Liputan6.com, Jakarta - Bencana besar diprediksi akan terjadi di wilayah selatan Pulau Jawa. Tim riset dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkap potensi gempa besar yang dapat memicu tsunami hingga setinggi 20 meter.
Salah satu anggota tim peneliti ITB, Endra Gunawan mengatakan bahwa selatan Jawa diketahui sebagi lokasi rawan gempa. Hal itu lantaran Pulau Jawa berada di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.
Interaksi antara dua lempeng tersebut yang masih berlangsung hingga saat ini dan masa yang akan datang tentu menjadi isyarat bahwa gempa bisa kapan saja terjadi.
Advertisement
"Nah itu kita bisa deteksi, kita bisa olah, analisis. Dari analisis tersebut menunjukkan bahwa ada potensi saat pengumpulan energi itu yang terjadi di selatan Jawa," kata Endra kepada Liputan6.com, Kamis (24/9/2020).
Menurut Endra, potensi gempa besar dan tsunami ini terjadi di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa mulai dari barat hingga timur. Lindu besar ini terjadi dari akumulasi energi yang terkumpul selama ratusan hingga ribuan tahun.
Potensi tsunami paling besar berada di selatan Jawa Barat yang bisa mencapai 20 meter dan 12 meter di selatan Jawa Timur. Perbedaan ini disebabkan beragamnya zona kuncian gempa. Menurut Endra, tak semua zona patahan di selatan Jawa memiliki kekuatan yang sama.
"Jadi masing-masing punya kekuatannya masing-masing. Nah Jawa Barat ternyata kunciannya itu yang paling besar dibandingkan di bagian tengah dan timur di Jawa Timur," ungkap Dosen ITB dengan kelompok keahlian Geofisika Global ini.
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Purna Sulastya Putra mengatakan, potensi gempa besar hingga memicu tsunami memang ada di pesisir selatan Jawa. Hal itu terlihat dari bukti-bukti geologi tsunami purba yang pernah terjadi ribuan tahun silam.
Purna mengungkapkan, tim Geoteknologi LIPI telah menjelajahi sepanjang garis pantai selatan Jawa mulai dari Banten hingga ujung timur. Bahkan menyeberang hingga ke pesisir selatan Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Nah itu kami menemukan paling tidak, ada tiga sampai empat bukti geologi bahwa tsunami besar yang diakibatkan oleh gempa besar megathrust selatan Jawa itu paling enggak pernah terjadi empat kali. Empat kali itu kita temukan dalam (rentang) tiga ribu tahun lalu," kata Purna kepada Liputan6.com, Jumat (25/9/2020).
"Jadi sebenarnya hasil dari teman-teman ITB ini ya mengonfirmasi hasil kami juga, karena itu kan mereka lebih ke seperti permodelan tsunaminya. Sebenaranya bukti-bukti geologinya sudah kami temukan, jadi hasil kedua tim ini sebenarnya saling melengkapi," sambungnya.
Dia menjelaskan, bukti geologi yang dimaksud adalah material dan mikroorganisme laut yang ditemukan di daratan akibat terbawa tsunami. Material tersebut kemudian diteliti lebih lanjut hingga ke ruang laboratorium untuk mengetahui usianya.
Menurut Purna, tsunami besar bisa saja menerjang seluruh kawasan pantai selatan Jawa jika panjang patahan gempa mencapai 900 hingga 1.000 kilometer. Tim LIPI telah menemukan bukti geologi bahwa tsunami pernah terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa.
"Kami menemukan bukti geologinya itu di mulai di Binuangeun Lebak (Banten) kemudian di ujung Sukabumi, di Pangandaran, di Cilacap, di Kulonprogo, kemudian di Lumajang. Bahkan sampai di pantai selatan Bali yang kemungkinan. Namun di Bali kita belum punya hasil dating atau pengukuran umurnya," ujarnya.
Purna menjelaskan, empat kali gempa besar itu diperkirakan terjadi pada 400 hingga 500 tahun lalu, kemudian 1.000 tahun lalu, 1.800 tahun lalu, dan terakhir 3.000 tahun lalu. Gempa itu berkekuatan di atas magnitudo 9 yang mengakibatkan tsunami besar di selatan Jawa.
Kendati begitu, Purna mengakui bahwa hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu mendeteksi secara pasti kapan terjadinya gempa. Namun dari hasil penelitian dan bukti geologi yang diperoleh, siklus gempa besar yang memicu tsunami di selatan Jawa itu terjadi sekitar 600 hingga 800 tahun sekali.
"Kalau kejadian terakhir itu 400 tahun yang lalu, maka bisa jadi 200 tahun yang akan datang (gempa dan tsunami besar) itu akan kejadian," ucapnya.
Lebih lanjut, Purna menuturkan bahwa potensi tsunami juga terjadi di pantai utara Jawa, meski tak sedahsyat pesisir selatan. Tsunami itu bisa terjadi akibat longsoran bawah laut atau sesar aktif ke arah laut.
"Misal kejadian di Palu. Nah di utara Jawa kita punya juga sesar aktif yang kemungkinan bisa menggerus ke arah utara laut Jawa. Makanya banyak sekali yang harus kita lakukan memindai sesar aktif yang ada di utara Jawa. Misal di Demak itu kan ada sesar Muria. Itu bisa saja dia bergerak dan menyebabkan longsor bawa laut," katanya menjelaskan.
Bahkan sumber gempa dan tsunami di wilayah Banten lebih besar, terutama di Selat Sunda karena ada Gunung Krakatau dan sesar aktif yang banyak. Apalagi wilayah tersebut juga berada pada zona subduksi atau tumpukan lempeng yang menghubungkan barat Sumatera dan selatan Jawa.
"Sehingga potensi di Banten sebenarnya lebih tinggi," ujar Purna.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bagaimana Antisipasinya?
Purna menuturkan, cara yang paling sederhana dan tidak banyak memakan anggaran untuk memitigasi bencana adalah memberi tahu masyarakat bahwa dia tinggal di zona rawan tsunami. Sehingga ketika terjadi gempa yang cukup kuat, dengan cepat masyarakat bisa mencari tempat yang lebih aman.
"Tapi pemerintah juga harus menyiapkan informasi kalau ada tsunami harus lari ke mana tujuannya (jalur evakuasi), sehingga kalau terjadi masyarakat tahu apa yang harus dilakukan," katanya.
Selain menyiapkan jalur, Purna juga mengusulkan pemerintah membangun lokasi evakuasi di sekitar pantai. Hal itu perlu dilakukan terutama di wilayah pesisir yang jauh dari dataran tinggi.
"Misalnya bentuknya seperti menara yang hanya tiang-tiang kemudian ada tangganya. Kemudian di bagian atas dibuat lantai yang bisa untuk menampung banyak orang, sehingga mungkin kalau ada tsunami, kalau bangunannya seperti itu mungkin juga kuat," ucapnya.
Purna melihat, saat ini sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki Indonesia masih belum memadai untuk memitigasi bencana sebesar itu. Namun dia optimistis pemerintah terus melakukan perbaikan untuk meminimalisasi dampak bencana.
"Mungkin belum kalau gempanya besar. Tapi sebenarnya pemerintah terus bersiap. Banyak sekali juga perbaikan-perbaikan peringatan dini setelah tsunami anak krakatau kemarin. Harapannya juga kita semakin siap. Tapi kalau gempa besar mungkin kita harus lebih bersiap lagi," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono mengapresiasi hasil kajian potensi gempa megathrust selatan Jawa yang dikeluarkan para ahli kebumian ITB.
Dia berharap, kajian ilmiah itu dapat mendorong semua pihak agar lebih memperhatikan upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami.
"Perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mendukung dan memperkuat penerapan building code dalam membangun infrastruktur. Masyarakat juga diharapkan terus meningkatkan kemampuannya dalam memahami cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami," kata Daryono kepada Liputan6.com, Jumat (25/9/2020).
Dia menuturkan, skenario model yang dihasilkan dalam penelitian tersebut merupakan gambaran terburuk (worst case). Skenario itu dapat dijadikan acuan dalam upaya mitigasi guna mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami.
"Kita akui, informasi potensi gempa kuat di zona megathrust memang rentan memicu keresahan akibat salah pengertian (misleading). Masyarakat ternyata lebih tertarik membahas kemungkin dampak buruknya daripada pesan mitigasi yang mestinya harus dilakukan," ucapnya.
Informasi potensi gempa kuat selatan Jawa ini bergulir cepat menjadi berita yang sangat menarik. Masyarakat awam pun menduga seolah dalam waktu dekat di selatan Pulau Jawa akan terjadi gempa dahsyat, padahal tidak demikian.
Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust dan skenario terburuk, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan di mana gempa akan terjadi.
"Maka dalam ketidakpastian kapan terjadinya, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah kongkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa," tuturnya.
Daryono mengatakan, informasi hasil kajian ini hendaknya tidak mempertajam kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Tetapi harus segera direspons dengan upaya mitigasi yang nyata.
"Apakah dengan meningkatkan kegiatan sosialisasi mitigasi, latihan evakuasi (drill), menata dan memasang rambu evakuasi, menyiapkan tempat evakuasi sementara, membangun bangunan rumah tahan gempa, menata tata ruang pantai berbasis risiko tsunami, serta meningkatkan performa sistem peringatan dini tsunami," ujarnya memungkasi.
Advertisement
Persiapan Daerah Rawan Tsunami
Hasil riset yang dikeluarkan ITB baru-baru ini menjadi peringatan tersendiri khususnya bagi warga Pangandaran, Jawa Barat dan Banyuwangi, Jawa Timur yang kerap diguncang gempa hingga disapu tsunami.
Menilik sejarahnya, beberapa gempa besar tercatat pernah melanda dua kawasan pesisir tersebut. Di Pangandaran, gempa magnitudo 7,5 terjadi dan menimbulkan gelombang tsunami pada 11 September 1921.
Kejadian serupa terulang pada 2006, tepatnya tanggal 17 Juli. Akibat dahsyatnya gulungan gelombang tsunami, tercatat 668 orang meninggal dunia, 65 di antaranya hilang dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Sementara sebanyak 9.299 orang mengalami luka-luka.
Pada 3 Juni 1994, gelombang tsunami pernah melanda pesisir pantai selatan Jawa Timur di Kabupaten Banyuwangi yang merenggut sekitar 300 korban jiwa. Saat itu bencana tsunami menyebabkan kerusakan permukiman penduduk di pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi seperti Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi.
Kepala Stasiun BMKG Klas I Bandung, Tony Agus Kurniawan saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (25/9/2020) tak menampik bahwa beberapa wilayah di Indonesia memang terdapat ancaman gempa besar, yang mungkin saja menimbulkan tsunami.
“Ancaman potensi gempa dan tsunami ada di zona megathrust, yaitu barat Sumatera, selatan Jawa hingga Nusa Tenggara,” katanya.
Tony mengatakan, tidak ada yang bisa dengan pasti meramalkan kapan gempa dan tsunami terjadi. Namun yang terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah memperkirakan skenario paling buruk itu terjadi dengan mitigasi risiko bencana.
“Agar antisipasi lebih baik, langkah mitigasi yang perlu dilakukan saat ini penyiapan tempat evakuasi sementara dan rambu jalur evakuasi,” katanya.
Dirinya memastikan, BMKG akan dengan cepat memberikan informasi peringatan dini tsunami yang sudah terpasang oleh tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di beberapa tempat.
“Dua menit setelah gempa, info pendahuluan telah diterima oleh BPBD,” katanya.
Sebagai tindak lanjut isu potensi tsunami 20 meter yang bakal terjadi di selatan Jawa Barat, BMKG kata Tony, bakal menggelar Indian Ocean Wave Exercise 20 (IOWave20).
Dalam acara tersebut, akan berkumpul banyak peneliti dari berbagai negara untuk saling memberikan masukan serta ilmu sekaligus memberikan simulasi gempa dan tsunami yang pernah terjadi di daerah masing-masing.
"Sebenarnya ini sudah direncanakan sejak 2019 sebelum ada pandemi, sedianya bakal melibatkan banyak orang di lapangan. Namun, gara-gara ada pandemi Covid-19, acara akan dibikin sebagai geladi ruang. Secara virtual melalui aplikasi zoom,” katanya.
Dalam acara tersebut yang melibatkan banyak negara yang berpotensi kena dampak tsunami di Samudera Hindia, termasuk daerah-daerah di Indonesia, BMKG akan menguji sistem komunikasi peringatan dini tsunami (InaTEWS/Indonesia Tsunami Early Warning System).
“Kita uji diseminasinya, termasuk dengan media, kita sudah pasang perangkat penerima informasi di stakeholder terkait, BPBD dan lainnya,” katanya.
Yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan masyarakat saat ini adalah, gempa Pangandaran punya karakteristik yang berbeda. Pengalaman gempa Pangandaran yang terjadi pada 2006, warga di pesisir pantai mengaku tidak merasakan gempa bumi, sebelum akhirnya tsunami melanda kawasan itu.
Tony memastikan BMKG siap menyampaikan informasi soal gempa dan peringatan dini tsunami secara cepat ke BPBD. Dua menit setelah gempa, info dapat disebarluaskan ke masyarakat.
“Kalau warga menerima info peringatan dari BMKG, langsung menjauh dari pantai, ikuti rambu jalur evakuasi. Karena kalau sumber gempanya jauh, getarannya tidak dirasakan warga, tapi infonya ada,” ungkap Tony.
Tony berharap rilis penelitian yang menyebut ada potensi tsunami 20 meter di selatan Jawa Barat bisa dimanfaatkan warga untuk mengenal lebih jauh wilayahnya masing-masing. Kemudian secara bertahap meningkatkan kesiapsiagaan.
“Misalnya merawat rambu jalur evakuasi tsunami yang sudah ada. Rutin berlatih mitigasi bencana. Dan mengenal cara memperoleh informasi dari BPBD dan BMKG,” katanya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Suban Wahyudiono menuturkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur terus berupaya memitigasi bencana.
Suban mengatakan, salah satu program Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yaitu berupaya menurunkan indeks risiko bencana (IRB). IRB merupakan potret risiko bencana di Indonesia yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berdasarkan tiga faktor yaitu tingkat ancaman, kerugian, dan ketahanan.
“Dengan Gubernur Khofifah Indar Parawansa, di nawa bhakti satya dan RPJM 2019-2024 ada menurunkan indeks risiko bencana. BPBD Jatim siap laksanakan itu. Pemprov Jatim satu-satunya provinsi yang memasukkan penurunan indeks risiko bencana tersebut diutamakan,” ujar dia, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (25/9/2020).
Subhan mengatakan, pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai potensi bencana tsunami. Pada Juli 2019, tim BPBD provinsi, BPBD kabupaten/kota, BNPB pusat, dan relawan telah melakukan mitigasi.
Pada Juli 2019, pihaknya juga memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat yang wilayahnya rawan bencana.
“Ada 200 orang melakukan sosialisasi, edukasi kepada masyarakat mengenai ancaman bencana di daerahnya. Bahkan edukasi yang diberikan ke anak-anak lewat nyanyian, kalau ada gempa lindungi kepala, hindari kaca, dan lari di tempat terbuka, edukasi seperti itu,” tutur dia.
Pihaknya memetakan ada sembilan kabupaten/kota di Jawa Timur yang punya potensi tinggi bencana tsunami.
“Yang punya potensi tinggi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, (Kabupaten, kota, red) Blitar, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi. 9 kabupaten kota dan 156 desa punya potensi tinggi bencana tsunami di Jawa Timur. Paling banyak di Kabupaten Banyuwangi ada 46 desa,” kata dia.
Upaya lain memitigasi bencana yakni dengan memasang rambu-rambu di kawasan wisata di wilayah selatan Jawa Timur. Selain itu membuat shelter dari alam dan buatan. Subhan mengatakan, atas perintah Sekda Provinsi Jatim segera direncanakan dan membuat shelter buatan.
“Harus ada shelter alam dan buatan di kawasan wisata wilayah selatan Jatim. Jadi saat tsunami, ada titik kumpul bisa berupa shelter alam dan buatan. Shelter ini tempat tinggi. Bencana tsunami itu ada rumus 20 detik terjadi gempa, 20 menit waktu lari, 20 meter kita harus capai ketinggian, harus cari lokasi misalkan tempat wisata yang ada bukitnya dibuatkan jalan dan trap-trap,” kata dia.
Subhan menambahkan, saat ini pola pikir juga diubah untuk menghadapi bencana. Jika dulu responsif, sekarang menekankan preventif. Subhan menuturkan, penanganan bencana lebih menekankan preventif melihat dari hasil survei yang dilakukan kepada individu yang selamat dalam bencana.
“35 persen itu berdasarkan dari pengetahuan dan keterampilannya, 32 persen dari keluarga, 28 persen dari tetangga, dua persen dari regu penolong. Sekarang ada perubahan mindset, dulu responsif jadi preventif,” ujar dia.
Salah satu dilakukan dengan membentuk desa tangguh. Upaya ini untuk mencegah dan memetakan daerah rawan bencana. Subhan menuturkan, ada sekitar 656 desa tangguh di Jawa Timur. Dengan ada desa tangguh diharapkan bisa menghadapi terjadinya bencana.
“Tiap tahun dilombakan, mulai dari administrasi hingga simulasi,” kata dia.
Ia mencontohkan, ketika bencana alam longsor di Pacitan pada 2019. “Saat itu lihat desa di Pacitan, tetapi ada hujan deras, kemudian saya dibilang untuk berhenti dulu karena hujan lama dua jam, dan dibilang 10-15 menit lagi banjir. 10-15 menit kemudian banjir. Saya telepon BPBD dan daerah situ, dan memang sudah jadi desa tangguh di sana, jadi orang-orang sudah tahu, tahu bisa selamatkan diri sendiri, harta, keluarga dan minimal tetangga,” kata dia.
Kemudian upaya lainnya menurut Subhan dengan strategi pentahelix untuk mitigasi bencana. ”Ini tak bisa pemerintah saja tetapi ada TNI Polri, masyarakat bisa LSM, ormas, relawan, akademisi, dunia usaha lewat program CSR, dan media jadi satu yaitu pentahelix,” kata dia.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi menyatakan telah mengantisipasi bencana. Hal ini mengingat kawasan pesisir pantai di Kabupaten Banyuwangi berpotensi bencana tsunami.
Pada 3 Juni 1994, gelombang tsunami pernah melanda pesisir pantai selatan Jawa Timur di Kabupaten Banyuwangi. Saat itu bencana tsunami menyebabkan kerusakan permukiman penduduk di pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi seperti Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi.
“Memang benar berdasarkan beberapa dokumen riset, bahwa laut selatan Jawa termasuk di kawasan pesisir pantai di Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi bahaya bencana tsunami. Terkait hal itu Pemkab Banyuwangi telah melakukan antisipasi,” ujar Plt Kepala BPBD Kabupaten Banyuwangi Abdul Kadir, saat dihubungi Liputan6.com.
Kadir menyampaikan upaya dilakukan antara lain pencegahan dengan menyusun dokumen rencana penanggulangan bencana (RPB) yang merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dokumen kawasan rencana terintegrasi dengan RT/RW.
Kemudian mitigasi dengan membuat jalur evakuasi, rambu evakuasi dan tempat evakuasi sementara di Kawasan Rawan Bencana (KRB) tsunami. Kadir menuturkan jalur evakuasi itu sudah dibuat di Rajekwesi Sarongan, Pancer, Sumberagung, Lampon Pesanggaran, Grajagan Purwoharjo, dan Blimbingsari.
Kadir menambahkan, untuk mengantisipasi bencana tsunami juga dengan peringatan dini seperti memasang early warning system (EWS) di KRB. Saat ini sudah terpasang di sembilan lokasi KRB meskipun hanya berfungsi dua unit. Pihaknya akan memasang EWS baru untuk mengganti yang rusak di tiga lokasi di Rajegwesi, Grajagan dan Lampon.
“Rencana EWS di tiga tempat ini pasang tahun ini. Sesuai RPB kebutuhan EWS akan dicukupi pada tahun anggaran berikutnya berkoordinasi dengan Pemprov Jatim, BNPB, dan BMKG,” kata dia.
Selain itu, Pemkab Banyuwangi juga membentuk Desa Tangguh Bencana di kawasann KRB tsunami. Hal ini sebagai upaya peningkatan kapasitas dan pengurangan kerentanan masyarakat menghadapi potensi bahaya tsunami. Pembinaannya dilakukan secara kontinyu dan sistematis.
“Juga melaksanakan gladi dan simulasi rencana kontingensi atau kedaruratan secara rutin, di desa tangguh bencana pada KRB tsunami dibentuk tim reaksi cepat, forum pengurangan risiko bencana dan relawan desa, sehingga apabila terjadi keadaan darurat segera ada upaya pertolongan dan penyelamatan,” kata dia.
Adapun terkait 46 desa rawan bencana di Kabupaten Banyuwangi, Kadir menuturkan, hal itu berdasarkan hasil identifikasi BNPB, tetapi tingkat kerawanan berbeda. Oleh karena itu, pembentukan desa tangguh diprioritaskan di KRB tinggi. “Di Pesanggaran, Siliragung Purwoharjo, Muncar, dan Blimbingsari,” kata dia.
Selain itu, Kadir menuturkan, sosialisasi dan edukasi juga dilakukan terintegrasi dengan kegiatan desa tanguh dan kegiatan gladi renkon yang dijadwalkan secara rutin tiap tahun di KRT tsunami. Saat ditanya mengenai anggaran khusus untuk mitigasi bencana, Kadir mengatakan, tidak ada anggaran khusus tetapi antisipasi bencana tsunami menjadi salah satu prioritas.