Liputan6.com, Jakarta Penambahan kasus Covid-19 yang mencapai hampir 5.000 setiap harinya membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus merombak strategi untuk menekan angka penularan corona. Sebab kasus penularan yang sangat cepat ini membuat aktivitas perekonomian mandek.
Saat memimpin rapat terbatas yang digelar secara virtual, Jokowi menyampaikan sejumlah instruksi dan langkah terbaru yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi, salah satunya melakukan mini lockdown atau pembatasan sosial berskala kecil. Ide ini diharapkan bisa menekan angka penularan Covid-19 tanpa mempengaruhi perekonomian.
"Artinya pembatasan berskala mikro di tingkat desa, kampung, RW, RT, atau di kantor, pondok pesantren, saya kira itu lebih efektif," kata Jokowi.
Advertisement
Sementara, jika pembatasan aktivitas sosial ekonomi dilakukan di level yang lebih luas seperti kabupaten/kota atau provinsi, Jokowi khawatir akan berdampak pada ekonomi.
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman mengatakan konsep pembatasan sosial berskala mikro berdasarkan pengalaman empiris dan pendapat ahli dipandang lebih efektif.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menjelaskan, mini lockdown yang diusulkan Jokowi ini berbasis pada data sebaran Covid-19.
"Jadi kalau sebuah wilayah itu, data sebarannya merah atau hitam, itu yang akan diberlakukan PSBM (Pembatasan Sosial pada Skala Mikro)," kata Donny kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).
Dia mencontohkan, jika di satu provinsi hanya ada 3 kabupaten, maka akan dilihat desa atau kampung mana yang berada di zona merah atau hitam. Maka hanya desa itulah yang menerapkan mini lockdown.
Cara ini, kata Donny akan lebih efektif karena sesuai target sasaran. "Kalau semua di lockdown tentu saja ekonomi semua terganggu, jadi yang ke depan PSBM atau mini lockdown," ungkap Donny.
Dalam penerapannya, lanjut Donny, Pemda sebenarnya tidak terlalu kesulitan. Sebab cukup berkoodinasi dengan Satgas Covid-19. Bahkan, menurut Donny tak perlu ada regulasi tambahan untuk mengatur konsep ini karena kewenangan seutuhnya ada di pemerintah daerah.
"Sebenarnya izin dari Kemenkes cukup kan. PSBM itu kan modifikasi dari PSBB. Jadi kalau sudah diberikan izin PSBB, kepala daerah tinggal modifikasinya jadi PSBM. Jadi regulasinya sebenarnya sudah ada," jelas Donny.
Konsep mini lockdown ini sebenarnya sudah diterapkan di Jawa Barat. Jokowi pun berharap sistem ini dapat diterapkan di daerah lain.
"Jadi sudah dilaksanakan, presiden hanya memberikan dukungan memberikan arahan supaya ini menjadi referensi bagi daerah-daerah lain yang terdampak," tutur Donny.
Donny juga meminta agar jangan sampai ada yang mendebatkan istilah PSBB dengan mini lockdown. Sebab sebenarnya, ini hanya bentuk modifikasi kebijakan saja.
"Jadi bukan PSBB versus PSBM. PSBM itu ya PSBB juga. Jadi ada pilihan besar, ada pilihan mikro. Tapi sekarang Presiden berbicara mikro itu lebih efektif," kata Donny.
Sudah Diberlakukan di Beberapa Wilayah
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, mini lockdown atau PSBM ini bisa efektif menekan mobilitas penduduk, terlebih mereka yang berada di zona merah.
Dia menyebut apabila ada klaster atau sekumpulan kasus teridentifikasi pada wilayah-wilayah lebih kecil dari kabupaten/kota, misalnya kecamatan, kelurahan atau RT/RW tertentu, maka itu bisa dilakukan pengendalian langsung. Sehingga pada daerah itu tidak terjadi mobilitas penduduk ke daerah lainnya dan penanganannya bisa fokus pada daerah dengan komunitas tersebut.
"Dan ini diharapkan pada provinsi-provinsi prioritas tersebut betul-betul bisa dilakukan pengendalian terbaik, dengan kerja sama seluruh aparat baik dari pemerintah daerah maupun dari Polri dan TNI, sehingga dapat ditangani dengan tuntas," tegas Wiku.
Mini lockdown ini sebenarnya sudah diterapkan di beberapa daerah.
Pemerintah Provisi Jawa Barat misalnya, sudah berlakukan mini lockdown dengan istilah pembatasan sosial skala kecil untuk wilayah Bodebek (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi). Hal ini diungkap langsung langsung oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil atau akrab disapa Kang Emil usai rapat virtual bersama para kepala daerah Bodebek dari Gedung Pakuan, Senin 14 September 2020.
Menurut Ridwan Kamil, penerapan ini sudah cukup efektif dalam menekan angka penyebaran kasus Covid-19 di Jawa Barat. Emil menjelaskan PSBM di Jabar dilakukan dengan zonasi berdasarkan wilayah dengan skala terkecil yaitu kecamatan dan kelurahan. Berbeda dengan PSBB yang zonasinya melingkupi kota/kabupaten.
"Kriteria PSBM di Jawa Barat berinisiatif penzonaan tidak berbasis kota/kabupaten tetapi berbasis kecamatan/kelurahan. Pada saat setiap minggu ada kelurahan zona merah di situlah dilakukan pembatasan. Bisa 10 persen atau 100 persen. Contoh PSBM di Secapa AD, pembatasan bisa 100 persen. Kelurahan Hegarmanah kita tutup, tapi tidak satu Kota Bandung," ujar Ridwan Kamil.
Langkah ini juga diambil oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Untuk melokalisir wabah sehingga tidak semakin menyebar dan menular, dia menerapkan pembatasan sosial berskala kecil.
Dia mencontohkan kasus lonjakan Covid-19 di Magetan yang kemudian diikuti dengan kebijakan pembatasan sosial berskala mikro. Hasilnya disebut Khofifah sangat efektif menekan laju persebaran virus di tengah masyarakat.
"Alhamdulillah di Sidoarjo, Lapas Porong juga begitu. Kami koordinasi dengan Kakanwil Kumham dan ke Lapas Porong juga sepakat melakukan pembatasan sosial berskala mikro atau karantina lokal atau lockdown lokal," tutur Khofifah.
Di Banyuwangi, lanjut dia, jumlah terkonfirmasi positif cukup signifikan, dan selama 14 hari ini mereka sudah selesai karantina dan semuanya sudah sehat. "Itu juga formatnya adalah PSBM pembatasan sosial berskala mikro," tutur Khofifah.
Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria juga mengatakan pembatasan sosial berskala kecil sebenarnya sudah dilakukan di Jakarta.
"Sebetulnya Jakarta sejak awal sudah membuat konsep kampung siaga di semua RW. Itu juga sebetulnya mini lockdown. Jadi Pak Gubernur Pak Anies sudah membentuk kampung siaga. Kampung siaga itu setiap RW di seluruh Jakarta, diblok begitu," jelas Riza di Balai Kota DKI, Selasa (29/9/2020).
"Dikurangi pintu keluar masuknya, ada penjaganya, ada portalnya, disiapkan berbagai fasilitas. Wastafel, hand sanitizer, sabunnya, kemudian juga dilakukan dilakukan disinfektan di kampung-kampung. Di data masyarakatnya yang membutuhkan bansos, dikirim bantuan bansos," lanjut dia.
Selain itu, Riza juga menjelaskan, setiap RW juga ada gugus tugas. Ini sama seperti mini lockdown.
"Kami menyebutnya PSBK umpamanya, PSBL umpamanya, Pembatasan Berskala Lokal atau Pembatasan Sosial Berskala Kampung. Prinsipnya seperti yang diarahkan oleh Pak Presiden. Bahkan kami juga ketika zonanya lebih berat lagi, risiko tingginya, kami putuskan RW-RW tersebut sebagai golongan RW zona merah. Itu juga dilakukan," jelas Riza.
Riza pun menuturkan, bahwa Guberur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menghadap Presiden Jokowi untuk menegaskan, bahwa pihaknya siap melakukan isolasi terpusat.
"Pak Gubernur juga sudah menghadap Pak Presiden kurang lebih 2 atau 3 minggu yang lalu. Itu juga menyampaikan lakukan isolasi terpusat dan terkendali. Alhamdullilah didukung sekali sama Pak Presiden," jelas Riza.
Salah satu bentuk dukungannya yakni menyiapkan Wisma Atlet, kemudian hotel untuk isolasi. Bahkan pihaknya juga menyiapkan tempat di Taman Mini, Ragunan, dan Jakarta Islamic Centre sebagai tempat isolasi terpusat. Bahkan gedung-gedung yang terpapar juga ditutup sementara.
"Itu juga bagian dari mini lockdown sebetulnya. Jadi prinsipnya kami mendukung arahan Pak Presiden dan bahkan kami sudah melaksanakannya sesuai kebijakan Pak Presiden," kata Riza.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sudah Terlambat?
Ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai seharusnya penerapan mini lockdown ini dilakukan sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
"Dari awal kita tidak mengimplementasikan itu dengan bertahap," Kata Masdalina kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).
Dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pun sebenarnya sudah ada istilah karantina rumah, wilayah, bahkan yang paling besar cakupannya itu disebut PSBB. Sehingga, menurut dia, tak perlu ada lagi istilah baru, yang membuat banyak pihak salah persepsi.
Masdalina mengingatkan jika mini lockdown ini ingin berjalan dengan baik, maka harus diperhatikan betul-betul apa yang dibutuhkan dalam menerapkan isolasi atau karantina. Sebut saja, mulai dari pengetesan, tracking, hingga dilakukan isolasi.
Selain itu, Masdalina menegaskan, perlu peran serta seluruh masyarakat agar proses micro lockdown ini berhasil dan menekan penyebaran Covid-19.
"Ada aparat keamanan di situ, ada infrastruktur wilayah, infrastruktur wilayah itu termasuk RT/RW. Nah peran serta masyarakat itu ada di sana memastikan orang yang dikarantina itu tidak keluar masuk, benar-benar melaksanakan karantina sesuai dengan konsep karantina," tegas Masdalina.
Meski seharusnya dilakukan sejak awal pandemi, namun apa yang dilakukan pemerintah tak terlambat. Karena ini adalah salah satu bentuk upaya dari pemerintah dalama menekan Covid-19.
"Sebenarnya enggak ada kata terlambat gitu ya. Karena kalau terlambat, seolah-olah kita tidak bisa berupaya apa-apa ya," jelas Masdalina.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menyatakan bahwa perlu melihat pada data jumlah dan sebaran kasus Covid-19 dalam penerapannya.
"Prinsipnya kalau (dibandingkan) lockdown RW dengan kelurahan, akan lebih efektif kelurahan. Kalau kelurahan dengan kecamatan, akan lebih efektif kecamatan karena lebih besar. Apalagi kalau kasusnya sudah banyak," kata Tri Yunis saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).
"Harus dilihat lagi berdasarkan sebaran kasus dan jumlah kasus. Kalau sebaran kasusnya memang per RW ya mini lockdown memang lebih tepat," lanjut dia.
Menurut dia, jika kasus positif di suatu wilayah masih sedikit, maka pembatasan aktivitas di tingkat RW lebih efektif dibandingkan dengan tingkat yang lebih luas seperti kecamatan. Namun, Tri Yunis mengatakan, tidak demikian dengan wilayah yang penyebaran kasusnya tinggi seperti DKI Jakarta.
"Kalau di Jakarta, bayangkan saja kasusnya puluhan ribu. Enggak mungkin dengan (lockdown) RW, kelurahan harus dilihat, kecamatan paling tidaklah, kira-kira begitu," jelas dia.
Untuk wilayah seperti DKI Jakarta, Tri Yunis berpendapat, setidaknya perlu pembatasan di tingkat kecamatan, kotamadya, bahkan provinsi karena kapasitas pelayanan kesehatan di wilayah tersebut telah penuh.
Menyoal kekhawatiran bahwa pembatasan aktivitas di suatu wilayah yang diterapkan secara generalisir atau pukul rata akan berdampak pada perekonomian, Tri Yunis mengatakan bahwa seberapa luas pun lockdown yang dilakukan tetap memiliki dampak ekonomi.
"(Lockdown) RW ada dampak ekonominya, jangan lupa. Tetapi dampak ekonominya lebih kecil dibanding kalau kelurahan, kecamatan. Tapi upaya penanggulangannya juga harus diukur, jangan ekonominya saja yang dilihat. Kalau itu misalnya akan memenuhi kapasitas pelayanan kesehatan kayak DKI Jakarta, tidak bisa dihitung dengan ekonomi. Apa pun harus dilakukan," kata Tri Yunis.
Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Satria Aji Imawan, pemerintah terlambat dalam menerapkan mini lockdown. Pasalnya, dia melihat wacana ini ingin menyampaikan agar masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan Covid-19, yang sebenarnya sudah banyak dilanggar.
Dia mencontohkan di DKI Jakarta masyarakatnya sulit menerapkan protokol kesehatan. Sebab dalam transportasi umum seperti KRL sulit menjaga jarak apalagi di pasar. Padahal pemerintah daerah tidak mungkin menutup pasar atau transportasi umum.
"Menurut saya sudah terlambat ya. Karena trennya tidak melihat kita menurunkan. Kemudian banyak pelanggaran-pelanggaran jaga jarak juga yang kita lihat," jelas Satria kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).
Karena hal tersebut, dia mengungkapkan, seharusnya sekarang ini bagaimana masyarakat mau disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Salah satunya, menggunakan sanksi yang lebih tegas.
"Kalau belajar dari pandemi Flu Spanyol, tren kebijakan waktu itu, orang ketika enggak pakai masker bisa dikenai hukum, bahkan ada beberapa yang dipenjara. Ketegasan pemerintah cukup tinggi," tutur Satria.
Karena itu, dia menyarankan, pemerintah segera memikirkan soal pemberian sanksi yang tegas. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendisiplinkan masyarakat dan mencegah penyebaran Covid-19 yang semakin meluas.
"Tujuannya bukan untuk membuat orang dipermalukan, tapi menjadikan teladan bahwa negara dan bangsa berkomitmen untuk menurunkan angka infeksi Covid-19," ungkap Satria.
Advertisement
Terlalu Banyak Istilah
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mendukung langkah Presiden Jokowi untuk menerapkan mini lockdown.
Pasalnya, sumber daya yang dimiliki di level RT, RW, kampung, bisa mudah diatur dengan pendekatan gotong royong antar semasa warga.
Dia menyebut, warga yang sehat bisa beraktivitas normal dengan mengedepankan protokol kesehatan. Sedangkan, yang terpapar Covid-19 bisa ditangani.
"Warga masyarakat lebih mudah diatur untuk melakukan berbagai aktivitas keseharian dalam kebijakan mini lockdown," kata Melkiades kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).
Dia mengingatkan, konsep ini sebenarnya sudah ada daerah yang menerapkannhanya bersifat terbatas. Dengan pernyataan Presiden Jokowi, maka bisa membuat daerah lain segera menerapkan konsep tersebut.
"Kebijakan yang diputuskan oleh presiden Jokowi bisa menjadi penegasan memperkuat yang sudah berjalan, dan memandu bagi yang belum untuk bisa segera lakukan kebijakan ini," tutur politisi Golkar ini.
Bahkan dia menyarankan, setiap lingkungan tersebut, memiliki satgas penanganan Covid-19 untuk menangani warga dengan baik.
"Dan berhubungan dengan tenaga kesehatan, kalua ada yang perlu dirawat lebh lanjut. Kebijakan mini lockdown membantu memperat solidaritas sosial dan tolong menolong sesuai jiwa gotong royong," jelas Melkiades.
Sementara Anggota Komisi IX dari Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati justru mempertanyakan kebijakan tersebut. Menurut dia, sudah terlampau banyak istilah dalam menangani Covid-19 ini.
"Sekarang sudah lewat 6 bulan pandemi di Indonesia, angka positif dan meninggal makin tinggi, dan kita dinilai oleh banyak pihak internasional gagal dalam mitigasi pandemi. Tiba-tiba sekarang muncul istilah mini lockdown, apa maksud dari mini lockdown," tutur Kurniasih.
Dia menegaskan, lebih baik pemerintah pusat dan daerah menerapkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sesuai marwahnya.
"Sejak awal, kami sudah mengusulkan agar kita melaksanakan amanah Undang-Undang tentang Kekarantinaan. Kalau semua dilaksanakan sesuai undang-undang, mungkin tidak separah ini akibatnya," tukas Kurniasih.
Menurut dia, sekarang ini yang dibutuhkan oleh rakyat bukan wacana apalagi dengan banyak istilah. Tapi upaya mitigasi pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
"Sekarang ini yang dibutuhkan oleh rakyat bukan wacana dengan berbagai istilah-istilah. Tapi rakyat butuh kehadiran pemerintah dalam melakukan segala upaya mitigasi pandemi berbasis kesehatan," tukas Kurniasih.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menekankan pentingnya intervensi berbasis lokal dalam mengendalikan penyebaran Covid-19. Dia menyebutnya sebagai mini lockdown. Misalnya, apabila di suatu RT/RW ditemukan kasus positif maka hanya lingkungan itu saja yang diterapkan pembatasan aktivitas.
"Mini lockdown yang berulang ini akan lebih efektif," ucapnya.
Jika seluruh kabupaten/kota atau provinsi diterapkan pembatasan aktivitas, dikhawatirkan akan berdampak kepada perekonomian. Untuk itulah, Jokowi menilai intervensi berbasis lokal paling efektif menekan kasus Covid-19.
"Jangan sampai kita generalisir satu kota, satu kabupaten, apalagi satu provinsi. Ini akan merugikan banyak orang," kata Jokowi.