Liputan6.com, Jakarta - Soetanti bertengkar keras dengan Dipa Nusantara Aidit pada malam 30 September 1965. Dia berkeras agar suaminya tetap di rumah dan memintanya menolak ikut bersama para penjemputnya. Namun, DN Aidit tetap memilih pergi.
Sebelum berangkat dengan tiga tentara yang menjemputnya, pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu memberikan pesan singkat kepada adiknya yakni Murad Aidit, "Matikan lampu depan."
Sejak saat itu, DN Aidit tak pernah kembali lagi. Ke mana saja Aidit pergi malam itu dan apa yang dilakukan hingga kini masih misteri.
Advertisement
Tiga hari setelahnya, Soetanti ikut menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak lelaki kecilnya. Belakangan terungkap, Tanti mencari suaminya ke Boyolali dan menemui Bupati Boyolali yang juga tokoh PKI.
Tak lama, dia kembali ke Jakarta dengan menyamar. Soetanti dan Pak Bupati bermain peran menjadi pasangan suami istri. Tidak tanggung-tanggung, peran anak pun dihadirkan agar aksi penyamarannya sukses.
"Dua orang bocah kemudian diambil sebagai anak angkat," tutur putra DN Aidit, Ilham Aidit seperti dikutip Liputan6.com dalam Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia, Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara, Kamis (1/10/2020).
Sandiwara suami istri yang mengontrak rumah di kawasan Cirendeu, Jakarta Selatan sukses berbulan-bulan, hingga akhirnya para tetangga mulai curiga karena Pak Bupati selalu bilang "injih injih" kepada istrinya. Sikap kedua anaknya juga mencurigakan.
"Mereka tidak pernah manja kepada dua orang tuanya," jelas Ilham.
Dari situ, keduanya akhirnya ditangkap.
Sementara Murad yang pada saat peristiwa 30 September 1965 sedang menginap di rumah DN Aidit, baru tahu keesokan harinya setelah pulang ke rumahnya di Depok, bahwa sejumlah jenderal dibunuh dan PKI dituduh terlibat.
Meski begitu, dia tidak berusaha sembunyi. Di tengah kegentingan situasi Jakarta, dia malah sempat datang ke kantor PKI yang telah sunyi senyap. Murad ditangkap beberapa hari kemudian.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Memburu DN Aidit
"Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
"Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri.
"Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak."
"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua! DN Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah.
Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu disampaikan Yasir pada Kompas edisi 5 Oktober 1980, dikutip Liputan6.com.
Yasir kala itu baru saja tiba di Tanjung Priok, Jakarta bersama pasukannya. Sebenarnya Brigif IV sedang melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara, namun kembali ke ibu kota lantaran mendengar peristiwa G30S.
2 Oktober 1965, tentara mulai mengejar orang-orang PKI yang dituduh terlibat G30S. Tapi Ketua Central Committee PKI DN Aidit malah menghilang.
Yasir pun segera membawa pasukannya ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, dia bertemu orang kepercayaan pimpinan PKI yakni Sri Harto yang sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan.
Yasir memilih melepaskan Sri Harto. Hanya dalam beberapa hari, Sri Harto melaporkan bahwa Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November. Rencana pun disusun.
Benar saja, sekitar pukul 11.00 WIB siang, Aidit muncul menumpang vespa Sri Harto. Masuk pukul 21.00 WIB malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV dan menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasi dari jauh.
Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian Republika bahwa Aidit bersembunyi dalam lemari saat penggerebekan. Prayitno sendiri yang menemukannya.
"Mau apa kamu?," Aidit membentak Prayitno saat keluar dari lemari.
Prayitno yang mulanya ciut segera menguasai keadaan. Setengah membujuk, anak buah Yasir itu berhasil membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung. Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit.
Kabarnya, Aidit membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya antara lain, hanya dirinya yang bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Sayangnya, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kala itu membakar dokumen tersebut.
Namun tidak disangka koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.
Yasir kebingungan hingga dini hari, memikirkan harus melakukan apa setelahnya. Aidit pun berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tidak mau menuruti begitu saja.
"Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain," kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Hingga pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju barat. Tiga buah jip bergerak dengan Aidit yang diborgol berada di iringan terakhir bersama Yasir.
Masuk Boyolali, tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir berbelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat.
"Ada sumur?," tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon.
Trisno kemudian menunjuk sumur tua di belakang rumahnya. Yasir membawa Aidit ke sana.
Di tepi sumur, dia mempersilakan tahanannya itu mengucapkan pesan terakhir. Namun yang didapat malah Aidit yang berapi-api pidato. Yasir dan anak buahnya naik pitam.
Dor! Dengan dada berlubang, tubuh Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu tersungkur masuk sumur.
24 November 1965 pukul 15.00 WIB, Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Dia melaporkan hasil kerjanya termasuk keputusan membunuh Aidit.
Dia kemudian memberanikan diri bertanya, "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?"
Soeharto tersenyum.
Advertisement
Misteri Bekas Sumur Tua di Boyolali
Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua bekas kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali. Hanya hamparan tanah berkerikil yang ditumbuhi labu siam dan ubi jalar, serta pohon mangga dan jambu biji di kanan kiri.
Meski tidak berbekas, banyak orang meyakini adanya sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI terkubur pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) Boyolali, Tamam Saemuri (71).
Pada suatu malam di 1965, Tamam sempat bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan".
Dikutip dalam Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia, Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara, Tamam bercerita. Dalam pertemuan itu, Yasir mengumumkan bahwa pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya.
"Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir.
Yasir mengatakan itu sambil menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit." Sewaktu didesak menceritakan bagaimana Aidit tewas, Yasir berkata, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."
Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham Aidit yang memutuskan datang sendiri ke tempat diduga sebagai pusara ayahnya.
"Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," ujar Ilham.
Bukan perkara mudah menemukan makam Aidit. Ada upaya sistematis untuk membuatnya dilupakan orang. Sumur tua itu misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965.
Kompleks gedung markas Batalion 444 yang juga dikenal sebagai kesatuan tentara pro komunis pun dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.
Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubungi dan menceritakan temuannya. "Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.
Seorang penghuni di mes Kodim juga membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut sebagai lokasi kuburan Aidit. Menurutnya, warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu.
"Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," jelasnya.
Saat bergeser beberapa meter, malah ditemukan pecahan tulang tempurung tengkorak. Buru-buru lubang itu ditutup lagi.
Dia menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.
Lokasi lain yang disebut-sebut sebagai tempat Wakil Ketua Majelis MPRS itu ditembak mati pun terletak kurang dari 100 meter dari sana. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah yang kini menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
"Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," beber Ilham.
Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan informasi Ilham.
Bahkan, gedung sekolah itu menurutnya pernah dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.
Ilham yang akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, mengaku tak kuasa menahan perasaannya.
"Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya.
Putra Aidit itu memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak.
"Tapi mungkin belum bisa sekarang," ujar Ilham.
"Kami harus bersabar."