Sukses

Lubang Buaya, Saksi Bisu Pembunuhan 7 Jenderal Saat Gerakan 30 September 1965

Lubang Buaya, Jakarta Timur menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Lubang Buaya, Jakarta Timur menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia. Di lokasi itulah, 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah TNI AD dibunuh dan dibuang di sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Mereka yang selanjutnya disebut Pahlawan Revolusi gugur akibat kekejaman Gerakan 30 S PKI (G30S/PKI). Gerakan itu merupkan peristiwa tragis dalam rentang waktu 30 September hingga 1 Oktober 1965.

Sebelum peristiwa mengenaskan itu terjadi, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan beberapa persiapan. Mulai dari melatih Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Pemuda Rakyat merupakan organisasi sayap kanan dari PKI. Dikutip dari Victor M Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (2005), Ketua Komite Jakarta Raya PKI, Njono kala itu berencana mengerahkan kekuatan para militer cadangan yang terdiri dari 2.000 anggota Pemuda Rakyat untuk membantu menghabisi para jenderal.

Sebanyak 2.000 anggota Pemuda Rakyat bahkan telah menjalani latihan militer oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lubang Buaya. John Roosa dalam bukunya yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal, menyatakan bahwa Lubang Buaya dulunya merupakan kawasan kebun karet yang tak berpenghuni.

John Roosa menuliskan, sejumlah pasukan berkumpul di Lubang Buaya pada 30 September malam. Mereka mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga anggota Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Dimulainya Peristiwa Berdarah

Adalah Letkol Untung yang merupakan anggota Tjakrabirawa (sekarang pasukan pengawal presiden) memimpin pasukan yang dianggap loyal kepada PKI. Sersan Mayor Boengkos, anggota resimen Tjakrabirawa yang menjadi salah satu pelaku penculikan tujuh jenderal mengungkapkan sebelum tragedi berdarah itu ada pengarahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30 September 1965 pukul 15.00 WIB.

Boengkoes mengatakan, dia bersama para komandan pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa, Letnan Satu Doel Arif. Pasukan lalu dibagi menjadi tujuh kelompok, setiap kelompok diperintahkan untuk menangkap seorang jenderal dari rumahnya dan membawanya ke Lubang Buaya.

Berbagai kelompok ini naik truk sekitar pukul 3.15 WIB, pagi buta dan menderum menuju pusat kota yang berjarak sekitat 30-45 menit dari Lubang Buaya. Sebagian besar kelompok menuju daerah Menteng, tempat kediaman banyak pejabat tinggi pemerintah. Sebagian lagi bergerak ke Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Sasaran mereka ialah Menteri Pertahanan Jenderal A.H. Nasution, Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Achmad Yani. Kemudian lima staf umum Angkatan Darat yakni, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT. Harjono, Mayor Jenderal R. Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan.

Nasution yang merupakan target utama penculikan berhasil meloloskan diri. Sementara, putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia karena tertembak oleh pasukan Tjakrabirawa. Selain Ade Irma, ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution diculik dan dibawa ke Lubang Buaya.

John Roosa mencatat hingga pukul 5.30 pagi, pasukan G30S/PKI yang dipimpin Letkol Untung telah menahan enam orang jenderal dan satu orang letnan di suatu sudut terpencil dan kurang dikenal di kota Jakarta. Sementara itu, pimpinan G30S/PKI berkumpul di pangkalan AURI di Halim tepat di sebelah utara Lubang Buaya.

Seorang kurir datang memberi tahu mereka bahwa perwira-perwira yang diculik telah tiba. Tiga jenderal yaitu, S.Parman, Suprapto, dan Soetojo serta letnan yang salah ambil dari rumah Nasution (Pierre Tendean) masih hidup ketika diculik.

Namun, meraka dibunuh di Lubang Buaya. Dalam bukunya, John Roosa menyebutkan bahwa sekelompok pasukan G30S/PKI menembak masing masing perwira berkali-kali. Achmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan telah dibunuh di rumah mereka masing-masing.

3 dari 4 halaman

Disiksa Sebelum Dibunuh

Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila dari TNI AD, mengisahkan bahwa tiga jenderal yang masih hidup termasuk Pierre Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan. Rumah penyiksaan yang dimaksud itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa Lubang Buaya.

"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.

Untuk menyembunyikan para korban dan menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke dalam sumur sedalam 36 kaki. Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, tujuh Pahlawan Revolusi itu langsung ditembak lagi. Kemudian, para pasukan PKI menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah, dan dedaunan seolah-olah tidak ada mayat di dalam sumur itu.

Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas (6/10/1965), proses pengangkatan dimulai hari Minggu, 3 Oktober 1965. Akan tetapi, karena kendala teknis, pengangkatan jenazah baru dapat dilakukan seluruhnya di hari Senin, 4 Oktober 1965 setelah digunakan tabung zat asam oleh evakuator.

Kemudian, sekitar pukul 19.00, jenazah-jenazah tersebut ditempatkan di Aula Departemen Angkatan Darat di Jalan Merdeka Utara. Ketujuh korban kemudian dianugerahi gelar sebagai pahlawan revolusi.

Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 5 Oktober 1965, ketujuh jenazah pun dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pemberangkatan jenazah-jenazah tersebut didahului oleh kurang lebih 30 truk yang berisi satuan-satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), kini bernama Kopassus.

4 dari 4 halaman

Lubang Buaya Kini

55 tahun setelah pemberontakan PKI, kawasan Lubang Buaya kini dijadikan Monumen Pancasila Sakti. Monumen ini dibangun di atas lahan seluas 14,6 hektare pada pertengahan Agustus 1967 dan diresmikan pada 1 Oktober 1973 oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan hari Peringatan Kesaktian Pancasila. 

Bentuk monumen berupa tujuh patung Pahlawan Revolusi dengan patung burung Garuda di belakangnya. Monumen dibangun atas usulan Soeharto dan dibuat oleh maestro seni Indonesia, Edhi Sunarso.

Adapula Museum Lubang Buaya atau Museum Pengkhianatan PKI yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Oktober1992. Di dalam museum ini, terdapat beberapa koleksi foto dari peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, proses pengangkatan jenazah ketujuh pahlawan revolusi, serta beberapa diorama yang menceritakan mengenai pemberontakan PKI di berbagai daerah Indonesia.

Sementara sumur yang menjadi tempat pembuangan jasad para jenderal menjadi situs inti di zona utama Kompleks Memorial Lubang Buaya. Situs itu memiliki luas sembilan hektare. Lubang sumur berdampingan dengan tiga bangunan yang menjadi saksi bisu Gerakan 30 September 1965, yakni rumah penyiksaan, pos komando, dan dapur umum.

Monumen Pancasila Sakti dan Museum Lubang Buaya kini menjadi area wisata. Banyak pengunjung dari berbagai daerah berdatangan untuk melihat tempat penyiksaan dan pembuangan tujuh Pahlawan Revolusi.