tidak rawan diretas.
"Bukan dengan keyakinan Covid-19 sudah selesai, kita juga tidak tahu COVID-19 kapan selesai, vaksin juga belum ketemu. Cuma setidaknya kalau kita mempunyai waktu lebih panjang, persiapannya juga cukup," kata Khoirunnisa, seperti dilansir Antara.
"Ketika situasi COVID-19 ini belum membaik, bahkan angkanya cenderung meningkat, maka kalaupun nanti memutuskan untuk menunda (Pilkada 2020) itu bukan berarti KPU gagal, Bawaslu gagal, ataupun pemerintah gagal dalam kita berdemokrasi," imbuhnya.
Konsekuensi Pilkada Ditunda
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, konsekuensi jika menunda Pilkada Serentak 2020 ada dua.
"Pertama, lebih ke politik. Jadi pertimbangannya banyak soal konsolidasi yang sudah matang, akan cair kembali. Kedua, masalah biaya yang sudah dikeluarkan selama tahapan yang sudah dilaksanakan. Tapi harus diingat perspektifnya, kalau ditunda, kan tidak dimulai dari awal semuanya lagi. Tapi dimulai dari tahapan ketika dihentikannya proses," kata Feri kepada Liputan6.com.
"Yang paling mengkhawatirkan itu konsolidasi politik, apalagi di tengah konsolidasi itu ada anak dan menantu presiden. Tentu ada pertimbangan khusus yang selalu condong ke arah politik. Padahal, pertimbangan yang harus dimatangkan itu adalah keselamatan nyawa orang."
Feri menjelaskan, masyarakat sebenarnya tidak menolak penyelenggaraan Pilkada. Tapi, yang ditolak itu adalah proses yang berpotensi besar menyebabkan timbulnya korban jiwa.
"Jadi, saat ini tidak tepat melanjutkan proses itu karena meningkatnya jumlah korban dan berjatuhan di ruang yang mengkhawatirkan merusak proses kualitas penyelenggaraan Pilkada."
UU Memungkinkan Pilkada Ditunda
Kasus Covid-19 di Indonesia sendiri sampai hari ini terus naik. Hingga Selasa, 22 September 2020, terdapat 4.071 kasus konfirmasi positif baru, sehingga total 252.923 individu di Tanah Air telah terinfeksi COVID-19. Keputusan tetap Pilkada Serentak 2020 dinilai tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menurunkan penularan kasus Covid-19 di Indonesia.
Menunda Pilkada Serentak 2020 sesungguhnya bukan mustahil dilakukan KPU dan pemerintah. Sebab, Penundaan pilkada telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan UU Pilkada.
Undang-Undang ini ditetapkan pada 14 Juli 2020 yang sebelumnya berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dimungkinkannya penundaan Pilkada 2020 ini tertuang dalam pasal 201A ayat 3 yang berbunyi:
(3) Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (21) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.
Dalam penjelasannya, disebutkan apabila pandemi Covid-19 belum berakhir maka pemungutan suara serentak dapat ditunda.
Ayat (3) Pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2O2O ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Corona Vints Disease 2O19 (COVID- 19) belum berakhir.
Adapun mekanisme dalam Pasal 122A adalah:
(1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
(2) Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antaraKPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan diatur dalam Peraturan KPU.
Komisioner KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, membenarkan bahwa memungkinkan untuk mengambil opsi menunda Pilkada. Sebab, aturannya tertulis dalam UU Nomor 6 Tahun 2020, walaupun keputusan menunda tidak dapat diambil sepihak oleh KPU.
"Pada prinsipnya, opsi untuk menunda (Pilkada) itu dimungkinkan, tapi tentu melalui mekanisme yang diatur di dalam UU tersebut. KPU tentu tidak bisa mengambil keputusan (menunda Pilkada) secara sepihak. Itu ketentuan di dalam undang-undangnya," terang Raka Sandi.
"Posisi KPU tentu tidak berandai-andai. Saya kira mekanismenya sudah jelas diatur dalam UU nomor 6 tahun 2020, tinggal apakah ada keputusan baru atau tidak. Menurut saya, Payung hukumnya (untuk menunda Pilkada) sudah ada, tinggal sekarang keputusan ketatanegaraannya seperti apa. Sampai hari ini keputusannya tahapan Pilkada tetap dilanjutkan."
Ahli Hukum Tata Negara, Feri Amsari, berpendapat, semua masalah yang timbul jika menunda Pilkada sebenarnya sudah ada solusinya di dalam undang-undang, termasuk soal legitimasi pemimpin daerah yang habis masa jabatannya.
"Menunda pilkada tidak mengkhawatirkan di tingkat administrasi, karena semua sudah ditentukan. Dalam kondisi tertentu, ada solusinya. Misalnya ada PJ (pejabat) sementara. PJ itu adalah solusi terkait tidak adanya pejabat tetap. Jadi, itu solusi ketatanegaraan."
"Yang paling mengkhawatirkan bagi partai politik adalah konsolidasi politik yang sudah matang dan kepentingan tertentu. Misalnya Presiden dengan anak dan menantunya yang sudah maju. Ada juga Pak Pramono Anung (Sekretaris Kabinet), anaknya juga maju. Jadi, beberapa penentu kebijakan punya benturan kepentingan kalau kemudian mereka menunda pilkada ini," ucap Feri.
Advertisement